Senin, 15 April 2013

AWAS, ADA SYIRIK dalam Shalawat Nariyah



Mari kita beralih pada pembahasan shalawat nariyah. Ada beberapa hal yang patut dikoreksi dari shalawat ini:

>>>Pertama, pada shalawat ini terdapat beberapa lafadz yang maknanya telah melanggar pengertian syirik di atas. 

Lafadz tersebut adalah:
تـُــنْحَلُ بِهِ العُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Rincian:
(تنحل به العقد)
: Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
(وتنفرج به الكرب)
: Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
(وتقضى به الحوائج)
: Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
(و تنال به الرغائب)
: Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Empat kalimat di atas merupakan pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kita perhatikan, empat kemampuan di atas merupakan kemampuan yang hanya dimiliki oleh Allah dan tidak dimiliki oleh makhluk-Nya siapa pun orangnya. Karena yang bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanyalah Allah.

Seorang Nabi atau bahkan para malaikat tidak memiliki kemampuan dalam hal ini. Oleh karena itu, ketika pujian-pujian ini ditujukan kepada selain Allah (termasuk kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka berarti telah menyamakan makhluk tersebut dengan Allah dalam perkara yang menjadi hak khusus bagi Allah. Cukuplah kita ingat firman Allah yang memerintahkan Nabi-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan:
قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا
“Katakanlah (wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam): Aku tidak memiliki kemampuan untuk menghindarkan kalian dari bahaya dan tidak pula mampu memberi kebaikan pada kalian.” (QS. Al-Jin: 21)

Dalam ayat yang lain, Allah juga menegaskan:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), aku tidak mampu memberikan manfaat maupun menimpakan bahaya untuk diriku, selain apa yang dikehendaki Allah. Andaikan aku tahu hal yang gaib, tentu aku akan memperbanyak untuk mendapatkan kebaikan dan tidak mungkin ada bencana yang menimpaku. Aku hanyalah pemberi peringatan dan pemberi kabar gembira bagi kaum yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 188)

Itulah pengakuan beliau yang sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya, beliau sama sekali tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan. Beliau sama sekali tidak memiliki kemampuan sebagaimana yang dimiliki Allah, seperti mengabulkan doa atau menghilangkan bencana.

Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga pernah mengatakan kepada Fatimah, “Wahai Fatimah, lakukanlah apa yang kamu inginkan, (namun ingat) saya tidak mampu melindungimu dari (adzab) Allah sedikit pun.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak bisa menghalangi keburukan dan kondisi kekurangan yang menimpa beliau dan para sahabat. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah perjalanan beliau, bahwasanya beliau pernah terluka ketika Perang Uhud, kaki beliau berdarah-darah karena dilempari orang-orang kafir, beliau merasakan lapar hingga perut beliau diganjal dengan dua batu, beliau pernah jatuh dari kendaraan, beliau pernah tersihir dan masih banyak bencana dan kesulitan yang beliau alami ketika berdakwah.

Jika beliau sendiri tidak mampu menyelamatkan diri beliau sendiri dari segala bentuk kesulitan, bagaimana mungkin diri beliau bisa menyelamatkan orang lain dari kesulitan. Semua ini terjadi karena beliau adalah seorang hamba dan manusia biasa. Hanya saja perintah dan larangan beliau ditaati karena kedudukan beliau sebagai seorang utusan Allah Ta’ala.

>>>Kedua, dalam shalawat ini terdapat pujian yang berlebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Sementara pujian berlebihan kepada beliau merupakan salah satu sikap yang dilarang keras oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu ketika ada seorang sahabat memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan: “Engkau adalah manusia terbaik di antara kami, putra dari manusia terbaik kami,…” kemudian beliau bersabda, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Nabi Isa ‘alaihi wa sallam. Aku hanyalah seorang hamba, maka sebutlah Aku: Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Jika pujian semacam ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal di sana tidak mengandung ungkapan kesyirikan, maka bagaimana lagi dengan pujian yang mengandung kalimat-kalimat kesyirikan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, hati-hatilah kalian (jangan sampai) melakukan ghuluw (bersikap berlebihan) dalam beragama. Karena sesungguhnya sikap ini telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan Syaikh Al Albani).

>>>Ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan bentuk shalawat semacam ini.
Shalawat yang beliau ajarkan adalah shalawat yang sering dibaca ketika shalat pada saat duduk tasyahud.

Dalam sebuah hadis riwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, Dari sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Wahai Rasulullah, Allah telah mengajari kami bagaimana cara memberi salam kepadamu, tapi bagaimanakah cara memberikan shalawat kepadamu?” Kemudian Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ،
اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa shalawat ini adalah shalawat terbaik, dengan ditinjau dari beberapa sisi:
- Shalawat ini diajarkan langsung oleh Nabi kepada sahabat yang bertanya tentang shalawat. Padahal setiap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang masalah agama, maka beliau akan memberikan jawaban terbaik sesuai dengan apa yang Allah ajarkan.
- Dzahir hadis menunjukkan bahwa sebelumnya sahabat tidak tahu cara bershalawat, kemudian baru diajari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa shalawat tersebut adalah cara bershalawat kepada beliau yang ditetapkan oleh syariat Islam. Oleh karena itu, orang yang membaca shalawat yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhawatirkan sudah dianggap telah mengganti ajaran beliau dengan ajaran yang lain.
- Shalawat ini dibaca pada saat shalat. ini menunjukkan keistimewaan pada shalawat ini.

>>>Keempat, dari sisi penamaan.
Shalawat ini diberi nama dengan shalawat naariyah (النارية). Patut diketahui bahwa kata naariyah merupakan pecahan dari kata naar (النار) yang artinya api. Maka bagaimana mungkin sesuatu yang isinya doa diberi nama yang mengesankan sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa ditinjau dari sisi namanya menunjukkan bahwa orang yang membuat shalawat ini adalah orang yang tidak paham agama dan kurang memahami kosa kata bahasa Arab. Dan ini sekaligus bukti bahwa shalawat ini bukanlah bagian dari ajaran syariat.
Allahu waliyyut taufiiq

Mari kita berupaya semaksimal mungkin menghindari kesyirikan, sebagaimana semangat ini diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.
Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah)

http://www.facebook.com/StatusNasehatUntukSaudaraku

0 komentar:

Posting Komentar