Selasa, 30 Oktober 2012

Hukum Mengadzankan Bayi


Sebelum kita mengambil keputusan hukumnya, kita bahas dahulu hadits yang dijadikan sandaran bagi orang-orang yang menganggapnya sunnah. Kita katakan: ada tiga hadits mengenai mengadzankan bayi, yaitu:

Pertama: hadits Abu Rofi’ Maula Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adzan ditelinga Al Hasan bin Ali seperti adzan untuk sholat ketika Fathimah radliyallahu ‘anha melahirkannya”. Dikeluarkan oleh Abu daud (5105), At Tirmidzi (4/1514), Al Baihaqi dalam Al Kubro (9/300), Ahmad (6/391-392). Ath Thobroni dalam Al Kabiir (931, 2578), Abdurrozaq (7986), Ath Thoyalisi (970), Al Hakim (3/179) dan Al Baghowi dalam Syarah Sunnah (11/273). Semuanya dari jalan Sufyan Ats Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya. Dalam sanad ini terdapat ‘Ashim bin Ubaidillah, ia lemah. Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata, “Munkar haditsnya.”. Ad Daroquthni berkata, “Yutrok (ditinggalkan haditsnya).”  Sementara itu Ath Thobroni meriwayatkan dalam Al Kabiir (926, 2579) dari jalan Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al Husain dengan tambahan, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan ditelinga Al Hasan dan Al Husain…di akhirnya dikatakan, “dan beliau memerintahkannya.”. Dan Hammad bin Syu’aib sangat lemah, selain itu ia diselisihi oleh Sufyan Ats Tsauri dalam riwayat lalu sehingga riwayatnya munkar secara sanad dan matan.
Kedua: hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al hasan bin Amru bin Saif As Sadusi mengabarkan kepada kami Al Qosim bin Muthoyyab dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu ma’bad dari Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga kanan Al hasan bin Ali pada hari kelahirannya dan iqomat di telinga kirinya. Kemudian setelahnya Al Baihaqi berkata, “Padanya terdapat kelemahan.”
Kita katakan, “Justru hadits ini palsuillat-nya adalah Al Hasan bin Amru, Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib, “Matruk.” Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan, “Ia dianggap pendusta oleh Ibnul Madini, Al Bukhori berkata, “Kadzdzaab (tukang dusta).” Ar Rozi berkata, “Matruk.”
Ketiga: hadits Al Husain bin Ali, yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390), dan Ibnu Sunni dalam ‘Amal Yaum wal Lailah (ح – 623) dari Yahya bin Al ‘Ala dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubidillah dari Al husain bin Ali ia berkata, Rosulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang kelahiran bayi lalu ia adzan di telinga kanannya dan iqomat di telinga kirinya, tidak akan bermudlorot padanya ibunya bayi.” Sanad ini palsu, ada dua cacat: Yahya bin Al ‘Ala tertuduh berdusta (muttaham bil kadzib) dan Marwan bin Salim matruk.
Kesimpulan : hadits mengadzankan bayi adalah dlo’if dan tidak boleh dijadikan hujjah. Dan hadits-hadits tersebut tidak dapat saling menguatkan karena hadits kedua dan ketiga tidak dapat djadikan sebagai syahid karena sangat lemah bahkan palsu, dan yang seperti ini tidak dapat menguatkan sebagaimana disebutkan dalam ilmu mushtolah hadits.

Hukum mengadzankan bayi

Setelah memaparkan derajat hadits-haditsnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mengadzankan bayi itu tidak boleh diamalkan karena haditsnya lemah.

Menepis Syubhat I

Sebagian orang berkilah bahwa Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat bolehnya mengamalkan hadits dlo’if dalam fadlilah amalan, sehingga hadits mengadzankan bayi boleh kita amalkan.
Jawab : kita jawab dengan beberapa jawaban berikut ini :
Jawaban I : klaim bahwa para ulama telah bersepakat tidak benar, karena banyak ulama yang tidak membolehkan mengamalkan hadits dlo’if walaupun dalam fadlilah amalan, di antaranya adalah Al Bukhori, Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar Ibnul ‘Arobi dan lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jamaluddin Al Qosimi dalam kitab Qowa’id Tahdits halaman 94 dan kepada pendapat ini Ibnu Hajar condong. Dan inilah pendapat yang benar karena hadits dlo’if itu hanyalah menghasilkan dzonn yang marjuh (lemah) dan dzonn yang marjuhtidak boleh diamalkan dengan kesepakatan ulama, demikian kata Syeikh Al Bani (lihatTamamul Minnah halaman 34-38. penting).
Jawaban II : bahwa maksud Imam An Nawawi adalah hadits dlo’if yang ditunjukkan oleh dalil lain yang shohih, Syeikh Ali Al Qori dalam kitabnya Al Mirqot (2/381) berkata, “Perkataan beliau, ‘Sesungguhnya hadits dlo’if boleh diamalkan dalam fadlilah amalan secara ijma’ sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi maksudnya adalah fadlilah dari amalan yang shohih dari Al Qur’an dan Assunnah “.
Jawaban III : Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ajab (hal 3-4) memberikan syarat bolehnya mengamalkan hadits dlo’if dalam fadlilah amalan dengan tiga syarat, yaitu ; hadits tersebut tidak boleh palsu, dan orang yang mangamalkannya wajib mengetahui bahwa hadits tersebut dlo’if, dan tidak boleh memasyhurkan amalan tersebut. Dan tiga syarat ini tidak dipenuhi oleh banyak orang yang mengamalkan hadits dlo’if dalam fadlilah amalan.
Jawaban IV : Ibnu Hajar berkata, “Tidak ada perbedaan dalam mengamalkan hadits baik dalam masalah hukum maupun fadlilah amalan, karena semuanya adalah syariat “. (Tabyinul ‘Ajab hal. 4). Di sini beliau menegaskan tidak adanya perbedaan antara masalah hukum dengan fadlilah, sedangkan para ulama bersepakat haramnya mengamalkan hadits dlo’ifdalam masalah hukum. Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya suatu amal apabila diketahui pensyariatannya dengan dalil syar’i, lalu ada hadits mengenai keutamaan amal tersebut selama tidak palsu, bolehlah pahala tersebut menjadi benar, dan tidak ada seorang ulama pun yang berkata, ‘Sesungguhnya boleh menghukumi sesuatu itu wajib atau sunnah berdasarkan hadits dlo’if.’ Barang siapa yang mengatakan dengan perkataan ini maka ia telah menyalahi ijma’ ulama.” (Majmu’ Fatawa, 1/251).

Menepis Syubhat II

Sebagian orang berkata bahwa Syeikh Muhammad Nashruddin Al Bani menghasankan hadits tersebut dalam kitab beliau yaitu Irwaul Gholil.
Jawab : beliau telah rujuk dari pendapatnya tersebut dalam kitab lain yaitu Silsilah Hadits Dlo’ifah (1/494 no 321) beliau berkata, “Sekarang saya berkata, ‘Sesungguhnya kitabSyu’abul Iman telah dicetak, ternyata ia (hadits Ibnu Abbas) tidak layak untuk dijadikan syahid, karena padanya terdapat rowi kadzdzab dan rowi matruk. Dan aku merasa heran kepada Al Baihaqi dan Ibnul Qoyyim yang hanya sebatas menghukuminya sebagai hadits yang dlo’if sehingga hampir-hampir aku memastikan bahwa hadits Ibnu Abbas boleh dijadikan syahid. Maka saya wajib mengingatkannya disini…”

Menepis Syubhat III

Sebagian orang berkata bahwa masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, maka boleh kita amalkan selama itu masih diperselisihkan.
Jawab : sesungguhnya perselisihan ulama bukan dalil untuk membolehkan, yang menjadi dalil adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sedangkan telah kita jelaskan bahwa dalilnya dlo’iftidak bisa dijadikan hujjah. Al Imam Al Khoththobi mengomentari perkataan sebagian orang yang berkata bahwa ketika ulama berselisih dalam masalah minuman keras dan bersepakat mengharamkan arak dari anggur, maka kita ambil yang disepakati dan kita bolehkan selainnya. Berliau berkata, “Ini adalah sebuah kesalahan yang fatal, karena Allah telah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rosul-Nya…” (A’lam Sssunan, 3/2091-2092).


Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.
Artikel www.cintasunnah.com

Senin, 29 Oktober 2012

Ingat Mati


Top of Form
Kematian merupakan persinggahan pertama manusia di alam akhirat. Al Qurthubiy berkata dalam At Tadzkirah, “Kematian ialah terputusnya hubungan antara ruh dengan badan, berpisahnya kaitan antara keduanya, bergantinya kondisi, dan berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya.” Yang dimaksud dengan kematian dalam pembahasan berikut ini adalah al maut al kubra, sedangkan al maut ash shug
hra sebagaimana dimaksud oleh para ulama, ialah tidur. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Az Zumar : 42)[1]

Orang yang Cerdas

Orang yang cerdas adalah orang yang tahu persis tujuan hidupnya. Kemudian mempersiapkan diri sebaik-baiknya demi tujuan tersebut. Maka, jika akhir kesempatan bagi manusia untuk beramal adalah kematian, mengapa orang-orang yang cerdas tidak mempersiapkannya?

Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Suatu hari aku duduk bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paling baik akhlaqnya’. Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paling cerdas.’ (HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy. Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah 2/419 berkata : hadits hasan)[2]

Pemutus Segala Kelezatan

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan’, yaitu kematian. (HR. At Tirmidzi, Syaikh Al Albaniy dalam Shahih An Nasa’iy 2/393 berkata : “hadits hasan shahih”)

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly hafizhahullah menjelaskan perihal hadits di atas, “Dianjurkan bagi setiap muslim, baik yang sehat maupun yang sedang sakit, untuk mengingat kematian dengan hati dan lisannya. Kemudian memperbanyak hal tersebut, karena dzikrul maut (mengingat mati) dapat menghalangi dari berbuat maksiat, dan mendorong untuk berbuat ketaatan. Hal ini dikarenakan kematian merupakan pemutus kelezatan. Mengingat kematian juga akan melapangkan hati di kala sempit, dan mempersempit hati di kala lapang. Oleh karena itu, dianjurkan untuk senantiasa dan terus menerus mengingat kematian.”[3]

Dan Merekapun Ingin Kembali

Sebaliknya orang-orang yang semasa hidupnya sangat sedikit mengingat mati, dari kalangan orang-orang kafir dan mereka yang tidak menaati seruan para Rasul, akan meminta tangguh dan udzur ketika bertemu dengan Rabb mereka kelak di akhirat. Inilah penyesalan yang paling mendalam bagi manusia yang tidak mengingat kematian.

“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang adzab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang dzalim: “Ya Rabb kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul. (Kepada mereka dikatakan): “Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?” (QS. Ibrahim : 44)

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan termasuk orang-orang yang shaleh? Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun : 10-11)

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “ Wahai Rabb-ku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal shaleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.” (QS. Al Mu’minun : 99-100)[4]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy berkata mengenai ayat dalam Surat Al Mu’minun, “Allah Ta’ala mengabarkan keadaan orang-orang yang berhadapan dengan kematian, dari kalangan mufrithin (orang-orang yang bersikap meremehkan perintah Allah -pent) dan orang-orang yang zhalim. Mereka menyesal dengan kondisinya ketika melihat harta mereka, buruknya amalan mereka, hingga mereka meminta untuk kembali ke dunia. Bukan untuk bersenang-senang dengan kelezatannya, atau memenuhi syahwat mereka. Akan tetapi mereka berkata, ‘Agar aku berbuat amal shaleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan.” Beliau kembali menjelaskan, “Apa yang mereka perbuat tidaklah bermanfaat sama sekali, melainkan hanya ada kerugian dan penyesalan. Pun perkataan mereka bukanlah perkataan yang jujur, jika seandainya mereka dikembalikan lagi ke dunia, niscaya mereka akan kembali melanggar perintah Allah.”[5]

Pendekkan Angan-Anganmu!

Sikap panjang angan-angan akan membuat seseorang malas beramal, mengira hidup dan umur mereka panjang sehingga menunda-nunda dalam beramal shalih.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membuat segi empat, kemudian membuat garis panjang hingga keluar dari persegi tersebut, dan membuat garis-garis kecil dari samping menuju ke tengah. Kemudian beliau berkata, ‘Inilah manusia, dan garis yang mengelilingi ini adalah ajalnya, dan garis yang keluar ini adalah angan-angannya. Garis-garis kecil ini adalah musibah dalam hidupnya, jika ia lolos dari ini, ia akan ditimpa dengan ini, jika ia lolos dari ini, ia akan ditimpa dengan ini.” (HR. Bukhari, lihat Fathul Bari I/236-235)

Dari Anas beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Setiap anak Adam akan menjadi tua dan hanya tersisa darinya dua hal: ambisi dan angan-angannya”[6]

Oleh karena itu, di antara bentuk dzikrul maut adalah memperpendek angan-angan, dan tidak menunda-nunda dalam beramal shalih.

Dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah memegang pundak kedua pundakku seraya bersabda : “Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau pengembara “. Ibnu Umar berkata : “Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu”. (HR. Al-Bukhari, lihat Al Fath I/233)

Faktor-Faktor yang Dapat Mengingatkan Kematian

[1] Ziarah kubur, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berziarah kuburlah kalian sesungguhnya itu akan mengingatkan kalian pada akhirat” (HR. Ahmad dan Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani)[7]

[2] mengunjungi mayit ketika dimandikan dan melihat proses pemandiannya

[3] menyaksikan proses sakaratul maut dan membantu mentalqin

[4] mengantar jenazah, menyolatkan, dan ikut menguburkannya

[5] membaca Al Qur’an, terutama ayat-ayat yang mengingatkan kepada kematian dan sakaratul maut. Seperti firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya” (QS. Qaaf : 19)

[6] merenungkan uban dan penyakit yang diderita, karena keduanya merupakan utusan malaikat maut kepada seorang hamba

[7] merenungkan ayat-ayat kauniyah yang telah disebutkan Allah Ta’ala sebagai pengingat bagi hamba-hambaNya kepada kematian. Seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, badai, dan sebagainya

[8] menelaah kisah-kisah orang maupun kaum terdahulu ketika menghadapi kematian, dan kaum yang didatangkan bala’ atas mereka

Faidah Mengingat Kematian

Di antara faidah mengingat kematian adalah : [1] memotivasi untuk mempersiapkan diri sebelum terjadinya kematian; [2] memendekkan angan-angan, karena panjang angan-angan merupakan sebab utama kelalaian; [3] menjadikan sikap zuhud terhadap dunia, dan ridha dengan bagian dunia yang telah diraih walaupun sedikit; [4] sebagai motivasi berbuat ketaatan; [5] sebagai penghibur seorang hamba tatkala memperoleh musibah dunia; [6] mencegah dari berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam menikmati kelezatan dunia; [7] memotivasi untuk segera bertaubat dan memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat; [8] melembutkan hati dan mengalirkan air mata, mendorong semangat untuk beragama, dan mengekang hawa nafsu; [9] menjadikan diri tawadhu’ dan menjauhkan dari sikap sombong dan zhalim dan; [10] memotivasi untuk saling memaafkan dan menerima udzur saudaranya.[8]

Penulis: Yhouga AM

Artikel
 www.muslim.or.id
[1] Al Qiyamah As Sughra, Syaikh Dr. Sulaiman Al Asyqar, hal. 15-16 cet. Dar An Nafais

[2] Disebutkan dalam Kitab At Tazkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah, Imam Al Qurthubiy dalam bab Dzikrul Maut wa Fadhluhu wal Isti’dadu lahu I/120, cet. Maktabah Dar Al Minhaj

[3] Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly, I/634 cet. Dar Ibnul Jauziy

[4] Imam Nawawi berdalil dengan ayat-ayat tersebut dalam Riyadhus Shalihin bab Dzikrul Maut wa Qashrul Umal (Mengingat Kematian dan Memendekkan Angan-Angan)

[5] Taisir Karimirrahman, Syaikh Abdurrahman bin Nshir As Sa’diy, hal. 531, cet. Dar Ibnu Hazm

[6] HR. Baihaqi dalam Az Zuhd Al Kabir no. 454, Al Hafizh Al Iraqiy berkata hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam “Qashrul Umal” dengan sanad yang shahih

[7] Silahkan merujuk pembahasan lebih lengkap mengenai ziarah kubur dalam artikel bulletin At Tauhid terdahulu, “Saat Kubur Jadi Tempat Ibadah”
 http://buletin.muslim.or.id/aqidah/saat-kubur-jadi-tempat-ibadah

[8] Brosur “Kafa bil Mauti Wa’izh”, Darul Wathan


Dari artikel Ingat Mati … — Muslim.Or.Id

http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/ingat-mati.html
Bottom of Form

Apa itu Wahabi ? (meluruskan kesalahpahaman masyarakat terhadap istilah wahabi)


Top of Form
Pertanyaan yang amat singkat di atas membutuhkan jawaban yang cukup panjang, jawaban tersebut akan tersimpul dalam beberapa poin berikut ini:

Keadaan yang melatar belakangi munculnya tuduhan wahabi.

Kepada siapa ditujukan tuduhan wahabi tersebut diarahkan?.

Pokok-pokok landasan dakwah yang dicap sebagai wahabi.

Bukti kebohongan tuduhan wahabi terhadap dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Ringkasan dan penutup.



Keadaan yang Melatar Belakangi Munculnya Tuduhan Wahabi


Para hadirin yang kami hormati, dengan melihat gambaran sekilas tentang keadaan Jazirah Arab serta negeri sekitarnya, kita akan tahu sebab munculnya tuduhan tersebut, sekaligus kita akan mengerti apa yang melatarbelakanginya. Yang ingin kita tinjau di sini adalah dari aspek politik dan keagamaan secara umum, aspek aqidah secara khusus.

Dari segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.

Para penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata, jadi mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan menggoyang kekuasaan mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan agama dengan benar, dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama yang benar.

Dari segi aspek agama, pada abad (12 H / 17 M) keadaan beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini praktek-praktek syirik atau bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti tidak mengingkari hal tersebut, tapi usaha mereka hanya sebatas lingkungan mereka saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang karena jumlah mereka yang begitu banyak di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan seperti ini masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam, barangkali negara kita masih dalam proses ini, di mana aliran-aliran sesat dijadikan segi batu loncatan untuk mencapai pengaruh politik.

Pada saat itu di Nejd sebagai tempat kelahiran sang pengibar bendera tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat menonjol hal tersebut. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktek-praktek syirik terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal. Salah satu daerah di Nejd, namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah, untuk meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung ‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum juga mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.

Adapun daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) sekalipun tersebarnya ilmu dikarenakan keberadaan dua kota suci yang selalu dikunjungi oleh para ulama dan penuntut ilmu. Di sini tersebar kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar karangan Ibnu Qhanim). Begitu pula halnya dengan negeri-negeri sekitar hijaz, apalagi negeri yang jauh dari dua kota suci tersebut, ditambah lagi kurangnya ulama, tentu akan lebih memprihatinkan lagi dari apa yang terjadi di Jazirah Arab.

Hal ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.” Dalilnya firman Allah:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)

Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika berada dalam ancaman bencana yaitu tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka baik dari orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat mereka telah selamat sampai di daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat.

Dalam keadaan seperti di atas Allah membuka sebab untuk kembalinya kaum muslimin kepada Agama yang benar, bersih dari kesyirikan dan bid’ah.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
« إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا »
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat ini agamanya.” (HR. Abu Daud no. 4291, Al Hakim no. 8592)
Pada abad (12 H / 17 M) lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejd, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.

Yang pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405, Muslim no. 2525)

tepatnya tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah Riyadh. Beliau lahir dalam lingkungan keluarga ulama, kakek dan bapak beliau merupakan ulama yang terkemuka di negeri Nejd, belum berumur sepuluh tahun beliau telah hafal al-Qur’an, ia memulai pertualangan ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya, dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh semangat yang tinggi beliau berpetualang ke berbagai daerah tetangga untuk menuntut ilmu seperti daerah Basrah dan Hijaz, sebagaimana lazimnya kebiasaan para ulama dahulu yang mana mereka membekali diri mereka dengan ilmu yang matang sebelum turun ke medan dakwah.

Hal ini juga disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Ushul Tsalatsah: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya wajib atas kita untuk mengenal empat masalah; pertama Ilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabinya, mengenal agama Islam dengan dalil-dalil”. Kemudian beliau sebutkan dalil tentang pentingnya ilmu sebelum beramal dan berdakwah, beliau sebutkan ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu sebelum berbicara dan beramal, dalilnya firman Allah yang berbunyi:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Ketahuilah sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal”.

Setelah beliau kembali dari pertualangan ilmu, beliau mulai berdakwah di kampung Huraimilak di mana ayah kandung beliau menjadi Qadhi (hakim). Selain berdakwah, beliau tetap menimba ilmu dari ayah beliau sendiri, setelah ayah beliau meninggal tahun 1153, beliau semakin gencar mendakwahkan tauhid, ternyata kondisi dan situasi di Huraimilak kurang menguntungkan untuk dakwah, selanjut beliau berpindah ke ‘Uyainah, ternyata penguasa ‘Uyainah saat itu memberikan dukungan dan bantuan untuk dakwah yang beliau bawa, namun akhirnya penguasa ‘Uyainah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya beliau berpindah lagi dari ‘Uyainah ke Dir’iyah, ternyata masyarakat Dir’iyah telah banyak mendengar tentang dakwah beliau melalui murid-murid beliau, termasuk sebagian di antara murid beliau keluarga penguasa Dir’iyah, akhirnya timbul inisiatif dari sebagian dari murid beliau untuk memberi tahu pemimpin Dir’yah tentang kedatangan beliau, maka dengan rendah hati Muhammad bin Saud sebagai pemimpin Dir’iyah waktu itu mendatangi tempat di mana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menumpang, maka di situ terjalinlah perjanjian yang penuh berkah bahwa di antara keduanya berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan agama Allah. Dengan mendengar adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha dengan berbagai dalih untuk menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Saud, dan menyiksa orang-orang yang pro terhadap dakwah tauhid.


Kepada Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut


Karena hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong supaya mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut. Diantar fitnah yang tersebar adalah sebutan wahabi untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.
Sebagaimana telah dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.” (QS. al-An-’am: 112)

Bila kita membaca sejarah para nabi tidak seorang pun di antara mereka yang tidak menghadapi tantangan dari kaumnya, bahkan di antara mereka ada yang dibunuh, termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari tanah kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila, sebagai tukang sihir dan penyair, begitu pula pera ulama yang mengajak kepada ajarannya dalam sepanjang masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya. Atau dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan manusia, supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.

Hal ini pula yang dihadapi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada penduduk Qashim: “Kemudian tidak tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam ingatanku, seperti tuduhannya:

Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.
Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.
Bahwa saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana.
Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahwa saya pernah berkata, jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.
Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.
Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.
Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah: sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6) (baca jawaban untuk berbagai tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut, 1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin Abdul Wahab Muslih Mazlum, 2. Abdul Aziz Abdul Lathif, Da’awy Munaawi-iin li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab, 3. Sholeh Fauzan, Min A’laam Al Mujaddidiin, dan kitab lainnya)



Pokok-Pokok Landasan Dakwah yang Dicap Sebagai Wahabi


Pokok landasan dakwah yang utama sekali beliau tegakkan adalah pemurnian ajaran tauhid dari berbagai campuran syirik dan bid’ah, terutama dalam mengkultuskan para wali, dan kuburan mereka, hal ini akan nampak jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab beliau, begitu pula surat-surat beliau (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kita Majmu’ Muallafaat Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3).

Dalam sebuah surat beliau kepada penduduk Qashim, beliau paparkan aqidah beliau dengan jelas dan gamblang, ringkasannya sebagaimana berikut: “Saya bersaksi kepada Allah dan kepada para malaikat yang hadir di sampingku serta kepada anda semua:

Saya bersaksi bahwa saya berkeyakinan sesuai dengan keyakinan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari beriman kepada Allah dan kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kepada hari berbangkit setelah mati, kepada takdir baik dan buruk.

Termasuk dalam beriman kepada Allah adalah beriman dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya tanpa tahriif (mengubah pengertiannya) dan tidak pula ta’tiil (mengingkarinya). Saya berkeyakinan bahwa tiada satupun yang menyerupai-Nya. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (Musabbihah atau Mujassimah))

Saya berkeyakinan bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah yang diturunkan, ia bukan makhluk, datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Saya beriman bahwa Allah itu berbuat terhadap segala apa yang dikehendaki-Nya, tidak satupun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya, tiada satupun yang keluar dari kehendak-Nya.

Saya beriman dengan segala perkara yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi setelah mati, saya beriman dengan azab dan nikmat kubur, tentang akan dipertemukannya kembali antara ruh dan jasad, kemudian manusia dibangkit menghadap Sang Pencipta sekalian alam, dalam keadaan tanpa sandal dan pakaian, serta dalam keadaan tidak bekhitan, matahari sangat dekat dengan mereka, lalu amalan manusia akan ditimbang, serta catatan amalan mereka akan diberikan kepada masing-masing mereka, sebagian mengambilnya dengan tangan kanan dan sebagian yang lain dengan tangan kiri.

Saya beriman dengan telaga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saya beriman dengan shirat (jembatan) yang terbentang di atas neraka Jahanam, manusia melewatinya sesuai dengan amalan mereka masing-masing.

Saya beriman dengan syafa’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Dia adalah orang pertama sekali memberi syafa’at, orang yang mengingkari syafa’at adalah termasuk pelaku bid’ah dan sesat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Saya beriman dengan surga dan neraka, dan keduanya telah ada sekarang, serta keduanya tidak akan sirna.

Saya beriman bahwa orang mukmin akan melihat Allah dalam surga kelak.

Saya beriman bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup segala nabi dan rasul, tidak sah iman seseorang sampai ia beriman dengan kenabiannya dan kerasulannya. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengaku sebagai nabi atau tidak memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bahkan beliau mengarang sebuah kitab tentang sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan judul Mukhtashar sirah Ar Rasul, bukankah ini suatu bukti tentang kecintaan beliau kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.)

Saya mencintai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para keluarga beliau, saya memuji mereka, dan mendoakan semoga Allah meridhai mereka, saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka.

Saya mengakui karamah para wali Allah, tetapi apa yang menjadi hak Allah tidak boleh diberikan kepada mereka, tidak boleh meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari karamah atau tidak menghormati para wali)

Saya tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muslim yang melakukan dosa, dan tidak pula menguarkan mereka dari lingkaran Islam. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin, atau berfaham khawarij, baca juga Manhaj syeikh Muhammad bin Abdul Wahab fi masalah at takfiir, karangan Ahmad Ar Rudhaiman)

Saya berpandangan tentang wajibnya taat kepada para pemimpin kaum muslimin, baik yang berlaku adil maupun yang berbuat zalim, selama mereka tidak menyuruh kepada perbuatan maksiat. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menganut faham khawarij (teroris))

Saya berpandangan tentang wajibnya menjauhi para pelaku bid’ah, sampai ia bertaubat kepada Allah, saya menilai mereka secara lahir, adapun amalan hati mereka saya serahkan kepada Allah.

Saya berkeyakinan bahwa iman itu terdiri dari perkataan dengan lidah, perbuatan dengan anggota tubuh dan pengakuan dengan hati, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.



Bukti Kebohongan Tuduhan Wahabi Tehadap Dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah


Dengan membandingkan antara tuduhan-tuduhan sebelumnya dengan aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita sebutkan di atas, tentu dengan sendirinya kita akan mengetahui kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut.

Tuduhan-tuduhan bohong tersebut disebar luaskan oleh musuh dakwah Ahluss sunnah ke berbagai negeri Islam, sampai pada masa sekarang ini, masih banyak orang tertipu dengan kebohongan tersebut. sekalipun telah terbukti kebohongannya, bahkan seluruh karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan tersebut.

Kita ambil contoh kecil saja dalam kitab beliau “Ushul Tsalatsah” kitab yang kecil sekali, tapi penuh dengan mutiara ilmu, beliau mulai dengan menyebutkan perkataan Imam Syafi’i, kemudian di pertengahannya beliau sebutkan perkataan Ibnu Katsir yang bermazhab syafi’i jika beliau tidak mencintai para imam mazhab yang empat atau hanya berpegang dengan mazhab Hambali saja, mana mungkin beliau akan menyebutkan perkataan mereka tersebut.

Bahkan beliau dalam salah satu surat beliau kepada salah seorang kepala suku di daerah Syam berkata: “Saya katakan kepada orang yang menentangku, sesungguhnya yang wajib atas manusia adalah mengikuti apa yang diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bacalah buku-buku yang terdapat pada kalian, jangan kalian ambil dari ucapanku sedikitpun, tetapi apabila kalian telah mengetahui perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam kitab kalian tersebut maka ikutilah, sekalipun kebanyakan manusia menentangnya.” (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab Majmu’ Muallafaat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3)

Dalam ungkapan beliau di atas jelas sekali bahwa beliau tidak mengajak manusia kepada pendapat beliau, tetapi mengajak untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama dari berbagai negeri Islam pun membantah tuduhan-tuduhan bohong tersebut setelah mereka melihat secara nyata dakwah yang beliau tegakkan, seperti dari daerah Yaman Imam Asy Syaukani dan Imam As Shan’any, dari India Syekh Mas’ud An-Nadawy, dari Irak Syaikh Muahmmad Syukri Al Alusy.

Syaikh Muhammad Syukri Al Alusy berkata setelah beliau menyebutkan berbagai tuduhan bohong yang disebar oleh musuh-musuh terhadap dakwah tauhid dan pengikutnya: “Seluruh tuduhan tersebut adalah kebohongan, fitnah dan dusta semata dari musuh-musuh mereka, dari golongan pelaku bid’ah dan kesesatan, bahkan kenyataannya seluruh perkataan dan perbuatan serta buku-buku mereka menyanggah tuduhan itu semua.” (al Alusy, Tarikh Nejd, hal: 40)

Begitu pula Syaikh Mas’ud An-Nadawy dari India berkata: “Sesungguhnya kebohongan yang amat nyata yang dituduhkan terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdu Wahhab adalah penamaannya dengan wahabi, tetapi orang-orang yang rakus berusaha mempolitisir nama tersebut sebagai agama di luar Islam, lalu Inggris dan turki serta Mesir bersatu untuk menjadikannya sebagai lambang yang menakutkan, yang mana setiap muncul kebangkitan Islam di berbagai negeri, lalu orang-orang Eropa melihat akan membahayakan mereka, mereka lalu menghubungkannya dengan wahabi, sekalipun keduanya saling bertentangan.” (Muhammad bin Abdul Wahab Mushlih Mazhluum, hal: 165)

Begitu pula Raja Abdul Aziz dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan di kota Makkah di hadapan jamaah haji tgl 11 Mei 1929 M dengan judul “Inilah Aqidah Kami”: “Mereka menamakan kami sebagai orang-orang wahabi, mereka menamakan mazhab kami wahabi, dengan anggapan sebagai mazhab khusus, ini adalah kesalahan yang amat keji, muncul dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, dan kami bukanlah pengikut mazhab dan aqidah baru, Muhammad bin Abdul Wahab tidak membawa sesuatu yang baru, aqidah kami adalah aqidah salafus sholeh, yaitu yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang menjadi pegangan salafus sholeh. Kami memuliakan imam-imam yang empat, kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam; Malik, Syafi’i , Ahmad dan Abu Hanifah, seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam pandangan kami, sekalipun kami dalam masalah fikih berpegang dengan mazhab hambaly.” (al Wajiz fi Sirah Malik Abdul Aziz, hal: 216)

Dari sini terbukti lagi kebohongan dan propaganda yang dibuat oleh musuh Islam dan musuh dakwah Ahlussunnah bahwa teroris diciptakan oleh wahabi. Karena seluruh buku-buku aqidah yang menjadi pegangan di kampus-kampus tidak pernah luput dari membongkar kesesatan teroris (Khawarij dan Mu’tazilah). Begitu pula tuduhan bahwa Mereka tidak menghormati para wali Allah atau dianggap membikin mazhab yang kelima. Pada kenyataannya semua buku-buku yang dipelajari dalam seluruh jenjang pendidikan adalah buku-buku para wali Allah dari berbagai mazhab. Pembicara sebutkan di sini buku-buku yang menjadi panduan di Universitas Islam Madinah.

Untuk mata kuliah Aqidah: kitab “Syarah Aqidah Thawiyah” karangan Ibnu Abdil ‘iz Al Hanafi, “Fathul Majiid” karangan Abdurahman bin Hasan Al hambaly. Ditambah sebagai penunjang, “Al Ibaanah“ karangan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, “Al Hujjah” karangan Al Ashfahany Asy Syafi’i, “Asy Syari’ah” karangan Al Ajurry, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Khuzaimah, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Mandah, dll.
Untuk mata kuliyah Tafsir: Tafsir Ibnu Katsir Asy Syafi’i, Tafsir Asy Syaukany. Ditambah sebagai penunjang: Tafsir At Thobary, Tafsir Al Qurtuby Al Maliky, Tafsir Al Baghawy As Syafi’i, dan lainnya.
Untuk mata kuliyah Hadits: Kutub As Sittah beserta Syarahnya seperti: “Fathul Bary” karangan Ibnu Hajar Asy Syafi’i, “Syarah Shahih Muslim” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, dll.
Untuk mata kuliyah fikih: “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusy Al maliky, “Subulus Salam” karangan Ash Shan’any. Ditambah sebagai penunjang: “al Majmu’” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, kitab “Al Mughny” karangan Ibnu Qudamah Al Hambali, dll. Kalau ingin untuk melihat lebih dekat lagi tentang kitab-kitab yang menjadi panduan mahasiswa di Arab Saudi silakan berkunjung ke perpustakaan Universitas Islam Madinah atau perpustakaan mesjid Nabawi, di sana akan terbukti segala kebohongan dan propaganda yang dibikin oleh musuh Islam dan kelompok yang berseberangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tuduhan teroris dan wahabi.

Selanjutnya kami mengajak para hadirin semua apabila mendengar tuduhan jelek tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau membaca buku yang menyebarkan tuduhan jelek tersebut, maka sebaiknya ia meneliti langsung dari buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau buku-buku ulama yang seaqidah dengannya, supaya ia mengetahui tentang kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana perintah Allah kepada kita:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bila seorang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kamu tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan, sehingga kamu menjadi menyesal terhadap apa yang kamu lakukan.”

Karena buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bisa didapatkan dengan sangat mudah terlebih-lebih pada musim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa beliau tidak mengajak kepada mazhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk beramal sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meneladani Rasulullah dan para sahabatnya serta generasi terkemuka umat ini, serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.


Ringkasan Dan Penutup


Ringkasan:

Seorang da’i hendaklah membekali dirinya dengan ilmu yang cukup sebelum terjun ke medan dakwah.
Seorang da’i hendaklah memulai dakwah dari tauhid, bukan kepada politik, selama umat tidak beraqidah benar selama itu pula politik tidak akan stabil.
Seorang da’i hendaklah sabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantang dalam menegakkan dakwah.
Seorang da’i yang ikhlas dalam dakwahnya harus yakin dengan pertolongan Allah, bahwa Allah pasti akan menolong orang yang menolong agama-Nya.
Tuduhan wahabi adalah tuduhan yang datang dari musuh dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan tujuan untuk menghalangi orang dari mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah sebagai pembawa aliran baru atau ajaran baru, tetapi seorang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Perlunya ketelitian dalam membaca atau mendengar sebuah isu atau tuduhan jelek terhadap seseorang atau suatu kelompok, terutama merujuk pemikiran seseorang tersebut melalui tulisan atau karangannya sendiri untuk pembuktian berbagai tuduhan dan isu yang tersebar tersebut.

Penutup

Sebagai penutup kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, semua itu adalah karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi hadirin semua, semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang benar itu adalah benar, kemudian menuntun kita untuk mengikuti kebenaran itu, dan memperlihatkan kepada kita yang salah itu adalah salah, dan menjauhkan kita dari mengikuti yang salah itu.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت وأستغفرك وأتوب إليك.

*) Penulis adalah Rektor Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii, Jember, Jawa Timur
***


Disampaikan dalam tabligh Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia
Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP *
Artikel
 www.muslim.or.id
Bottom of Form

KISAH SHAHABAT NABI YANG MENGHANCURKAN ALAT MUSIK


Top of Form
“Ada seorang pemuda yang bernama Dzaadzan, seorang peminum khamr (minuman keras), dan ia penabuh gendang, lalu Allah memberinya rezki berupa taubat ditangan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu maka menjadilah Dzaadzan termasuk orang-orang yang terbaik dari kalangan tabi’in, dan salah seorang ulama yang terkemuka, dan termasuk orang-orang yang m
asyhur dari kalangan hamba Allah ahli zuhud” [Lihat biografinya dalam Hilyatul Aulia 4/199, dan Bidayah wan Nihayah 9/74 dan Siyar ‘Alamun Nubala 4/280]

Inilah kisah taubatnya, sebagaimana Dzaadzan meriwayatkannya sendiri, ia berkata :

“Saya adalah seorang pemuda yang bersuara merdu, pandai memukul gendang, ketika saya bersama teman-teman sedang minum minuman keras, lewatlah Ibnu Mas’ud, maka ia pun memasuki (tempat kami), kemudian ia pukul tempat (yang berisikan minuman keras) dan membuangnya, dan ia pecahkan gendang (kami), lalu ia (Ibnu Mas’ud berkata : “Kalaulah yang terdengar dari suaramu yang bagus adalah Al-Qur’an maka engkau adalah engkau… engkau”. Dalam riwayat lain Ibnu Mas’ud berkata : “Alangkah bagusnya suara ini ! kalau seandainya ia membaca Al-Qur’an tentullah lebih baik”.

Setelah itu pergilah Ibnu Mas’ud. Maka aku bertanya kepada temanku : “Siapa orang ini ?” mereka berkata : “Ini adalah Abdullah bin Mas’ud (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.

Maka dengan kejadian itu (dimasukkan) dalam jiwaku perasaan taubat. Setelah itu aku berusaha mengejar Abdullah bin Mas’ud sambil menangis, (setelah mendapatinya) aku tarik baju Abdullah bin Mas’ud.

Maka Ibnu Mas’ud pun menghadap kearahku dan memelukku menangis. Dan ia berkata : “Marhaban (selamat datang) orang yang Allah mencintainya”. Duduklah! lalu Ibnu Mas’ud pun masuk dan menghidangkan kurma untukku [Siyar ‘Alamun Nubala 4/28]

Kita dapat mengambil pelajaran dari kisah diatas, bahwa kita mengetahui kejujuran Abdullah bin Mas’ud dan niatnya yang baik, serta tujuannya yang benar dalam berdakwah kepada Dzaadzan yang menyebabkannya mendapat petunjuk dan bertaubat, sebagaimana dikatakan Abdul Qadir Jailani (561H) semoga Allah merahmati beliau, mengomentari kisah tersebut :

“Lihatlah berkahnya kejujuran (kebenaran), ketaatan dan niat baik, bagaimana Allah memberi petunjuk Dzaadzan melalui Abdullah bin Mas’ud dikarenakan kejujuran dan tujuan baiknya, maka seorang yang rusak (perangai dan ahlaknya) tidak akan dapat engkau perbaiki hingga engkau sendiri menjadi seorang shalih (baik) dalam dirimu, takut kepada Rabbmu jika engkau bersendirian, ikhlas kepadaNya jika engkau bergaul dengan mahluk dengan tanpa berbuat riya’ dalam tindakan dan tingkahmu, meng-Esakan Allah dalam seluruh hal ini, dan ketika engkau ditambah petunjuk dan bimbingan oleh Allah, engkau menjaga dirimu dari hawa nafsu dan dari penyelewangannya oleh syaitan dari kalangan jin dan manusia, dan (engkau jaga dirimu) dari seluruh kemungkaran, kefasikan, bid’ah dan seluruh kesesatan, maka akan dihilangkan darimu kemungkaran dengan tanpa terbebani, sebagaimana hal ini terjadi pada zaman kita ini, seseorang mengingkari satu kemungkaran namun terjerumus dalam banyak kemungkaran, dan kerusakan yang besar ….” [Al-Ghunyah 1/139-140]

Dan perkara lain yang kita ambil faedah dari kisah diatas bahwasanya Ibnu Mas’ud telah menempuh cara yang “syar’iyyah” (cara yang sesuai dengan agama) yang paling utama dalam merubah kemungkaran, tatkala ia mampu merubah kemungkaran dengan …tangannya, maka iapun merubah kemungkaran dengan tangannya, ia pecahkan kendang dan ia hancurkan bejana minuman keras.

Sungguh pada diri Abdullah bin Mas’ud terdapat permisalan yang mengagumkan dalam keberanian dan maju membela kebenaran, serta dalam merubah kemungkaran. Ia tidak takut celaan orang yang suka mencela, padahal ia sendirian dan orang yang dilarang dari kemungkaran lebih dari satu, sebagaimana nampak dalam konteks cerita. Ditambah lagi padahal Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang pendek dan kurus (semoga Allah meridhai beliau).

Akan tetapi karena Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang mengagungkan hukum-hukum dan syiar-syiar Allah, maka hal ini mewariskan sikap penghormatan dan pengagungan, dan sungguh benarlah Amr bin Abdul Qais ketika ia berkata : “Barangsiapa yang takut kepada Allah, maka Allah menjadikan segala sesuatu takut kepadanya, dan barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka Allah akan menjadikannya takut terhadap segala sesuatu” [Sifatus Sofwah 3/208]

Dan dengan perbuatan Abdullah bin Mas’ud yang merubah kemungkaran dengan tangannya, kita akan mendapati seberapa besar belas kasih darinya dan seberapa besar kesempurnaan kelembutan dan nasehatnya kepada Dzaadzan. Karena tatkala Dzaadzan mendatanginya dalam keadaan bertaubat, iapun menghadapi dan memeluk Dzaadzan, lalu menangis lantaran gembira dengan taubat Dzaadzan. Dan Abdullah bin Mas’ud menghormatinya dengan ungkapan yang paling indah : “Selamat datang orang yang dicintai Allah”.

Sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” [Al-Baqarah : 222]

Bukan itu saja, bahkan Ibnu Mas’ud mempersilahkannya duduk dan mendekatkannya, dan menghidangkan kurma untuknya.

Demikianlah, ahli sunnah mengetahui kebenaran dan berdakwah kepada kebenaran, ahli sunnah sayang terhadap mahluk dan menasehati mereka.

Sebagaimana kita lihat dari kisah tadi bagaimana cerdas dan pintarnya Abdullah bin Mas’ud [Berkata Imam Dzahabi : Sesungguhnya Ibnu Mas’ud dianggap ulama yang cerdas, Lihat Siyar ‘Alamun Nubala 1/462] Lihatlah bagaimana Dzaadzan bertaubat. Karena sesungguhnya Dzaadzan adalah seorang penyanyi yang bagus suaranya, maka berkatalah Ibnu Mas’ud kepadanya : “Kalaulah yang terdengar dari suaramu yang bagus adalah Al-Qur’an maka engkau adalah engkau…engkau”. Dalam riwayat lain Ibnu Mas’ud berkata : “Alangkah bagusnya suara ini ! kalau seandainya ia membaca Al-Qur’an tentullah lebih baik”.

Sesungguhnya pengarahan yang lurus terdapat pada persiapan-persiapan dan kemampuan-kemampuan, dan meletakkannya pada tempatnya sesuai dengan syari’at ditambah lagi dengan memperhatikan tabiat jiwa manusia. Dan pengetahuan terhadap perasaannnya adalah penopang yang penting untuk kesuksesan dakwah, karena sesungguhnya jiwa itu tidak akan meninggalkan sesuatu melainkan diganti dengan sesuatu yang lain, maka haruslah memperhatikan pengganti yang sesuai dan inilah yang dipahami oleh Abdullah bin Mas’ud dan terlewatkan pemahaman ini oleh banyak manusia lainnya.

Ibnu Taimiyah berkata : “Agama Islam menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran, tidak akan tegak salah satunya melainkan dengan lainnya, maka janganlah seseorang melarang kemungkaran kecuali hendaknya ia juga menyuruh kebaikan dan menyingkirkan kemungkaran, sebagaimana ia menyuruh beribadah kepada Allah dan juga melarang dari beribadah kepada Allah dan juga melarang beribadah kepada selainNya, dimana perkara tertinggi adalah bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan jiwa itu diciptakan untuk beramal, bukan untuk meningalkan, dan hanyalah meninggalkan itu tujuan lainnya” [Iqtidho Sirotol Mustaqim 2/617]

Inilah fenomena yang mulia dari dakwah Salafush Shalih, dan dalam kitab-kitab yang menjelaskan biografi salafush shalih banyak dijumpai kisah-kisah yang indah (dalam kehidupan mereka), barangsiapa ingin mengambil contoh maka hendaklah mengambil contoh orang yang sudah meninggal dunia (para sahabat nabi), karena orang yang masih hidup tidak aman darinya fitnah.

[Majalah Ad-Dakwah Edisi 1863]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 09/Th.II /2004M/1424H. Terjemahan Dari Majalah Ad-Dakwah Edisi 1863. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]

http://gizanherbal.wordpress.com/2011/06/02/musisi-yang-bertaubat-di-tangan-shahabat-nabi/

===================


============================



untuk mengetahui alasan dan dalil haramnya musik silahkan baca:

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/saatnya-meninggalkan-musik.html

http://al-atsariyyah.com/haramnya-nyanyian-dan-alat-musik.html

http://ustadzaris.com/kata-sepakat-ulama-dalam-haramnya-musik

http://beritamuslimsahih-ahlussunnah.blogspot.com/2011/10/benarkah-musiklagunyanyian-itu-haram.html

http://www.salafy.or.id/2003/06/18/nyanyian-dan-musik-dalam-islam-ii/

http://www.salafy.or.id/2003/06/17/nyanyian-dan-musik-dalam-islam-i/

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/07/terapi-kesehatan-dengan-musik.html

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-musik-dan-nyanyian-3.html

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-musik-dan-nyanyian-2.html

http://bestabuabdullah.blogspot.com/2011/02/kepada-para-pecinta-nasyid-tinjauan.html

http://www.salafyoon.net/fiqih/hukum-nasyid-1.html
Bottom of Form

BAGAI MENGGENGGAM BARA API


Top of Form
“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula dalam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

”Akan datang suatu zaman kepada manusia di mana orang yang memegang agamanya ibarat orang yang menggenggam bara api.”(HR Tirmidzi 2140)
 

Sesungguhnya keajaiban manusia di akhir zaman ini sangat banyak dan nyata sekali. Terkadang kita kurang jeli memperhatikannya sehingga terlihat dunia ini berjalan baik-baik saja. Namun, bila kita cermati dengan baik, kita akan menemukan segudang keajaiban dan keanehan dalam kehidupan manusia akhir zaman dan hampir dalam semua lini kehidupan. Keajaiban yang kita maksudkan di sini bukan terkait dengan persitiwa alam seperti gempa bumi, tsunami dan sebagainya, atau kejadian yang aneh-aneh lainnya, melainkan pola fikir manusia yang paradoks yang berkembang biak di akhir zaman ini.

Berikut ini adalah sebagian kecil dari cara berfikir paradoks yang berkembang akhir-akhir ini dalam masyarakat luas. Lebih ajaib lagi, model berfikir paradoks tersebut malah dimiliki pula oleh sebagian umat Islam baik dari kalangan awam, terpelajar, politisi, pengusaha dan bahkan sebagian Ustadz, Kyai dan para tokoh mereka. Kaum muslimin pun banyak yang “membebek” dan mengikuti pola pikir mereka yang diantaranya adalah sebagai berikut :


MEDIA


Apa saja yang dituliskan dalam Koran dan Majalah, dengan mudah orang mempercayainya kendati itu hanya berupa tulisan manusia biasa yang belum teruji kebenarannya dan dibuat oleh penulis yang dipertanyakan pemahaman agamanya. Membaca dan mempelajarinya dianggap sebagai lambang kemajuan dan menambah “wawasan”.


Akan tetapi, apa yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits belum tentu langsung dipercayai dan diyakini kebenarannya, kendati mengaku sebagai Muslim. Padahal kebenaran Al-Qur’an sudah teruji sepanjang masa dari berbagai sisi ilmu pengetahuan. Akhir-akhir ini muncul anggapan bahwa memahami Al-Qur’an dan Hadits jangan letter lecht dan tidak bisa diterima “mentah-mentah” namun harus “dibumikan dahulu” agar sesuai dengan kondisi kekinian..

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36)

* * *

TOLERANSI


Bila ada orang atau kelompok yang dengan nyata-nyata merusak dan melecehkan ajaran Islam yang sangat fundamental, seperti masalah Rabb, Al-Qur’an dan pribadi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka orang dengan gampang mengatakan yang demikian itu adalah kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi dalam menafsirkan agama.


Namun, bila ada Khatib, Ustadz atau masyarakat Muslim mengajak jamaah dan umat Islam untuk konsisten dengan ajaran agamanya, maka orang dengan mudah menuduhnya sebabai Khatib, penceramah atau Ustadz aliran keras dan tidak bisa berdakwah dengan cara yang hikmah, bahkan perlu dicurigai sebagai calon teroris.

“Sesungguhnya barang siapa yang masih hidup sepeninggalku nanti,ia akan melihat perbedaan prinsip yang banyak sekali, untuk itu wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham dan jauhilah perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama itu bid’ah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no: 4607).

* * *

POLA HIDUP


Tidak sedikit manusia, termasuk yang mengaku Muslim yakin dan bangga dengan sistem hidup ”ala amerika atau eropa” kendati sistem yang mereka yakini dan banggakan itu sendiri menyebabkan hidup mereka kacau dan mereka selalu menghadapai berbagai kezaliman dan ketidak adilan dari para penguasa negeri mereka. Mereka masih saja mengklaim : inilah sistem sosial yang paling cocok dan sesuai dengan perkembangan zaman modern.


Namun, bila ada yang mengajak dan menyeru untuk kembali kepada hukum Islam, maka orang akan menuduh ajakan dan seruan itu akan membawa kepada keterbelakangan, kekerasan dan terorisme, padahal mereka tahu bahwa Islam itu diciptakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala untuk keselamatan dunia dan akhirat dan Allah Ta’ala mustahil keliru dan tidak mungkin akan menzalimi hamba-Nya.

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali ‘Imran : 85).

* * *

JENGGOT


Ketika seorang Yahudi atau pemuka agama lain memanjangkan jenggotnya, orang akan mengatakan dia sedang menjalankan ajaran agamanya dengan penuh ketaatan. Seorang artis atau public figure yang berjenggot dikatakan terlihat “modis” dan “tampil beda” dengan variasi penampilan.


Namun, saat seorang Muslim memelihara jenggotnya, dengan mudah orang menuduhnya fundamentalis, “aliran garis keras” atau teroris yang selalu harus dicurigai khususnya saat masuk ke tempat-tempat umum seperti hotel dan sebagainya. Dengan enteng mereka mengejeknya dan mengatakan “kambing berjalan..!!!”

Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbedalah dengan orang-orang musyrik; potonglah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim no. 625).

* * *

JUBAH


Jika seorang Biksu atau Pendeta memakai jubah dan pakaian “kebesaran”nya, orang memandang bahwa merekalah orang terbaik diantara mereka sehingga layak berpenampilan seperti itu sebagai wujud kepatuhan terhadap agamanya yang mulia. Superstar mereka Jacko yang bercelana “ngatung..” dikatakan terlihat sangat cool..


Sayangnya, jika seorang Ikhwan memakai ghamis, dan jubah karena ingin mencontoh suri tauladan Rosulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hal berpakaian, tanpa rasa bersalah mereka mengatakan “…sok alim” dan berujar “kita tidak sedang hidup di negeri Arab..” Adapun memakai Celana dengan tidak boleh isbal (melebihi mata kaki) dikatakan : “kebanjiran…”

“Pakaian yang disukai oleh Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam adalah pakaian gamis”. (Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkan haditsnya dalam tahqiq beliau terhadap kitab Mukhtashar Asy-Syama`il Al-Muhammadiyah karya Imam At-Tirmizi, pada hadits no. 46.)

Dan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha: “Bagian kain sarung yang terletak di bawah mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Ahmad, 6/59,257).

* * *

CADAR

Ketika seorang Biarawati memakai pakaian yang menutup kepala dan tubuhnya dengan rapi, orang akan mengatakan bahwa sang Biarawati telah menghadiahkan dirinya untuk Tuhan-nya.


Namun, bila Akhwat Muslimah menutup auratnya dengan jilbab, hijab atau cadar, maka orang lagi-lagi akan menuduh mereka terbelakang dan tidak sesuai dengan zaman, tampil “seperti NINJA” atau “GORDEN BERJALAN” padahal mereka yang menuduh itu katanya adalah para penganut paham demokrasi, yang katanya setiap orang bebas menjalankan keyakinan masing-masing.

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu..” (QS. Al-Ahzab: 59)

* * *

PEKERJAAN


Bila wanita Barat tinggal di rumah dan tidak bekerja di luar karena menjaga, merawat rumah dan mendidik anaknya, maka orang akan memujinya karena ia rela berkorban dan tidak bekerja di luar rumah demi kepentingan rumah tangga dan keluarganya.


Namun, bila wanita Muslimah tinggal di rumah menjaga harta suami, merawat dan mendidik anaknya, maka orang akan menuduhnya “terjajah” dan harus dimerdekakan dari dominasi kaum pria atau apa yang sering mereka katakan dengan kesetaraan gender dan “emansipasi”.

“Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)

* * *

PENAMPILAN

Setiap wanita Barat bebas ke kampus dan ke pasar dengan berbagai atribut hiasan dan pakaian yang “serba minim”, ketat dan menampakkan lekuk tubuhnya, dengan alasan itu mereka katakan adalah hak asasi mereka dan kemerdekaan mengekpresikan diri.

Namun, bila wanita Muslimah yang ke kampus atau ke tempat kerja dengan memakai pakaian Islaminya, maka orang akan menuduhnya “eksklusif” dan berfikiran sempit tidak sesuai dengan peraturan dan paradigma kampus atau tempat kerja mereka.

“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluan-nya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An-Nur: 31)

* * *

PENDIDIKAN


Bila anak-anak mereka sibuk dengan berbagai macam mainan yang mereka ciptakan, mereka akan mengatakan ini adalah pembinaan bakat, kecerdasan dan melatih kreativitas sang anak.


Namun, bila anak Muslim dibiasakan mengikuti pendidikan praktis agamanya atau masuk “Pondok Pesantren”, maka orang akan mengatakan bahwa pola pendidikan seperti itu “tidak punya harapan” dan memiliki masa depan yang suram..

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” Hadits hasan diriwayatkan oleh sejumlah shahabat. Dishohihkan oleh Al-Albâny dalam Takhrîj Musykilatul Faqr hal 80.

* * *

JIHAD


Ketika Yahudi atau Nasrani membunuh dan membantai seseorang, atau melakukan Agresi ke negeri Islam khususnya di Palestina, Afghanistan, dan sebagainya, tidak ada yang mengaitkannya dengan agama mereka. Bahkan mereka mengatakan itu adalah hak mereka dan demi menyelamatkan masyarakat Muslim yang ada di sana.


Akan tetapi, bila kaum Muslim berjihad melawan Agresi Yahudi atas Palestina, atau Amerika Kristen di Afghanistan, mereka pasti akan mengaitkannya dengan Islam dan menuduh kaum Muslim tersebut sebagai Milisi pemberontak dan teroris..

“Barangsiapa yang menyerang kamu maka seranglah ia, sebanding dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah: 194) * * *

SYAHID


Bila seseorang kafir mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan orang lain, maka semua orang akan memujinya dan berhak mendapatkan penghormatan sebagai “martir” dengan berjejal medali atas jasanya..


Namun, bila orang Palestina melakukan hal yang sama untuk menyelamatkan anak, saudara atau orang tuanya dari penculikan dan pembantaian tentara Yahudi Israel, atau menyelamatkan rumahnya dari kehancuran serangan roket-roket Israel, atau memperjuangkan masjid dan kitab sucinya dari penodaan pasukan Yahudi, orang serta merta akan menuduhnya TERORIS.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (yang juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfâl : 60)

Allaahul musta’an….

Kenapa dan Kenapa semua itu terjadi..? Karena kita adalah seorang Muslim..

“Katakanlah (wahai Muhammad ), wahai Ahlul Kitab marilah bersatu dengan kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian bahwa tidak kita sembah kecuali Allah saja, tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apa pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai rabb selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah pada mereka persaksikanlah bahwa kami adalah kaum muslimin.” (QS. Ali Imran : 64)




Disusun kembali oleh : dr.Abu Hana El-Firdan

Diambil dari Sumber asal ini dengan judul “Keajaiban Manusia Akhir Zaman” di edit dan diberi tambahan oleh dr.Abu Hana untuk
 http://kaahil.wordpress.com/
Bottom of Form

Biarkan Jenggot Anda Tumbuh

Telah mengabarkan kepada kami Ubaidillah bin Sa'id dia berkata ; telah menceritakan kepada kami Yahya yaitu Ibnu Sa'id dari Ubaidillah telah mengabarkan kepada Nafi' dari Ibnu Umar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Pendekkan kumis dan biarkan (panjangkan) jenggot." (HR. Nasa' 15)

”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan].

ADA APA DENGAN JILBABMU?


Top of Form
Di antara tujuan jilbab adalah melindungi diri dari godaan lelaki dan menghindar dari fitnah, namun jilbab gaul/modis justru malah menarik perhatian kaum lelaki. Bagaimana mungkin jilbab justru menarik perhatian kaum lelaki? Hal ini disebabkan antara lain:

- Jilbab gaul berwarna warni, dihiasi berbagai macam motif, dan modelnya dibuat sedemikian rupa sehingga menarik per
hatian. Syaikh al Albani menegaskan, “Tujuan disyari’atkannya memakai jilbab adalah untuk menutup perhiasan wanita, maka tidak masuk akal jika seorang wanita muslim memakai jilbab yang penuh motif & hiasan”. (Jilbab Mar’ah Muslimah: 120)

Oleh karenanya, Allah berfirman,”Dan janganlah menampakkan perhiasannya” (QS.An Nur: 31). Keumuman ayat ini menunjukkan bahwa hiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah mencakup pakaian itu sendiri jika dipenuhi oleh hiasan yang menarik perhatian kaum lelaki.

Jilbab Gaul atau “jilbab modis” yang banyak dipakai oleh wanita muslimah di jaman ini, yang dihiasi dengan renda-renda, bordiran, hiasan-hiasan dan warna-warna yang jelas sangat menarik perhatian dan justru menjadikan jilbab yang dikenakannya sebagai perhiasan baginya merupakan salah satu bentuk tabarruj dan sebaiknya diusahakan untuk dihindari dan berganti dengan busana yang lebih sesuai syariat.



===============================


Syarat Pakaian Wanita yang Harus Diperhatikan

Pakaian wanita yang benar dan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya memiliki syarat-syarat. Jadi belum tentu setiap pakaian yang dikatakan sebagai pakaian muslimah atau dijual di toko muslimah dapat kita sebut sebagai pakaian yang syar’i. Semua pakaian tadi harus kita kembalikan pada syarat-syarat pakaian muslimah.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat ini dan ini semua tidak menunjukkan bahwa pakaian yang memenuhi syarat seperti ini adalah pakaian golongan atau aliran tertentu. Tidak sama sekali. Semua syarat pakaian wanita ini adalah syarat yang berasal dari Al Qur’an dan hadits yang shohih, bukan pemahaman golongan atau aliran tertentu. Kami mohon jangan disalah pahami.
Ulama yang merinci syarat ini dan sangat bagus penjelasannya adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah –ulama pakar hadits abad ini-. Lalu ada ulama yang melengkapi syarat yang beliau sampaikan yaitu Syaikh Amru Abdul Mun’im hafizhohullah. Ingat sekali lagi, syarat yang para ulama sebutkan bukan mereka karang-karang sendiri. Namun semua yang mereka sampaikan berdasarkan Al Qur’an dan hadits yang shohih.

Syarat pertama: pakaian wanita harus menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ingat, selain kedua anggota tubuh ini wajib ditutupi termasuk juga telapak kaki.

Syarat kedua: bukan pakaian untuk berhias seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik! Yang terkahir ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan di antara kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab : 33). Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena hal itu dapat menggoda kaum lelaki.

Ingatlah, bahwa maksud perintah untuk mengenakan jilbab adalah perintah untuk menutupi perhiasan wanita. Dengan demikian, tidak masuk akal bila jilbab yang berfungsi untuk menutup perhiasan wanita malah menjadi pakaian untuk berhias sebagaimana yang sering kita temukan.

Syarat ketiga: pakaian tersebut tidak tipis dan tidak tembus pandang yang dapat menampakkan bentuk lekuk tubuh. Pakaian muslimah juga harus longgar dan tidak ketat sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.

Dalam sebuah hadits shohih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu : Suatu kaum yang memiliki cambuk, seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini.” (HR.Muslim)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga dapat menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, 125-126)

Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.


Syarat keempat: tidak diberi wewangian atau parfum.

Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Perempuan mana saja yang memakai wewangian, lalu melewati kaum pria agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah wanita pezina.” (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih). Lihatlah ancaman yang keras ini!


Syarat kelima: tidak boleh menyerupai pakaian pria atau pakaian non muslim.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَعَنَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ

“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.” (HR. Bukhari no. 6834)

Sungguh meremukkan hati kita, bagaimana kaum wanita masa kini berbondong-bondong merampas sekian banyak jenis pakaian pria. Hampir tidak ada jenis pakaian pria satu pun kecuali wanita bebas-bebas saja memakainya, sehingga terkadang seseorang tak mampu membedakan lagi, mana yang pria dan wanita dikarenakan mengenakan celana panjang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Betapa sedih hati ini melihat kaum hawa sekarang ini begitu antusias menggandrungi mode-mode busana barat baik melalui majalah, televisi, dan foto-foto tata rias para artis dan bintang film. Laa haula walaa quwwata illa billah.


Syarat keenam: bukan pakaian untuk mencari ketenaran atau popularitas (baca: pakaian syuhroh).

Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِى الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا

“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhroh di dunia, niscaya Allah akan mengenakan pakaian kehinaan padanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)

Pakaian syuhroh di sini bisa bentuknya adalah pakaian yang paling mewah atau pakaian yang paling kere atau kumuh sehingga terlihat sebagai orang yang zuhud. Kadang pula maksud pakaian syuhroh adalah pakaian yang berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai di negeri tersebut dan tidak digunakan di zaman itu. Semua pakaian syuhroh seperti ini terlarang.


Syarat ketujuh: pakaian tersebut terbebas dari salib.

Dari Diqroh Ummu Abdirrahman bin Udzainah, dia berkata,
كُنَّا نَطُوفُ بِالْبَيْتِ مَعَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ فَرَأَتْ عَلَى امْرَأَةٍ بُرْداً فِيهِ تَصْلِيبٌ فَقَالَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ اطْرَحِيهِ اطْرَحِيهِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى نَحْوَ هَذَا قَضَبَهُ

“Dulu kami pernah berthowaf di Ka’bah bersama Ummul Mukminin (Aisyah), lalu beliau melihat wanita yang mengenakan burdah yang terdapat salib. Ummul Mukminin lantas mengatakan, “Lepaskanlah salib tersebut. Lepaskanlah salib tersebut. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat semacam itu, beliau menghilangkannya.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Ibnu Muflih dalam Al Adabusy Syar’iyyah mengatakan, “Salib di pakaian dan lainnya adalah sesuatu yang terlarang. Ibnu Hamdan memaksudkan bahwa hukumnya haram.”


Syarat kedelapan: pakaian tersebut tidak terdapat gambar makhluk bernyawa (manusia dan hewan).

Gambar makhluk juga termasuk perhiasan. Jadi, hal ini sudah termasuk dalam larangan bertabaruj sebagaimana yang disebutkan dalam syarat kedua di atas. Ada pula dalil lain yang mendukung hal ini.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahku, lalu di sana ada kain yang tertutup gambar (makhluk bernyawa yang memiliki ruh, pen). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau langsung merubah warnanya dan menyobeknya. Setelah itu beliau bersabda,
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ الذِّيْنَ يُشَبِّهُوْنَ ِبخَلْقِ اللهِ

”Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah yang menyerupakan ciptaan Allah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan ini adalah lafazhnya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An Nasa’i dan Ahmad)


Syarat kesembilan: pakaian tersebut berasal dari bahan yang suci dan halal.

Syarat kesepuluh: pakaian tersebut bukan pakaian kesombongan.

Syarat kesebelas: pakaian tersebut bukan pakaian pemborosan .

Syarat keduabelas: bukan pakaian yang mencocoki pakaian ahlu bid’ah. Seperti mengharuskan memakai pakaian hitam ketika mendapat musibah sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah Rofidhoh pada wanita mereka ketika berada di bulan Muharram. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa pengharusan seperti ini adalah syi’ar batil yang tidak ada landasannya.

Inilah penjelasan ringkas mengenai syarat-syarat jilbab. Jika pembaca ingin melihat penjelasan selengkapnya, silakan lihat kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Kitab ini sudah diterjemahkan dengan judul ‘Jilbab Wanita Muslimah’. Juga bisa dilengkapi lagi dengan kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Amru Abdul Mun’im yang melengkapi pembahasan Syaikh Al Albani.

Terakhir, kami nasehatkan kepada kaum pria untuk memperingatkan istri, anggota keluarga atau saudaranya mengeanai masalah pakaian ini. Sungguh kita selaku kaum pria sering lalai dari hal ini. Semoga ayat ini dapat menjadi nasehatkan bagi kita semua.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua dalam mematuhi setiap perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.

Alhamdullillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.

Rujukan:
1. Faidul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, Mawqi’ Ya’sub, Asy Syamilah
2. Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Islamiyah-Amman, Asy Syamilah
3. Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh ‘Amru Abdul Mun’im Salim, Maktabah Al Iman
4. Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, Ibnul Jauziy, Darun Nasyr/Darul Wathon, Asy Syamilah
5. Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel
 http://rumaysho.com/


artikel lain yang terkait:

http://rumaysho.com/hukum-islam/pakaian/1615-pakaian-yang-mesti-engkau-pakai-saudariku.html

http://bahterailmu.wordpress.com/2012/03/18/dosa-dibalik-jilbab-gaul/

http://www.voa-islam.com/teenage/smart-teen/2010/10/22/11191/jilbab-gaul-berpakaian-tapi-telanjang/

http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/1613-wanita-yang-berpakaian-tapi-telanjang-sadarlah.html

http://www.kajianislam.net/2011/11/berjilbab-dengan-benar-beserta-syarat-syaratnya-materi-yang-disampaikan-pada-kajian-ibu-ibu-di-masjid-an-nur-jagalan-cairo-malang-selasa-sore-29-nopember-2011/

http://www.facebook.com/Belajar.Manhaj.Salafy

http://www.facebook.com/Islamic.Concept.Of.Faith
Bottom of Form