Jumat, 27 April 2012

Hukum Pemimpin Perempuan Dalam Islam


Sampai sekarang persoalan pemimpin perempuan dalam hukum Islam masih diperdebatkan kebolehannya. Satu pendapat mengatakan haram dan pendapat yang lain mengatakan boleh atau tidak ada larangan. Pendapat mereka tentu saja tidak sekedar berpendapat. Masing-masing dari mereka jelas menggunakan dasar nash, baik Al-Qur’an maupun Hadis.
Dalam Materi Dakwah Islam dan Kultum kali ini juga diposting tentang hal itu. Tanpa menganggap salah pendapat lain, dalam tulisan ini dikemukakan salah satu pendapat tentang hukum pemimpin perempuan dalam Islam.
Pendapat tentang keharaman pemimpin perempuan didasarkan pada teks QS An-Nisa : 34 dan Hadis yang menyatakan “tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”. Memang secara tekstual dari dua keterangan tadi, pemimpin perempuan dalam Islam hukumnya tidak boleh.
Tetapi, satu hal yang perlu diketahui bahwa pemahaman tekstual tidak selamanya benar. Apalagi pemahaman tersebut tidak memperhatikan dimensi ruang dan waktu. Padahal ruang dan waktu dapat mempengaruhi perubahan sebuah hukum (Islam). Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi :
لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الاَحْكَامِ بِتَغَيُّرِالاَزْمَانِ وَالاَمْكِنَةِ
“Tidak bisa dipungkiri, perubahan hokum bisa terjadi karena perubahan waktu dan tempat”
Sementara itu pendapat-pendapat ulama juga sebagaian mengatakan bahwa hukum pemimpin perempuan dalam Islam adalah boleh alias tidak dilarang.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa perempuan boleh dan berhak menduduki jabatan pemimpin dalam wilayah public. Pendapatnya didasarkan pada QS At-Taubah : 71. Perempuan boleh menjadi pemimpin dalam semua hal termasuk memegang kendali kekuasaan menurut spesialisasi masing-masing, seperti jabatan member fatwa dan berijtihad, pendidikan, kehakiman dan sebagainya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Prof. Dr. Hamka. Antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dalam hal berbuat kebajikan. Keduanya bersatu dalam satu keyakinan, yaitu percaya kepada Allah SwT. Dapat dipahami bahwa perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam menegakkan Agama dan membangun masyarakat beriman.
Berdasarkan kedua pendapat diatas dan juga pendapat-pendapat lain yang mendasarkan pada QS at-Taubah : 71 dan juga pendapat-pendapat lain maka dapat ditari kesimpulan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berbuat kebajikan. Tentu saja termasuk urusan kepemimpinan dalam wilayah public.
Kalau dulu perempuan dilarang menjadi pemimpin sangat mungkin disebabkan kemampuan perempuan yang masih terbatas. Untuk konteks sekarang, dimana perempuan telah memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri maka kemampuannya tidak kalah dengan kaum adam.
Dan satu hal yang perlu diingat adalah kepemempinan sekarang bersifat kolektif kolegial. Artinya, kepemimpinan dilakukan secara kolektif dan melibatkan banyak orang. Sehingga, bila seorang perempuan menjadi pemimpin sebuah Negara maka ia tidak harus mengurusi semua hal. Urusan Negara tentu saja diurus oleh orang banyak yang tergabung dalam pemerintahannya.
Kesimpulan mengenai hukum pemimpin perempuan adalah boleh dan tidak ada larangan. Menurut penjelasan diatas, Islam tidak melarang perempuan menjadi pemimpin dalam ranah public.
Hanya saja, perempuan tetap mempunyai kewajiban dalam wilayah domestic (urusan rumah tangga). Jangan sampai urusan domestik terbengkalai, anak-anak terlantar dan rumah tangga berantakan.
Wa Allahu a’lamu bi as-shawab

0 komentar:

Posting Komentar