Sabtu, 28 Januari 2012

Khubaid bin Adi R.A, Syahid di Tiang Salib


Pada tahun ke-3 hijriyah, beberapa utusan dari kabilah Udal dan Qarah mendatangi Rasulullah SAW. Mereka mengabarkan bahwa mereka telah mendengar tentang Islam. Untuk itu mereka meminta Rasulullah agar mengirim utusan agar dapat mengajarkan Islam kepada mereka.

Maka Rasulullah pun mengutus 10 sahabat untuk memenuhi permintaan tersebut. Rasulullah menunjuk Ashim bin Tsabit sebagai amir (pemimpin) mereka. Namun di suatu tempat, di antara Usfan dan Makkah, kelompok kecil ini diintai oleh sekitar 100 pemanah dari Bani Lihyan. Mengetahui hal tersebut, Ashim segera memerintahkan teman-temannya agar segera berlindung ke sebuah bukit kecil di sekitar daerah tersebut.

Sebenarnya, Ashim dan kawan-kawan berhasil mengelabui pasukan pemanah musyrik tersebut. Namun Allah SWT berkehendak lain. Biji-biji kurma yang mereka bawa sebagai bekal dari Madinah, tercecer sepanjang jalan, memberi petunjuk keberadaan rombongan Ashim. Akhirnya kesepuluh sahabat itu pun terkejar.

“Kami berjanji tidak akan membunuh seorang pun di antara kalian jika kalian menyerah,” teriak salah seorang musyrik yang mengepung mereka.

“Kami tidak akan menerima perlindungan orang kafir. Ya Allah, sampaikan berita kami kepada Nabi-Mu,” jawab Ashim tegar.

Maka rombongan musyrik itu pun menyerang dan berhasil membunuh Ashim dan enam sahabat lain, hingga tinggallah Khubaib bin Adi, Zaid bin Datsinah dan seorang sahabat. Orang-orang musyrik itu kemudian menangkap dan mengikat ketiganya.

Namun sahabat yang tidak diketahui namanya itu kemudian memberontak sambil berteriak, “Ini adalah pengkhianatan pertama!” serunya sambil berusaha melawan. Ia pun syahid.

Selanjutnya Khubaib dan Zaid dibawa ke Makkah dan dijual sebagai budak. Sementara itu, Bani Harits yang selama ini menyimpan dendam kesumat terhadap Khubaib, mendengar berita tertangkapnya Khubaib. Rupanya nama Khubaib telah mereka hapal luar kepala, karena Khubaiblah yang membunuh Harits bin Amir, seorang pemuka Makkah, pada perang Badar. Maka dengan penuh antusias Khubaib pun mereka beli.

Maka jadilah Khubaib bulan-bulanan seluruh anggota Al-Harits. Setiap hari sahabat Anshar yang dikenal bersifat bersih, pemaaf, teguh keimanan dan taat beribadah ini harus menerima siksaan. Hingga suatu hari salah seorang putri keluarga tersebut berteriak terkejut, memberitakan bahwa budak sekaligus tawanan mereka sedang santai dan tenang-tenang memakan buah anggur. Padahal buah tersebut sedang tidak musim di Makkah dan Khubaib pun diikat tangannya dengan rantai besi.

Keluarga Al-Harits menakut-nakuti Khubaib, bahwa saudara sekaligus sahabatnya, Zaid yang juga dibeli keluarga Makkah lainnya, telah dieksekusi. Ia telah dibunuh dengan cara ditusuk tombak dari lubang dubur hingga tembus ke dadanya!

Namun berita kejam nan sadis ini ternyata tidak berhasil membuat hati Khubaib ketakutan apalagi berpaling dari keimanannya. Sebaliknya, hal ini justru membuat dirinya lebih pasrah terhadap ketentuan-Nya. Akhirnya keluarga Al-Harits pun putus asa. Mereka memutuskan untuk segera mengeksekusi tawanan yang tegar itu.

Namun sebelum eksekusi dijalankan, Khubaib memohon agar diperbolehkan melakukan shalat terlebih dahulu. Maka Khubaib mendirikan shalat dua rakaat. Usai shalat, Khubaib menoleh kepada para algojo yang mengawasinya sambil berkata, “Seandainya bukan karena dikira takut mati, maka aku akan menambah jumlah rakaat shalatku.”

Inilah shalat sunnah pertama yang dilakukan seorang Muslim ketika akan menghadapi kematian. Kemudian Khubaib melantunkan sebait syair:
Mati bagiku tak menjadi masalah
Asalkan dalam ridha dan rahmat Allah
Dengan jalan apa pun kematian itu terjadi
Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi
Kuberserah kepada-Nya
Sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya

Setelah itu, Khubaib pun disalib pada sebuah tiang. Lalu tanpa sedikit pun rasa belas kasih, pasukan pemanah menghujaninya dengan anak panah. Dalam keadaan demikian, seorang pemuka Quraisy menghampirinya dan berkata, “Sukakah engkau bila Muhammad menggantikanmu sementara kau sehat wal afiat bersama keluargamu?”

“Demi Allah,” jawab Khubaib, “Tak sudi aku bersama anak istriku selamat menikmati kesenangan dunia, sementara Rasulullah terkena musibah walau oleh sepotong duri!”

“Demi Allah, belum pernah aku melihat manusia lain, seperti halnya sahabat-sahabat Muhammad terhadap Muhammad,” kata Abu Sufyan suatu hari, mengenai para sahabat Rasulullah.

Maka tanpa ampun lagi, pedang sang algojo pun menghabisi Khubaib. Namun sebelum ruhnya meninggalkan raga, Khubaib sempat berucap, “Ya Allah, kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, tindakan orang-orang itu terhadap kami.”

Setelah, itu orang-orang musyrik meninggalkan tubuh Khubaib dalam keadaan tetap tersalib di tiangnya. Sementara burung-burung nazar yang sejak tadi berputar-putar menanti mangsanya, tiba-tiba juga meninggalkannya. Rupanya Sang Khalik tidak ridha hamba-Nya yang taat itu menjadi mangsa burung-burung pemakan bangkai.

Demikian pula doa yang dipanjatkan seorang hamba kepada Sang Pemilik dalam keadaan pasrah dan ridha pada ketetapan-Nya. Tampak jelas bahwa Sang Khalik tidak tega menolaknya. Itu sebabnya, Rasulullah yang ketika itu berada di Madinah secara mendadak mengutus Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam untuk segera menyusul ke tempat Khubaib disalib. Padahal ketika itu tak seorang pun orang Madinah yang mengetahui peristiwa nahas tersebut.

Setiba di tempat yang dimaksud, Khubaib telah tiada. Senyum kedamaian tergurat di wajahnya. Dengan menahan kedukaan yang mendalam, kedua utusan tadi kemudian melepaskan sang mujahid dari tiang salib kemudian membawa dan memakamkannya di suatu tempat yang hingga detik ini tak seorang pun mengetahuinya.

Merindukan Mati Syahid

Menjelang shubuh, Khalifah Umar bin Al Khathab berkeliling kota membangunkan kaum muslimin untuk shalat shubuh. Ketika waktu shalat tiba, beliau sendiri yang mengatur saf (barisan) dan mengimami para jamaah.

Pada shubuh itu, tragedi besar dalam sejarah terjadi. Saat Khalifah mengucapkan takbiratul ihram, tiba-tiba seorang lelaki bernama Abu Lu'luah menikamkan sebilah pisau ke bahu, pinggang, dan ke bawah pusar beliau. Darah pun menyembur.

Namun, Khalifah yang berjuluk "Singa Padang Pasir" ini bergeming dari kekhusyukannya memimpin shalat. Padahal, waktu shalat masih bisa ditangguhkan beberapa saat sebelum terbitnya matahari. Sekuat apa pun Umar, akhirnya ambruk juga. Walau demikian, beliau masih sempat memerintahkan Abdurrahman bin 'Auf untuk menggantikan posisinya sebagai imam.

Beberapa saat setelah ditikam, kesadaran dan ketidaksadaran silih berganti mendatangi Khalifah Umar. Para sahabat yang mengelilinginya demikian cemas akan keselamatan Khalifah.

Salah seorang di antara mereka berkata, "Kalau beliau masih hidup, tidak ada yang bisa menyadarkannya selain kata-kata shalat!"

Lalu, yang hadir serentak berkata, "Shalat, wahai Amirul Mukminin. Shalat telah hampir dilaksanakan."

Beliau langsung tersadar, "Shalat? Kalau demikian di sanalah Allah. Tiada keberuntungan dalam Islam bagi yang meninggalkan shalat." Lalu, beliau melaksanakan shalat dengan darah bercucuran. Taklama kemudian, sahabat terbaik Rasulullah saw. ini pun wafat.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada Umar Al Faruq ini adalah buah dari doa yang beliau panjatkan kepada Allah Swt. Alkisah, suatu ketika, saat sedang wukuf di Arafah, beliau membaca doa, "Ya Allah, aku mohon mati syahid di jalan-Mu dan wafat di negeri Rasul-Mu (Madinah)." (HR Malik)

Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, Umar pun menceritakan soal doanya itu kepada salah seorang sahabatnya di Madinah. Sahabat itu pun berkomentar, "Wahai Khalifah, jika engkau berharap mati syahid, tidak mungkin di sini. Pergilah keluar untuk berjihad, niscaya engkau bakal menemuinya."

Dengan ringan, Umar menjawab, "Aku telah mengajukannya kepada Allah. Terserah Allah."

Keesokan harinya, saat Umar mengimami shalat shubuh di masjid, seorang pengkhianat Majusi bernama Abu Lu'luah itu menghunuskan pisaunya ke tubuh Umar yang menyebabkan beliau mendapat tiga tusukan dalam dan tubuhnya pun roboh di samping mihrab.

Seperti itulah, Allah telah mengabulkan doa Umar bin Al Khathab untuk bisa syahid di Madinah dan dimakamkan berdampingan dengan Rasulullah saw. dan Abu Bakar Ash Shiddiq.

Pribadi Rasulullah

Nabi Muhammad Saw adalah sosok pemimpin yang sukses. Beliau berhasil memimpin dan memenej dirinya, dengan keterbatasan yang ada (ditinggal mati ayahnya pada usia 3 bulan dalam kandungan, dan ditinggal ibunya ketika usia 6 tahun, ditinggal kakek pada usia 8 tahun). Beliau digelari manusia berkualitas super (al-amin). Nabi Saw sukses memimpin keluarganya (istri dan anak-anak) sehingga terbina keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Nabi Saw juga terbukti mampu memimpin umatnya, mengangkat derajat masyarakat dari kehidupan jahiliah, minim budaya dan akhlak, kepada tatanan masyarakat madani-islami, mencetak kader-kader pemimpin masa depan (seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), dan mempeidatukan unsur-unsur masyarakat yang beragam dan mensinergikannya menjadi kekuatan yang hebat.
Kesuksesan Nabi Saw disebabkan dua faktor utama yaitu akhlak yang mulia dan kualitas kepemimpinan (pengetahuan dan skill). Nabi Saw menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji sehingga dia menjadi pemimpin yang dicintai dan disegani. Akhlak Nabi Saw, yang terkait dengan kepemimpinan, antara lain, Nabi Saw terkenal sangat santun dalam bersikap, termasuk terhadap bawahannya. Anas bin Malik, seorang pembantu Nabi, berkata, “Saya telah bekerja lebih dari 10 tahun dengan Rasulullah Saw. Selama itu tidak pernah saya mendengar Rasulullah Saw berkata, “Akh”, “Kenapa begitu?”, “Mengapa tidak begini“. (HR. Muslim).
Seorang pemimpin selayaknya bersikap santun agar dicintai dan dihormati. Sikap kasar dan keras akan menjadikan dirinya dijauhi dan dibenci. Firman Allah SWT, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS.AliImran[3]:159).
Nabi Saw sangat pemaaf. Pernah Nabi berhutang kepada seorang Yahudi bernama Sa’ad bin Sya’nah. Jatuh tempo pembayarannya masih tiga hari lagi. Tetapi Sa’ad menagih sebelum jatuh tempo. la mencari Nabi dan bertemu di jalan. Sa’ad langsung memegang selendang Nabi dengan keras seraya berkata, “Kamu hai Bani Abdul Muthallib telah lalai membayar hutang”. melihat kejadian itu, Umar langsung bangkit, ingin menghardik Sa’ad. Nabi mencegah Umar, sambil tersenyum Beliau berkata kepada Umar, “Saya memang mempunyai hutang kepada Sa’ad. Sikap kamu yang lebih tepat wahai Umar adalah menyuruhku untuk membayar hutang dan menyuruh dia menagih hutang dengan cara yang baik. Sebenarnya, jatuh tempo hutang masih tiga hari lagi. Tapi baiklah, tolong bayarkan utang itu dan tambahkan 20 sha’ agar hilang kemarahannya”. (HR. Al-Baihaqi, Ibnu Hibban dan Thabrani). Melihat sikap pemaaf dan pemurah Rasulullah Saw, Sa’ad menjadi malu dan terpesona. Dia langsung menyatakan masuk Islam.
Pemimpin harus memiliki sifat pemaaf sebab dia akan berhadapan dengan manusia yang memiliki berbagai sifat dan tingkah laku serta tidak jarang membuat jengkel, kecewa, dan marah. Sifat pemaaf ini mesti pula ditiru oleh bawahan. Kalau sifat pemaaf tidak terwujud maka akan banyak ketegangan, dendam, dan permusuhan.
Nabi Saw sangat rendah hati. Dia tidak gila hormat dan cenderung malu hati kalau mendapat pujian. Padahal segala kesuksesan dan kekuasaan berdatangan. Pernah para sahabat bediri menghormati Nabi memasuki majelis. Nabi tidak senang dan bersabda ketika itu, “Jangan kamu memberikan penghormatan kepadaku sebagaimana orang-orang jahiliyah“.
Seorang sahabat pernah berkata, “Ya Sayyidina” Nabi tidak suka dan bersabda, “Jangan kamu agungkan aku sebagaimana orang-orang Nashrani mengagungkan ‘lsa bin Maryam. Sesungguhnya saya adalah hamba Allah, maka panggillah saya ‘Abdullah wa Rasulullah”. (HR. Ahmad).
Nabi Saw penuh kasih sayang dan perhatian, terutama kepada bawahan danorang-orangyang lemah. Rasulullah biasa bergaul dan berjalan dengan orang-orang lemah dan mendo’akan mereka. (HR. Tirmidzi). Rasulullah Saw bersabda, “Berilah makan budakmu dengan makanan yang biasa kamu makan dan berilah mereka pakaian
dengan pakaian yang biasa kamu pakai. Janganlah kamu menyiksa makhluk Allah
“. (HR. Bukhari). Bahkan Rasulullah Saw memperlihatkan juga kasih sayangnya kepada binatang. Pernah Nabi melihat para sahabat membakar sarang semut. Nabi bersabda, “Tidak pantas menyiksa dengan api, kecuali Tuhannya api“. (HR. Abu Daud).
Sumber : Buletin Mimbar Jum’at  No. 34 Th. XXII  -  22 Agustus 2008

Salasila Nabi/Rasul

CIRI FISIK & GAMBARAN NABI MUHAMMAD ROSULULLAH Shalallahu ‘alaihi Wasallam

Manusia yangpaling tampan wajahnya, paling bagus bentuk penciptaannya, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek,berkulit putih dan berwajah elok,tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, dadanya bidang, jenggotnya lebat, rambutnya sampai ke daun telinga,kepalanya besar, demikian juga kedua tangan dan kedua kakinya,dan apabila kamu memandangnya maka kamu akan menyangka bahwa beliau memakai celak pada kedua matanya,tertawa beliau adalah dengan tersenyum,keringatnya seperti mutiara, apabila berjalan beliau mendorongkan badannya ke depan.

Kamis, 26 Januari 2012

Kronologi Pembunuhan Habil

Setelah pasangan Nabi Adam ‘alaihissalam dan Hawa turun ke bumi, Allah Subhanahu wa Ta’alamengaruniakan anak keturunan kepada mereka. Tidaklah Hawa melahirkan kecuali selalu kembar laki-laki dan perempuan. Diriwayatkan dari Ibnu Ihasq dalam Tafsir Baghowi dan Tafsir Al-Qurthubi bahwa Hawa melahirkan 40 anak dengan 20 kali mengandung. Wallahu a’lam.
Setelah anak keturunannya mencapai dewasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan (membolehkan) kepada Nabi Adam ‘alaihissalam untuk menikahkan salah satu dari pasangan kembar dengan salah satu dari pasangan Qabil bersama Iqlimiya yang berparas cantik, sedangkan pasangan kembar adiknya bernama Habil dan Layudha berparas kurang menarik.
Ketika Nabi Adam ‘alaihissalam hendak menikahkan mereka (Habil dengan Iqlimiya dan Qabil dengan Layudha, red.) proteslah Qabil dan membangkang dikarenakan saudara Habil jelek dan saudaranya sendiri cantik. Sehingga ia menginginkan saudara kembarnya tersebut untuk dirinya sendiri lantaran ia merasa dirinya lebih berhak atas saudara kembarnya. Berdasarkan wahyu dari Allah, Nabi Adam‘alaihissalam memerintahkan keduanya untuk berkurban, siapa yang diterima kurbanya maka dialah yang berhak atas keutamaan (menikahi saudara kembar Qabil).
Kurban Qabil dan Habil
Qabil adalah seorang petani. Ketika diperintahkan berkurban maka ia berkurban dengan seikat gandum. Dia pilih gandum yang jelek dari tanamannya. Dia tidak peduli apakah kurbannya diterima atau tidak, karena rasa sombong dan dengki sudah menguasainya.
Sedangkan Habil seorang peternak kambing, dia pilih kambing yang muda lagi gemuk untuk berkurban. Dia berkeinginan agar kurbannya diterima di sisi Allah Ta’ala. Setelah kurban keduanya dipersembahkan, Allah Ta’ala menurunkan api berwarna putih dan dengan izin Allah api itu membawa kurban Habil (sebagai tanda bahwa kurbannya diterima) dan meninggalkan kurban Qabil.
Al-Qurthubi menukil dari Sa’id bin Jubair rahimahullah dan lainnya bahwa kambing itu diangkat ke surga dan hidup di sana hingga diturunkan lagi ke bumi untu dijadikan tebusan bagi Nabi Ismail ‘alaihissalamketika hendak disembelih oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalamWallahu a’lam
Melihat yang demikian, di mana kurbannya tidak diterima, spontan marahlah Qabil hingga berlanjut mengancam Habil untuk membunuhnya. Walau bagaimanapun, dia tak ingin Habil menikhai saudara perempuannya. Allah Ta’ala berfirman menceritakannya dalam Surat Al-Maidah ayat 27,
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَىْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ اْلأَخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Ceirtakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Qabil dan Habil) dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah satunya dan tidak diterima dari yang lainnya. Maka berkata yang tidak diterima kurbannya, ‘Sungguh aku akan membunuhmu.’ Dan berkata yang diteirma kurbannya, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban dari orang-orang bertakwa.’
Melihat kakaknya berniat membunuhnya, Habil tidak membela diri. Sebaliknya, dia menyerahkan dirinya dan tidak ada keinginan melawan. Dia berkata,
لَئِن بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَآأَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ {28} إِنِّي أُرِيدُ أَن تَبُوأَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَآؤُا الظَّالِمِينَ {29}
Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu untuk membunuhku, sekali-kali aku tidak menggerakkan tanganku aku membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Robb sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa (pembunuhan ini) dan dosa kamu sendiri yang lain, maka kamu menjadi penghuni neraka, dan yang demkian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Maidah: 28-29)
Habil melakukan tindakan ini karena Qabil bukanlah orang kafir melainkan pelaku maksiat, dia khawatir jika melawan akan punya keinginan seperti Qabil yakni membunuh lawannya. Ini tentu berakibat fatal, karena nanti kedua-duanya akan masuk neraka.
Tindakan ini juga seperti apa yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan, pada waktu terjadinya fitnah ia tidak melawan ketika diserang karena beliau tahu yang dihadapinya orang-orang muslim. Adapaun kepada orang kafir maka seharusnya mempertahankan diri dan melawan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Bukhari dan Muslim:
Apabila dua orang muslim berhadap-hadapan dengna pedang masing-masing, maka pembunuh dan yang dibuuh keduanya masuk neraka.” Para sahabt bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau pembunuh wajar ia masuk neraka, tetapi kalau yang dibunuh apa gerangan penyababnya?” Maka Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya yang dibunuh itu juga berkeinginan membunuh temannya.”
Juga dalam hadits yang shahih riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi:
Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana pendapat Anda (wahai Rasulullah) jika ada orang (muslim) yang masuk rumah saya lalu menggerakkan tangannya untuk membunuh saya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jadilah seperti anak Nabi Adam (ketika dibunuh ia tidak melawan).
Cara Qabil Membunuh
Diriwayatkan dalam beberapa kitab tafsir, Qabil berkeinginan kuat untuk membunuh saudaranya, Habil, sekalipun sudah diberikan nasihat dan peringatan oleh Habil sendiri.
Pada suatu hari ketika Habil sedang menggembala kambing lantas tertidur lelap, tiba-tiba datanglah Qabil dengan membawa batu lalu dengan beringas batu itu dilemparkan mengenai kepala Habil hingga memecahkannya. Riwayat lain menyatakan bahwa Habil dicekik dan digigit sebagaimama binatang buas ketika menyantap mangsanya, wallahu a’lam. Dan pada akhirnya matilah Habil karenanya.
Setelah Habil meninggal, tanpa rasa belas kasihan Qabil meninggalkan jenazahnya di tempat terbuka. Dia tidak tahu apa yang mesti dilakukan kepada jenazah saudaranya karena jenazah Habil adalah yang pertama kali di atas permukaan bumi. Perbuatan Qabil ini membuahkan malapetaka yang besar bagi dirinya sendiri. Dia akan menanggung dosa dari pembunuhannya tersebut—karena ia tidak bertaubat—sekaligus dosa orang yang menirunya yakni melakukan pembunuhan dengna jalan yang tidak benar. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
Tidaklah dibunuh suatu jiwa dengan zalim melainkan dosa pembunuhan itu akan ditanggungpula oleh anak Adam yang pertama (Qabil) karena dialah yang pertama memberi contoh pembunuhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
Barang siapa yan gmemulai perkara baik (yang disyariatkan) maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya sampai terjadinya hari kiamat. Dan barang siapa yang memulai perkara jelek maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya sampai terjadinya hari kiamat.” (HR. Muslim)
Dalam keadaan yang demikian, Allah Ta’ala mendatangkan dua burung gagak yang sedang bertarung, salah satunya mati. Maka yang hidup mengais-ngais tanah dengan paruhnya membuat lubang untuk menanam burung gagak yang mati. Qabil mengambil pelajaran dari peristiwa itu tentang cara mengubur jenazah saudaranya.
Fawaid Kisah Pembunuhan Habil
Al-Qurtubhi mengatakan, “Hasad (dengki) adalah dosa yang pertama kali dilakukan di langit dan di bumi, di langit adlaah dengkinya iblis kepada Nabi Adam ‘alaihissalam dan di bumi adalah dengkinya Qabil kepada Habil.”
Pembunuhan termasuk dosa besar yang mengancam pelakunya masuk neraka.
Sumber: Majalah Al-Mawaddah, Edisi 8 Tahun ke-1 Robi’ul Awwal 1429/Maret 2008

Valentine's Day Bukan Dari Islam Dan Bukan Untuk Islam

Oleh: Ustadz Abu Ammar al-Ghoyami -hafizhahullah-
Tersebutlah dalam sejarah, bahwa dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Lupercalia adalah rangkaian perayaan yang disertai upacara pensucian di masa Romawi Kuno yang berlangsung dari tanggal 13-18 Februari. Dua hari pertama, perayaan tersebut dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata.
Pada dua hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak. Gadis yang namanya terambil harus menjadi pasangannya dalam menghibur diri dan menjadi obyek bersenang-senang selama setahun. Lalu pada tanggal 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan binatang buas semacam serigala dan sebagainya. Selama upacara ini, para pemuda membawa sehelai atau selembar kulit binatang sebagai cemeti lembut, dan para wanita berebut untuk dilecut dengan anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.
Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama resmi negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama Katolik Roma mengadopsi upacara ini, namun mereka mewarnainya dengan nuansa Kristiani. Mereka mengganti nama-nama gadis yang diundi dengan nama-nama Paus atau Pastor. Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I pun mendukung upacara adopsian ini.[i]
Kemudian, pada 496 M Paus Gelasius menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja yang akhirnya mereka sebut dengan nama Saint Valentine’s Day guna menghormati Santo Valentine yang kebetulan mati pada tanggal 14 Februari.[ii]
Tersebut, ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari. Seorang di antaranya dilukiskan sebagai orang yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak terdapat penjelasan yang bisa dipertanggungjawabkan tentang siapa “St. Valentine” yang dimaksud. Ada tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda dalam hal ini, yaitu seorang pastur di Roma, seorang uskup Interamna, dan ketiga seorang martir di provinsi Romawi Africa. Paus Gelasius sendiri menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada hal yang diketahui dari ketiga martir ini. Adapun 14 Februari dirayakan sebagai peringatan santo valentines semata-mata sebagai upaya mengungguli hari raya Lupercalica.[iii]
Hal yang sama ialah tentang kisahnya. Kisah tentang kematian martir yang sampai kini tak pernah diketahui ujung-pangkalnya, bahkan setiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda. Menurut satu versi, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan Tuhannya adalah Isa al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Sehingga orang-orang yang mendambakan do’a St. Valentine pun menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.
Versi lainnya mengatakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St. Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga ia pun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M.[iv]
Versi lainnya menyebutkan bahwa sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati sebagai pahlawan karena memperjuangkan kepercayaan), ia menulis sebuah pernyataan cinta dalam sebuah kartu kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu”.[v]
Titik Terang
Memperhatikan kisah sejarah yang disebutkan di atas, semestinya dengan mudah bisa dipahami tentang asal muasal hari valentine yang sedang banyak disponsori oleh media-media massa di dalam maupun luar negeri. Terlepas dari kebenaran tulisan sejarah, peringatan ini awalnya merupakan upacara kesyirikan, menduakan Alloh w\ dengan para dewa, yang dilakukan setiap tanggal 15 Februari. Kemudian berkembang menjadi sebuah perayaan resmi gereja kaum Nasrani yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari demi menghormati kematian seorang santo bernama Valentine, ialah tokoh Nasrani yang dianggap sebagai pahlawan agama dan sebagai pejuang kasih sayang sebagaimana yang mereka sangka. Sehingga kemudian hari tersebut diistilahkan dengan hari kasih sayang. Demikianlah sebagaimana dikisahkan dalam sejarah.
Jadi, perayaan ini bukan dari Islam, bukan dari agama tauhid, bukan  dari kaum mukminin yang bertauhid dan bukan pula dari orang-orang sholih yang telah mendahului kita. Namun musibah sebesar-besar musibah ialah, apa yang menimpa sebagian besar umat Islam saat ini. Di mana sebagian umat ini, menutup mata dari kenyataan sejarah di atas, bahkan terlebih dahulu mereka menutup mata dari mempelajari agamanya. Akibatnya mereka terjatuh atau bahkan menjatuhkan diri dalam kubangan peringatan hari valentine dengan berbagai kemaksiatannya, kerusakan serta dosa-dosa yang ada.

Kamis, 19 Januari 2012

KISAH SI PEMALAS DENGAN ABU HANIFAH

Suatu hari ketika Imam Abu Hanifah sedang berjalan-jalan melalui sebuah rumah yang jenelanya masih terbuka, terdengar oleh beliau suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Keluhannya mengandungi kata-kata, "Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini, agaknya tiada sesiapa pun yang lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Sejak dari pagi lagi belum datang sesuap nasi atau makanan pun di kerongkongku sehingga seluruh badanku menjadi lemah longlai. Oh, manakah hati yang belas ikhsan yang sudi memberi curahan air walaupun setitik."

Mendengar keluhan itu, Abu Hanifah berasa kasihan lalu beliau pun balik ke rumahnya dan mengambil bungkusan hendak diberikan kepada orang itu. Sebaik sahaja dia sampai ke rumah orang itu, dia terus melemparkan bungkusan yang berisi wang kepada si malang tadi lalu meneruskan perjalanannya.

Dalam pada itu, si malang berasa terkejut setelah mendapati sebuah bungkusan yang tidak diketahui dari mana datangnya, lantas beliau tergesa-gesa membukanya. Setelah dibuka, nyatalah bungkusan itu berisi wang dan secebis kertas yang bertulis, "Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu berkeluh kesan sedemikian itu, kamu tidak pernah atau perlu mengeluh diperuntungkan nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah dan cublah bermohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus."

Pada keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi rumah itu dan suara keluhan itu kedengaran lagi, "Ya Allah, Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kelmarin, sekadar untuk mengenyangkan hidupku ang melarat ini. Sungguh jika Tuhan tidak beri, akan lebih sengsaralah hidupku, wahai untung nasibku."

Mendengar keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun lalu melemparkan lagi bungkusan berisi wang dan secebis kertas dari luar jendela itu, lalu dia pun meneruskan perjalanannya. Orang itu terlalu riang sebaik sahaja mendapat bungkusan itu. Lantas terus membukanya.

Seperti dahulu juga, di dalam bungkusan itu tetap ada cebisan kertas lalu dibacanya, "Hai kawan, bukan begitu cara bermohon, bukan demikan cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian 'malas' namanya. Putusa asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak redha Tuhan melihat orang pemalas dan berputus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan...jangan berbuat demikian. Hendak senang mesti suka pada bekerja dan berusaha kerana kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak perlu atau disuruh duduk diam tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan perkenankan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. InsyaAllah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Nah...carilah segera pekerjaan, saya doakan lekas berjaya."

Sebaik sahaja dia selesai membaca surat itu, dia termenung, dia insaf dan sedar akan kemalasannya yang selama ini dia tidak suka berikhtiar dan berusaha.

Pada keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak dari hari itu, sikapnya pun berubah, mengikut peraturan-peraturan hidup (Sunnah Tuhan) dan tidak lagi melupai nasihat orang yang memberikan nasihat itu.

Dalam Islam tiada istilah penggangguran, istilah ini hanya digunakan oleh orang yang berakal sempit. Islam mengajar kita untuk maju ke hadapan dan bukan mengajar kita tersadai di tepi jalan.

Rabu, 18 Januari 2012

D JUSTICE VOICE PROBLEMA LYRICS

Disaat hati mulai ternodai 
Problema duniawi?
Gelisah terasa lumpuhkan jiwa
Bahagia pun sirna?

?Kan ?kah kau tetap terpaku
Dalam problema hidupmu
Hanya menambah keluh?

Reff:
Hendaklah kau bersimpu
Dihadapan Tuhanmu?
`tuk memohon petunjuk
Jalan kebenaran?

Setiap langkah dalam hidup ini
Penuh dengan uji?
Sempurnalah iman yang kau miliki
Andai mampu jalani?

Senantiasa ingatlah
Pada Allah yang kuasa
Mohon lindungan-Nya?

Reff:
Berusaha karena-Nya
Bertawakal pada-Nya
Niscaya ?kan kau capai
Kemenangan dari-Nya?

Chorus & back to *

Karena Kejujuran, Cobaan Berubah Menjadi Nikmat


Dari Ibnu Syihab, dari Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik, diriwayatkan, bahwa Abdullah bin Ka’ab bin Malik -dia adalah penuntun Ka’ab dari anak-anaknya saat Ka’ab menjadi buta- berkata: “Saya mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang kisahnya saat tidak ikut dalam  Tabuk.

Ka’ab bercerita, ‘Saya tidak pernah absen dalam peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam kecuali perang Tabuk. Hanya saja, saya juga tidak ikut dalam perang Badar, tapi Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam tidak menegur orang-orang yang absen saat itu. Sebab Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam -saat itu- hanya ke luar untuk mencegat kafilah onta yang membawa dagangan kaum Quraisy. Dan tanpa ada rencana sebelumnya, ternyata Allah Ta`alamempertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka. Tapi saya pernah ikut bersama Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam pada malam (Baiatul) Aqabah, saat itu kami mengadakan janji setia terhadap Islam. Dan peristiwa ini lebih saya senangi ketimbang peristiwa perang Badar, walaupun perang Badar itu lebih sering dikenang oleh banyak orang!’
Sehubungan dengan perang Tabuk, ceritanya begini. Saya tidak pernah merasa lebih kuat secara fisik dan lebih mudah secara ekonomi ketimbang saat saya absen dalam perang itu. Demi Allah, saya tidak pernah punya dua kendaraan (kuda), tetapi ternyata saat perang itu saya bisa mempunyai dua kendaraan. Sebelum Tabuk, bila Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam mengajak para sahabat untuk perang, biasanya beliau selalu tidak menerangkan segala sesuatunya dengan jelas dan terang-terangan. Tetapi dalam perang ini, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berterus terang kepada para sahabat. Sebab, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam akan melangsungkan peperangan ini dalam kondisi cuaca yang sangat panas. Beliau akan menempuh perjalanan yang jauh, melalui padang pasir yang begitu luas. Dan beliau juga akan menghadapi musuh dalam jumlah besar. Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam menjelaskan semua ini pada para sahabat. Saat itu, jumlah kaum muslimin memang banyak. Tidak ada catatan yang menyebutkan nama-nama mereka secara lengkap.’
Ka’ab berkata, ‘Dari saking banyaknya, sampai-sampai tak ada seorang pun yang ingin absen saat itu kecuali dia menyangka tidak akan diketahui selagi wahyu tidak turun dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam melangsungkan perang Tabuk itu di saat buah-buahan dan pohon-pohon yang rindang tumbuh dengan suburnya. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wasallamdan kaum muslimin telah bersiap-siap, hampir saja saya berangkat dan bersiap-siap dengan mereka. Tapi ternyata saya pulang dan tidak mempersiapkan apa-apa. Saya berkata dalam hati, ‘Saya bisa bersiap-siap nanti.’ Begitulah, diulur-ulur, sampai akhirnya semua orang sudah benar-benar siap. Di pagi hari, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah berkumpul bersama kaum muslimin untuk berangkat. Tetapi saya tetap belum mempersiapkan apa-apa. Saya berkata, ‘Saya akan bersiap-siap sehari atau dua hari lagi, kemudian saya akan menyusul mereka setelah mereka berangkat.’ Saya ingin bersiap-siap, tapi ternyata saya pulang dan tidak mempersiapkan apa-apa. Begitulah setiap hari, sampai akhirnya pasukan kaum muslimin benar-benar sudah jauh dan perang dimulai. Saat itu saya ingin berangkat untuk menyusul mereka, tapi sayang, saya tidak melakukannya. Saya tidak ditakdirkan untuk berangkat.
Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan kaum muslimin keluar dari kota Madinah, aku keluar dan berputar-putar melihat orang-orang yang ada. Dan yang menyedihkan, yaitu bahwa saya tidak melihat kecuali yang dicurigai sebagai munafik atau orang lemah yang memang mendapat keringanan dari Allah Ta`ala. Sementara itu, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam tidak menyebut-nyebut saya sampai beliau tiba di Tabuk. Di sana, beliau duduk-duduk bersama para sahabat dan bertanya, ‘Apa yang diperbuat Ka’ab?’ Ada seseorang dari Bani Salamah yang menyahut, ‘Ya Rasulullah, dia itu tertahan oleh pakaiannya dan bangga dengan diri dan penampilannya sendiri.’ Mendengar itu Muadz bin Jabal berkata, ‘Alangkah jeleknya apa yang kamu katakan. Demi Allah ya Rasulullah, kami tidak mengetahui dari Ka’ab itu kecuali kebaikan.’ Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam diam.’
Ka’ab melanjutkan ceritanya, ‘Ketika saya mendengar bahwa beliau bersama pasukan kaum muslimin menuju kota Madinah kembali, saya mulai dihinggapi perasaan gundah. Saya pun mulai berfikir untuk berdusta, saya berkata, ‘Bagaimana saya bisa bersiasat dari kemarahan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam besok?’
Untuk itu, saya minta bantuan saran dari keluarga saya. Setelah ada informasi bahwa Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam sudah mulai masuk kota Madinah, hilanglah semua kebatilan yang sebelumnya ingin saya utarakan.
Saya tahu, bahwa tidak mungkin saya bisa bersiasat dari kemarahan beliau dengan berdusta. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah tiba, dan biasanya bila beliau tiba dari suatu perjalanan, pertama kali beliau masuk ke masjid, lalu shalat dua rakaat, kemudian duduk-duduk menemui orang-orang yang datang.
Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam duduk, berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut berperang menemui beliau. Mereka mengajukan berbagai macam alasan diikuti dengan sumpah -jumlah mereka lebih dari 80 orang- Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menerima mereka secara lahir dan membai’at mereka serta memintakan ampunan. Adapun rahasia-rahasia hati, semuanya beliau pasrahkan kepada Allah Ta`ala.
Saya pun datang menemui beliau dan mengucapkan salam. Beliau tersenyum sinis, kemudian berkata, ‘Kemarilah!’ Saya berjalan sampai duduk di hadapan beliau. Lalu beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu tidak ikut serta? Tidakkah kau sudah membeli kendaraanmu?’ Saya jawab, ‘Ya benar. Demi Allah, sekiranya aku sekarang duduk di hadapan orang selain engkau dari seluruh penduduk dunia ini, tentu aku bisa selamat dari kemarahannya dengan mengemukakan alasan tertentu. Aku telah dikaruniai kepandaian berdiplomasi. Akan tetapi, demi Allah, aku yakin, kalau hari ini aku berdusta kepada engkau dan engkau rela menerima alasanku, niscaya Allah akan menanamkan kemarahan diri engkau kepadaku. Dan bila aku berbicara jujur kepada engkau, maka engkau akan menjadi marah karenanya. Sesungguhnya aku mengharapkan pengampunan dari Allah Ta`ala. Tidak, demi Allah, sama sekali saya tidak mempunyai alasan apa pun secara fisik dan lebih lapang secara ekonomi daripada saat aku tidak ikut serta dengan engkau.’(Maksudnya dalam perang Tabuk. (Pen)) Maka Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam berkata, ‘Orang ini telah berkata jujur, bangun dan pergilah sampai AllahTa`ala memberikan keputusan dalam masalahmu ini!’ Saya pun berdiri dan pergi. Saat itu orang-orang dari Bani Salamah mengikutiku, mereka berkata, ‘Demi Allah, kami tidak pernah mengetahui bahwa engkau pernah berbuat kesalahan sebelum ini. Mengapa engkau tidak mengajukan kepada Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam alasan-alasan seperti yang dilakukan orang lain yang juga tidak ikut? Dan dosamu nanti akan hilang dengan istighfar (permintaan ampun) Rasulullah shallallahu `alaihi wasallamuntukmu.’ Mereka terus menerus mencerca saya sampai-sampai saya sempat berfikir untuk kembali kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan meralat pembicaraan saya yang pertama. Kemudian saya bertanya pada mereka, ‘Adakah orang yang mendapatkan perlakuan sama denganku?’ Mereka menjawab, ‘Ya, ada dua orang lagi yang mengatakan seperti apa yang kau katakan dan mendapatkan jawaban seperti jawaban yang kau terima.’ Saya bertanya lagi, ‘Siapa mereka?’ Mereka menjawab, ‘Murarah bin Ar-Rabi’ Al-Amry dan Hilal bin Umayyah Al-Waqify.’ Mereka menyebutkan nama dua orang yang pernah ikut perang Badar dan mereka bisa dijadikan panutan. Setelah mendengar dua nama yang mereka sebutkan itu saya terus pergi.
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam lalu melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga di antara orang-orang yang tidak ikut bersama beliau. Akibatnya, orang-orang semua meninggalkan kami dan sikap mereka pun berubah, bahkan dunia ini pun seolah juga berubah, tidak sama dengan dunia yang saya kenal sebelumnya.
Kami merasakan hal demikian selama 50 hari. Selama itu, dua teman senasib saya hanya berdiam diri dan duduk di rumah masing-masing sambil menangis. Berbeda dengan saya, saya termasuk yang paling muda dan paling kuat menahan ujian ini. Saya pergi keluar dan ikut shalat berjamaah, tetapi tidak ada satu pun yang mau berbicara dengan saya. Saya datangi Rasulullah shallallahu `alaihi wasallamdan saya ucapkan salam kepada beliau saat berada di tempat duduknya seusai shalat. Saya berkata dalam hati, ‘Adakah Rasulullah menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?!’ Kemudian saya shalat di dekat beliau, saya mencuri pandangan. Saat saya sedang shalat, Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam melihat kepada saya. Tapi bila saya menoleh kepadanya, beliau berpaling dari saya. Setelah cukup lama orang-orang meninggalkan saya, suatu saat saya pergi memanjat dinding kebun Abu Qatadah -dia adalah sepupu saya dan termasuk orang yang paling saya cintai-. Saya mengucapkan salam kepadanya, tetapi -demi Allah- dia tidak menjawab salam saya. Saya berkata, ‘Wahai Abu Qatadah! Demi Allah aku bertanya, adakah engkau tahu bahwa aku ini mencintai Allah dan Rasul-Nya?’ Dia diam saja. Saya kembali bertanya tapi dia tetap diam. Saya bertanya sekali lagi, akhirnya dia juga menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya sendiri yang lebih tahu.’ Air mata saya berlinang dan saya kembali memanjat dinding itu lagi.
Ketika saya berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada seorang bangsawan dari Syam. Dia termasuk para pedagang yang datang membawa makanan untuk dijual di Madinah. Dia berkata, ‘Siapa yang dapat menunjukkan di mana Ka’ab bin Malik?’
Orang-orang yang ada di situ menunjukkannya. Setelah dia mendatangi saya, dia menyerahkan pada saya sebuah surat dari Raja Ghassan. Dalam surat itu tertulis, ‘Aku telah mendengar bahwa kawanmu (yaitu Nabi Muhammad) telah meninggalkanmu, sementara engkau tidaklah dijadikan oleh Allah berada pada derajat yang hina dan terbuang. Datanglah kepada kami, kami akan menghiburmu.’ Setelah membaca surat itu saya bergumam, ‘Ini termasuk rangkaian ujian Allah.’ Lalu saya bawa surat itu ke tungku dan membakarnya.
Setelah berlalu 40 hari dari total 50 hari, utusan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam datang kepada saya. Katanya, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah menyuruhmu untuk menjauhi isterimu!’ Saya bertanya, ‘Apakah saya harus menceraikannya atau bagaimana?’, dia menjawab, ‘Tidak, jauhilah dia dan janganlah kau mendekatinya’. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam juga mengirimkan utusan beliau kepada dua rekan senasib saya. Maka saya meminta pada isteri saya, ‘Pergilah kau ke tempat keluargamu. Menetaplah di sana sampai Allah Ta`ala memutuskan masalah ini!’
Ka’ab berkata, ‘Isteri Hilal bin Umayyah datang menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, Hilal bin Umayyah itu sudah tua renta, dan dia tidak mempunyai pembantu. Apakah engkau keberatan bila aku melayaninya?’ Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menjawab, ‘Tidak, tetapi jangan sampai dia mendekatimu!’ Isterinya menjawab, ‘Demi Allah, dia sudah tidak bisa bergerak lagi dan dia masih tetap menangis sejak dia mempunyai masalah ini sampai hari ini juga.’ Sementara itu sebagian keluarga saya berkata, ‘Bagaimana sekiranya engkau juga minta izin kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dalam masalah isterimu, agar dia bisa melayanimu seperti isteri Hilal bin Umayyah.’ Tetapi saya menjawab, ‘Demi Allah, dalam masalah ini aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bila aku minta izin kepada beliau, sementara aku ini masih muda?!’
Saya berada dalam kondisi demikian selama sepuluh malam, sehingga jumlahnya 50 malam dari mulai pertama kali Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam melarang orang untuk berbicara pada kami. Pada hari yang ke-50, saya menghadiri shalat Shubuh, setelah itu saya duduk-duduk, sementara kondisi saya persis seperti yang digambarkan oleh Allah Ta`ala, diri sendiri terasa sempit, begitu juga bumi yang luas ini terasa sempit bagi saya. Saat saya duduk dalam keadaan demikian, tiba-tiba saya mendengar suara orang yang berteriak dengan lantang di atas bukit, ‘Wahai Ka’ab, bergembiralah!’ Saat itu juga saya langsung sujud, saya tahu bahwa masalah saya akan berakhir. Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam mengumumkan datangnya taubat (pengampunan) Allah atas kami bertiga saat beliau selesai shalat Shubuh. Banyak orang pergi menemui kami untuk menyampaikan kabar gembira. Sebagian mereka ada yang menemui dua kawan senasib saya, dan ada seseorang yang ingin menemui saya dengan berkuda. Sementara itu ada seorang Bani Aslam yang hanya berjalan kaki, lalu dia naik ke bukit dan meneriakkan kabar gembira pada saya. Ternyata suara itu lebih cepat dari pada kuda. Setelah orang yang naik ke bukit itu datang menemui saya untuk menyampaikan langsung, saya tanggalkan pakaian saya dan saya hadiahkan untuknya sebagai imbalan atas kabar gembiranya. Demi Allah, sebenarnya saya ini tidak mempunyai baju lagi selain itu. Akhirnya saya meminjam baju orang, kemudian berangkat menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Orang-orang datang berduyun-duyun mengucapkan selamat atas kabar gembira ini. Mereka mengatakan, ‘Selamat atas pengampunan Allah untukmu!’ Setelah itu saya masuk ke dalam masjid, di situ terlihat Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam sedang duduk di kelilingi banyak orang. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidillah bangun dan menuju ke arah saya dengan setengah lari. Dia menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat. Tidak ada seorang pun dari kaum Muhajirin yang bangun selain dia, dan saya tidak akan melupakannya.
Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, beliau berkata -dengan wajah bersinar penuh kegembiraan-, ‘Bergembiralah dengan datangnya sebuah hari yang paling baik yang pernah engkau lalui semenjak kau dilahirkan oleh ibumu.’ ‘Dari engkau atau dari Allah, ya Rasulullah?’ tanya saya. Beliau menjawab, ‘Bukan dariku, tapi dari Allah.’ Dan demikianlah, bila Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sedang gembira, wajah beliau bersinar seperti bulan. Kami semua tahu hal itu. Setelah aku duduk tepat di hadapan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sebagai pertanda taubat ini, aku akan melepas semua hartaku dan menjadikannya sebagai shadaqah untuk Allah dan Rasul-Nya.’ Rasulullah menjawab, ‘Ambillah sebagian dari hartamu, ini lebih baik untukmu.’ Saya berkata, ‘Ya, aku akan mengambil jatahku yang aku dapatkan dari perang Khaibar.’ Setelah itu saya ungkapkan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta`ala telah menyelamatkan aku dengan kejujuran, dan sebagai pertanda taubatku kepada Allah, aku berjanji bahwa aku akan selalu berkata jujur selama hidupku. Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang muslim yang diuji oleh Allah dalam kejujuran kata-katanya melebihi ujian yang aku dapatkan.’
Dan sejak aku ungkapkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, saya tidak pernah berdusta sampai hari ini. Saya memohon semoga Allah tetap menjaga saya selama sisa hidup saya. Dan Allah Ta`ala menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya:
Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan. Setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allahlah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 117-119).
Demi Allah, tidak ada nikmat yang telah Allah karuniakan kepada saya -setelah nikmat hidayah Islam- yang lebih besar dari nikmat kejujuran saya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Saya tidak ingin berdusta tapi kemudian binasa seperti binasanya orang-orang yang telah berdusta. Dan AllahTa`ala telah memberikan komentar tentang orang-orang yang berdusta -di dalam wahyu yang diturunkan-Nya- dengan kata-kata yang sangat keras dan jelek.
Allah Ta`ala berfirman,
Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka itu berpalinglah dari mereka, karena mereka itu adalah najis dan tempat mereka adalah Jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu rela kepada mereka. Tetapi, jika sekiranya kamu rela kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rela kepada orang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah: 95-96).
Ka’ab berkata,
“Kami bertiga tidak memperhatikan lagi orang-orang yang diterima alasan mereka setelah bersumpah kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, kemudian beliau menyumpah mereka dan memintakan ampun buat mereka, sementara itu beliau menangguhkan urusan kami sampai Allah sendiri yang memutuskan. Oleh karena itu Alah Ta`ala menyatakan,
وَعَلَى الثَّلَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُواْ.
”(Dan Allah juga telah menerima taubat) tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka.
Yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah tidak ikut sertanya kami bertiga dalam perang, tetapi yang dimaksud adalah ditangguhkannya taubat kami serta tidak diikutsertakannya kami pada kelompok orang-orang yang telah bersumpah dan mengemukakan alasan dan diterima oleh Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam.”(H.R. Al-Bukhari (8/113)), Kitabul Maghazi, bab Hadits Ka’ab bin Malik.)
Sumber: -Kisah Nyata Tentang Nabi, Rasul, Sahabat, Tabi`in, Orang-orang Dulu dan Sekarang, karya Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi, penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. (alsofwah.or.id)
Artikel www.KisahMuslim.com