Sabtu, 28 April 2012

Bila Kuburan Diagungkan

Bentuk-bentuk Pemujaan Terhadap Kuburan
Bagi sebagian besar kaum muslimin di zaman sekarang, kuburan telah menjadi salah satu tempat yang paling sering dan paling banyak mendapat kunjungan. Mereka sering hilir mudik di kuburan tersebut, tak kalah ramai dengan tempat-tempat rekreasi dan hiburan. Bahkan terkadang kuburan itu lebih ramai daripada rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala (masjid). Mereka datang dengan berbagai hajat dan tujuan. Di antara mereka ada yang ingin lulus dalam ujian sekolah, ada yang ingin berhasil dalam cocok tanam dan perdagangan, ada yang ingin mencari barakah dan anak keturunan, dan ada pula yang berniat agar mendapatkan jodoh yang sesuai selera.
Di antara mereka juga ada yang bertujuan untuk memandikan jimat-jimat dan keris-keris pusaka, ada yang ingin kedudukannya tidak digoyang dan bahkan ada di antara mereka yang mengucapkan nadzar bila telah berhasil dari sesuatu, akan keliling makam para wali yang dikunjunginya itu. Ada yang datang untuk menyucikan diri, bahkan ada yang memang berniat untuk beribadah yaitu hanya semata-mata ziarah. Sehingga untuk keberlangsungan semua ini, setiap kuburan yang dianggap keramat dan memiliki kelebihan, dibangun dengan bangunan yang megah dan mahal yang nilainya melebihi bangunan rumah orang yang meninggal itu semasa hidupnya. Setelah itu diangkat juru kunci sebagai pemandu setiap peziarah. Semua ini merupakan perkara yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pelakunya (yakni orang-orang yang suka mengagungkan kuburan). Terkadang beliau menyatakan, “Demikian besar murka Allah kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan mereka agar mendapatkan murka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karena apa yang mereka perbuat termasuk perbuatan maksiat. Yang demikian ini terdapat di dalam kitab-kitab Shahih. Terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (dengan keras) perbuatan tersebut, terkadang mengutus seseorang untuk menghancurkannya, terkadang menyebutkan bahwa hal itu termasuk dari perbuatan Yahudi dan Nasrani, terkadang beliau menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala.” Terkadang menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat ied.” Artinya menentukan waktu tertentu untuk berkumpul (di kuburan) sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para penyembah kubur. (Lihat Syarh Ash-Shudur Bitahrim Raf’il Qubur hal. 1)
Di antara bentuk-bentuk pengagungan kepada kuburan:
a. Membuat bangunan di atasnya
Telah dibahas di dalam majalah ini edisi sebelumnya tentang hukum membangun kuburan, yang pada kesimpulannya adalah diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk meratakannya. Dalam riwayat Al-Imam Muslim rahimahullah dari Abu Hayyaj Al-Asadi rahimahullah ia berkata:
قاَلَ لِيْ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طاَلِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى ماَ بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ لاَ تَدَعَ تِمْثاَلاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفاً إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepadaku: ‘Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku padanya? (Yaitu) jangan kamu membiarkan patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang menonjol lebih tinggi melainkan kamu ratakan’.”
Demikianlah pengajaran nabawi kepada Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu untuk menghancurkan segala wujud berhala dan segala yang akan mengantarkan kepadanya dalam rangka mengingkari kemungkaran. Ini menunjukkan haramnya membangun kuburan.
b. Berdoa padanya
Kita telah mengetahui bahwa doa adalah ibadah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabda beliau dari shahabat Abu Abdullah An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu:
الدُّعاَءُ هُوَ الْعِباَدَةُ
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud no. 1479 dan At-Tirmidzi no. 2973 dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu)
Kalau doa itu merupakan sebuah ibadah berarti kita harus mengamalkannya di atas dua persyaratan.
Pertama: Mempersembahkan doa tersebut hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua: Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apakah berdoa di kuburan telah memenuhi kedua syarat itu? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengetahui bentuk-bentuk doa di kuburan.
Berdoa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di Kuburan
Berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di kuburan merupakan perbuatan yang banyak dilakukan oleh para pengagung kuburan. Hal ini mereka lakukan disertai keyakinan tertentu seperti bahwa tempat tersebut memiliki barakah terlebih kuburan para nabi dan wali. Dan berkeyakinan akan mendatangkan kekhusyu’an dan cepat untuk terkabulkan. Adanya kepercayaan-kepercayaan seperti ini telah banyak mengundang kaum muslimin untuk berdoa di sisi kuburan. Tentu perbuatan ini adalah batil karena menentukan tempat peribadatan yang tidak pernah ditentukan oleh syariat termasuk dalam sebutan mengada-ada (bid’ah). Begitu juga para shahabat Nabi tidak pernah melakukan hal demikian di sisi kubur imam para nabi dan rasul yaitu kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذاَ ماَ لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami yang tidak pernah datang dalam urusan tersebut maka hal itu tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka ia tertolak.” (HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمَتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Maidah: 3)
Al-Imam Malik rahimahullah menyatakan sebagaimana yang telah dinukilkan oleh Ibnu Majisyun: “Barangsiapa yang mengada-ada di dalam Islam sebuah kebid’ahan dan dia menganggap hal itu sebagai sebuah kebaikan, maka sungguh dia telah menuduh bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian,” maka segala sesuatu yang di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sebagai agama, pada hari ini juga bukan sebagai agama.” (Al-I’tisham, 1/49)
Berbeda dengan berdoa untuk orang yang meninggal, maka perbuatan ini ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sengaja Berdoa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan Perantara Penghuni Kuburan
Perbuatan ini di dalam agama dinamakan tawassul. Istilah tawassul adalah istilah yang masyhur di kalangan kaum muslimin dan istilah ini telah mengindonesia. Tawassul memiliki makna: Mendekatkan diri kepada Allah dengan segala apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Para ulama telah membagi tawassul dalam dua bentuk dan kedua bentuk tersebut memiliki bagian-bagian yang banyak.
Pertama: Tawassul yang disyariatkan1
Kedua: Tawassul yang tidak disyariatkan
Tawassul yang disyariatkan jelas nash-nashnya di dalam Al-Quran seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجاَهَدُوا فِيْ سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapatkan keberuntungan.” (Al-Maidah: 35)
أُولَئِكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيْلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ وَيَخاَفُوْنَ عَذاَبَهُ إِنَّ عَذاَبَ رَبِّكَ كاَنَ مَحْذُوْراً
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya, sesungguhnya azab Rabbmu adalah suatu yang harus ditakuti.” (Al-Isra: 57)
Lalu, bertawassul dengan orang yang meninggal termasuk dalam bagian yang mana?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama: Segala akibat ada sebabnya. Yang menciptakan dan menentukan sebab akibat adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menjadikan suatu sebab yang tidak dijadikan sebab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam syariat termasuk syirik kecil. Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai sebab dan perantara yang akan menyampaikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk di dalam bab ini. Berdasarkan sisi ini berarti perbuatan tawasul dengan orang yang telah mati termasuk dari syirik kecil.
Kedua: Jika perbuatan ini benar, niscaya tidak akan ditinggal oleh para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kuburan imam para Rasul yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tentu akan berlomba-lomba untuk melakukannya dan tentu akan teriwayatkan dari mereka setelah itu. Berdasarkan sisi ini jelas bahwa perbuatan ini diada-adakan, termasuk perkara baru dan merupakan satu kebid’ahan di dalam agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka dia tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
(Lihat Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Fauzan, At-Tawassul hukumnya dan pembahasannya dari kumpulan-kumpulan fatwa Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)
(Jika tawassul itu sampai meminta-minta kepada ahli kubur itu sendiri, maka ini termasuk syirik besar sebagaimana pembahasan berikut -red)

Berdoa Kepada Penghuni Kuburan
Perbuatan ini termasuk dari syirik besar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pelakunya mendapat ancaman-ancaman yang pedih dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ الْمَساَجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَداً
“Dan bahwa masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada seorangpun bersama Allah.” (Al-Jin: 18)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menerangkan ayat ini: “Tidak doa ibadah ataupun doa masalah (yakni tidak boleh berdoa kepada selain Allah baik doa ibadah maupun doa masalah), karena masjid-masjid yang merupakan tempat yang paling mulia untuk beribadah harus dibangun di atas keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketundukan kepada keagungan-Nya dan tenteram dengan kemuliaan-Nya.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 990)
Di antara ancaman-ancaman yang pedih itu ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ ماَ دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشآءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48)
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ ماَّ كاَنُوا يَعْمَلُوْنَ
“Dan jika mereka menyekutukan Allah niscaya akan terlepas dari mereka apa-apa yang mereka telah kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَقِيَ اللهَ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ دَخَلَ الناَّرَ
“Barangsiapa berjumpa dengan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dia akan masuk ke dalam jannah dan barangsiapa berjumpa dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan Allah, dia masuk ke dalam an-nar.” (HR. Muslim no. 93 dari shahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma)

Ziarah ke Kuburan
Ziarah kubur disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita bisa mengambil pelajaran dan mengingat akhirat. Tentunya dengan syarat jangan sekali-kali dia mengucapkan di sisi kuburan sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ [فَإِنَّهاَ تَذَكَّرُكُمُ اْلآخِرَةَ]2[وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا]3[فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا]4
“Sesungguhnya aku dulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah [karena akan bisa mengingatkan kepada akhirat]2 [dan akan menambah kebaikan bagi kalian dengan menziarahinya]3 [maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujran’ (ucapan-ucapan batil)]4.” (HR. Muslim dari shahabat Buraidah bin Hushaib radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya dan untuk bisa mengambil pelajaran. Apabila kosong dari ini maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)
Berbicara realita yang terjadi sekarang, sebagian – bahkan tidak berlebihan jika dikatakan mayoritas – kaum muslimin, telah keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh syariat dengan beberapa alasan:
Pertama: Menentukan waktu tertentu dan makam tertentu untuk tempat berziarah. Hal ini tidak mungkin dilakukan melainkan ada keyakinan yang lebih terhadap waktu dan makam tersebut. Ini dibuktikan dengan hal-hal yang dilakukan di makam tersebut seperti mencukur rambut anak, memandikan anak, membawa bunga-bunga, berdzikir di sisi kuburan tersebut, tawassul dengannya bahkan meminta segala bentuk hajat.
Kedua: Mempersiapkan perbekalan yang besar untuk melakukan ziarah dengan segala aneka ragam makanan dan buah-buahan serta kurban.
Ketiga: Melakukan perkara-perkara yang haram seperti campur baur antara laki-laki dan perempuan bahkan membawa pasangannya yang tentu saja mengakibatkan hilangnya hikmah ziarah itu sendiri yaitu mengingat akhirat dan bisa mengambil pelajaran darinya. (Bahkan ada yang mensyaratkan harus berbuat zina demi terkabulnya permohonannya -red).
Keempat: Dilakukan berbagai macam penyembahan, ada yang dalam bentuk meminta kepada penghuninya, bernadzar berkurban untuknya dan sebagainya.
Apakah ziarah kubur dianjurkan secara mutlak atau dilarang secara mutlak?
Jawabnya: Hukum ziarah kubur dibagi oleh para ulama menjadi tiga bentuk:
1. Ziarah yang disyariatkan
Ziarah yang disyariatkan oleh Islam dan terpenuhi tiga syarat padanya:
Pertama: Tidak mengadakan safar (bepergian) untuk berziarah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Jangan kalian bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415, dan datang dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kedua: Tidak mengucapkan kalimat-kalimat batil. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا
“Dulu kami telah melarang kalian dari menziarahi kubur. Barangsiapa ingin menziarahi kubur, lakukanlah dan jangan mengucapkan hujran.” (HR. An-Nasai no. 100 dari shahabat Buraidah radhiallahu ‘anhu dan asalnya di dalam riwayat Muslim).
Ibnul Atsir rahimahullah di dalam kitab An-Nihayah (5/240) mengatakan: “Al-Hujra dengan didhammahkan huruf ha, artinya ‘ucapan keji’.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi hafizhahullah mengatakan: “Lihatlah –semoga Allah merahmatimu– bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari kalimat-kalimat yang keji dan batil ketika berziarah ke kuburan dan apakah ada ucapan yang lebih besar kekejian dan kebatilannya daripada menyeru (berdo’a) kepada orang-orang yang telah mati dan meminta tolong dibebaskan dari malapetaka kepada selain Allah?” (Al-Qaulul Mufid, hal. 193)
Ketiga: Tidak dikhususkan dengan waktu-waktu tertentu karena tidak ada dalil pengkhususan yang demikian itu.
2. Ziarah Bid’ah
Ziarah yang tidak ada salah satu dari syarat-syarat di atas.
3. Ziarah Syirik
Ziarah yang menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan seperti berdoa kepada penghuninya, menyembelih, bernadzar, meminta pertolongan, perlindungan, meminta diturunkannya hujan, kesembuhan, terpelihara dari musuh, malapetaka, dan sebagainya dari jenis-jenis kesyirikan.4
Dari pembagian ketiga jenis ini, bisa kita ukur dan nilai, masuk kategori mana ziarah yang dilakukan mayoritas muslimin di makam-makam terkenal di seluruh pelosok tanah air ini. Dan ziarah ini telah menjadi rutinitas kalangan tertentu meski dengan hajat yang berbeda. Sehingga tidak ada satu kuburanpun yang terkenal dan memiliki nilai sejarah dalam kehidupan nenek moyang kecuali setiap waktu dibanjiri oleh para peziarah. Seakan-akan ia bagai Baitullah Al-Haram di tanah suci Makkah. Dari yang tingkatan rendah dalam dunia dan agama, hingga yang memiliki kedudukan tinggi.
Akankah semua ini berakhir? Dan di manakah para da’i penyeru kepada kebenaran? Dari kebenaran mereka jauh dan dari kemungkaran mereka diam.
Tentu masih banyak lagi bentuk-bentuk pengagungan kepada kuburan dan ini adalah sebagian kecil daripadanya, semoga mewakili yang lain. Dari semuanya ini tergambar:
Pertama: Betapa jauhnya muslimin dari aqidah yang benar.
Kedua: Jauhnya mereka dari syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketiga: Kebutuhan mereka terhadap tauhid dan dakwah tauhid.
Keempat: Jauhnya mereka dari pemahaman salafush shalih.
Wallahu a’lam.
1 Lihat secara ringkas pada Majalah Asy-Syari’ah edisi 07 hal. 18 kolom 1
2 Tambahan dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud
3 Tambahan dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan An-Nasai
4 Tambahan dalam riwayat Al-Imam An-Nasai
5 Lihat kitab Ahkamul Janaiz karya Asy-Syaikh Muhammad ibn Nuh Nashiruddin Al-Albani, kitab Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani, Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.

0 komentar:

Posting Komentar