Senin, 25 Februari 2013

Tokoh Tabi’in: Muhammad bin Waasi’ (Abid Bashrah dan Hiasan Para Ahli Fikih)


Muhammad bin Waasi’ (Abid Bashrah dan Hiasan Para Ahli Fikih)

Kita berada di tahun 87 H. Ketika pahlawan Islam dan panglima besar Qutaibah bin Muslim al-Bahili memimpin pasukannya yang tangguh dari kota Marwa menuju Bukhara, hendak menguasai sisa negeri yang ada di seberang sungai. Beliau juga hendak berperang di pinggiran Cina dan menarik jizyah dari mereka.

Belum lagi pasukan Qutaibah bin Muslim menyeberangi sungai Seihun, tiba-tiba penduduk Bukhara melihat pasukan muslimin. Mereka memukul genderang perang di seluruh penjuru dan meminta bantuan negeri tetangga seperti Suged, Turki, Cina, dan sebagainya. Maka berduyun-duyunlah kelompok-kelompok prajurit yang bermacam-macam warna kulit, bahasa dan agama hingga jumlah mereka berlipat ganda dibandingkan pasukan muslimin.
Setelah itu, mereka segera memblokir semua jalan pasukan muslimin dan mengepung seluruh celah yang bisa ditutup. Sampai-sampai Qutaibah bin Muslim tak bisa menyelundupkan pasukan khusus untuk menyelidiki dan mencari berita tentang keadaan musuh, tidak pula bisa menyusupkan mata-mata ke kubu lawan.
Maka Qutaibah bersama pasukannya terjepit di dekat kota Bikand, tak bisa bergerak maju maupun mundur. Sementara musuh selalu bergerilya dengan kelompok-kelompok kecil pasukannya, lalu mereka bertempur sepanjang siang. Bila senja turun, mereka menghilang ke markas dan benteng-bentengnya yang kokoh. Kondisi tersebut berlangsung selama dua bulan berturut-turut. Qutaibah menjadi bingung untuk mengambil sikap apakah akan berhenti atau terus maju.
Tak berselang lama, berita ini berakhir menyebar di seluruh wilayah kaum muslimin. Mereka mencemaskan nasib pasukan tangguh yang belum pernah dikalahkan beserta panglimanya yang belum pernah ditundukkan itu. Para gubernur di daerah-daerah diperintahkan untuk menyerukan agar rakyat turut mendoakan keselamatan pasukan yang sedang berjuang di negeri seberang sungai itu. Kini, setiap masjid penuh dengan doa untuk mereka. Dari menara-menara terdengar seruan permohonan kepada Allah dan para imam membaca doa qunut di setiap shalat. Akhirnya terbentuklah satu pasukan pembantu yaitu pasukan tangguh yang terdiri dari sukarelawan dari seluruh negeri. Gerakan itu dipelopori oleh syaikh tabi’in yang tersohor, Muhammad bin Waasi’ al-Azdi.
Dikisahkan bahwa Qutaibah bin Muslim memiliki seorang mata-mata non Arab yang dikenal cerdik siasat dan keahliannya bernama Taidzar. Musuh berhasil membujuk mata-mata ini dengan iming-iming harta yang besar agar dia mau mempengaruhi pemimpin muslimin itu. Siasat yang dijalankan adalah dengan memberikan gambaran bahwa keadaan pasukan muslimin sangat lemah dibandingkan dengan pasukan musuhnya yang berkekuatan besar. Dan mengusahakan agar pasukan Islam hengkang dari negeri itu tanpa peperangan.
Taidzar masuk menemani Qutaibah bin Muslim yang tengah berbincang dengan para perwira-perwira utama dan tokoh-tokoh militer lainnya. Dia mendekat di sisi Qutabibah, lalu berbisik: “Wahai Amir kosongkanlah ruangan ini bila Anda menghendaki.”
Sejurus kemudian, Qutaibah mengisyaratkan semua yang hadir untuk keluar kecuali Dzizar bin Hushain yang diminta untuk tetap di tempatnya. Setelah itu Taidzar berkata, “Saya membawa berita untuk Anda wahai Amir.” Qutaibah berkata, “Katakanlah.” Taidzar berkata, “Sesungguhnya Amirul mukminin di Damaskus telah memecat Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan beberapa perwira pengikutnya, sedangkan Anda adalah satu di antara anak buahnya. Beliau juga telah mengganti mereka dengan pemimpin-pemimpin yang baru dalam angkatan bersenjatanya. Mereka saat ini sudah banyak yang dikirim ke pos-pos baru masing-masing dan bisa jadi pengganti Anda akan datang setiap saat, siang ataupun malam. Menurut hemat saya, lebih baik pasukan Anda ditarik saja dari negeri ini dan Anda kembali ke Marwa untuk memikirkan kembali siasat yang jauh dari medan perang.”
Belum lagi Taidzar menghentikan ocehannya, Qutaibah memanggil pengawalnya bernama Siyah lalu beliau katakan, “Wahai Siyah, penggal leher pengkhianat ini!” Selanjutnya Siyah memenggal leher Taidzar, lalu kembali ke tempatnya semula. Qutaibah menoleh kepada Dzirar bin Hushain dan berkata, “Di bumi ini tidak ada orang lain yang mendengar tentang berita baru kecuali engkau dan aku. Aku bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, bila berita ini sampai ke telinga orang lain sebelum perang selesai akan aku susulkan engkau kepada pengkhianat murahan ini. Oleh sebab itu, jika engkau masih sayang kepada dirimu, jagalah dirimu, jagalah lidahmu. Ketahuilah bahwa bila berita ini tersebar kepada pasukan kita, maka akan menjatuhkan mental juang mereka.”
Orang-orang dipanggil kembali. Tatkala mereka melihat Taidzar tergeletak berlumuran darah, mereka terkesiap keheranan. Qutaibah berkata, “Apa yang mengejutkan kalian dari kematian seorang pengkhianat dan pendusta ini?” Mereka berkata, “Kami sangka dia pembela Islam.” Qutaibah berkata, “Bahkan dia adalah pengkhianat kaum muslimin, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas pengkhianatannya itu.” Lalu beliau berteriak lantang, “Sekarang berangkatlah kalian untuk menghancurkan musuh-musuh kalian. Hadapilah mereka dengan hati dan tekad yang baru.”
Dengan patuh pasukan itu melaksanakan perintah panglimanya, Qutaibah bin Muslim. Mereka bersiaga menghadapi musuh di tapal batas. Hanya saja, ketika dua kubu telah berhadapan, pasukan Islam melihat banyaknya musuh dan lengkapnya persenjataan mereka, maka ketakutan mulai menjalar. Qutaibah bisa merasakan apa yang berkecamuk dalam hati para prajuritnya. Maka beliau segera berkeliling dari satu kompi ke kompi yang lain untuk membangkitkan semangat mereka. Kemudian beliau memandang ke kanan dan kiri seraya bertanya, “Di mana Muhammad bin Waasi’ al-Uzdi?” Mereka menjawab, “Beliau di barisan sebelah kanan, wahai amir.” Qutaibah berkata, “Apa yang tengah dilakukannya?” Mereka berkata, “Bersandar pada tombaknya, menata ke depan sambil mengarahkan telunjuknya ke langit untuk berdoa. Apakah Anda menginginkan agar kami memanggil beliau?”
Qutaibah, “Tidak perlu, biarkanlah dia. Demi Allah, telunjuknya itu (doa beliau) lebih aku sukai dariapada seribu pedang pilihan yang dihunus oleh seribu pemuda jagoan. Maka biarkanlah dia berdoa, kita mengetahui bahwa doanya mustajab.”
Perang pun berkecamuk, dua pasukan besar saling menerjang laksana singa yang hendak menerkam mangsanya. Kedua pasukan bertemu laksana dua gelombang air bah yang saling bertabrakan. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ketenangan dalam jiwa pasukan Islam dan membantu dengan ruh kekuatan dari-Nya.
Prajurit Islam terus menyerbu musuh sepanjang hari, hingga manakala beranjak malam, Allah menggoyahkan telapak kaki musuh dan rasa gentar menyelimuti mereka hingga akhirnya menyerah. Para mujahidin dapat melumpuhkan mereka dengan mudah, sebagian berantakan dan lari kocar-kacir, sebagian lainnya berhasil ditawan. Begitulah, mereka menyerah kalah dan minta berdamai kepada Qutaibah dengan mengajukan tebusan.
Di antara tawanan tersebut ada orang yang jahat dan hobi memprovokasi kaumnya untuk memusuhi Islam. Dia berkata, “Aku ingin menebus diriku wahai Amir!” Qutaibah berkata, “Berapa harga tebusannya?” Tawanan itu menjawab, “Lima ribu helai kain sutera Cina seharga satu juga.”
Mendengar jawaban itu, Qutaibah menoleh kepada para sahabatnya, “Bagaimana menurut kalian?” Mereka berkata, “Menurut kami, harta tersebut akan menambah jumlah ghanimah bagi muslimin. Sementara itu kita juga sudah tak mengkhawatirkan sepak terjangnya dan yang semacamnya setelah kemenangan besar yang kita raih ini.”
Qutaibah menoleh kepada Muhammad bin Waasi al-Uzdi dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Wahai amir, tujuan kaum muslimin keluar berjihad ini bukanlah untuk mengumpulkan ghanimah atau menumpuk harta, melainkan keluar demi ridha Allah, menegakkan agama-Nya di atas bumi dan menghancurkan musuh-musuh-Nya.” Qutaibah berkata, “Jazakallahu khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda wahai Abu Abdillah, demi Allah aku tidak akan membiarkan orang-orang semacam ini menakut-nakuti wanita muslimah setelah ini. Walaupun dia hendak menebus dirinya dengan harta sebesar dunia ini.” Kemudian beliau perintahkan agar tawanan itu dibunuh.
Hubungan Muhammad bin Waasi’ dengan para pemimpin Bani Umayah bukan terbatas dengan Yazid bin Muhallab dan Qutaibah bin Muslim al-Bahili saja, melainkan meluas kepada para wali dan amir lainnya. Termasuk di antaranya adalah wali Basrah, Bilal bin Abi Burdah. Banyak peristiwa mengesankan bersama gubernur yang satu ini.
Pernah suatu hari Muhammad bin Waasi’ datang kepada amir ini dengan mengenakan jubah dari kain yang kasar. Beliau ditanya, “Mengapa Anda mengenakan pakaian sekasar ini, wahai Abu Abdillah?” Beliau pura-pura tidak mendengar dan tak berkomentar sepatah kata pun sehingga wali Basrah itu kembali bertanya:
Bilal: “Mengapa Anda tidak menjawab pertanyaan saya wahai Abu Abdillah?”
Muhammad: “Aku tidak suka mengatakan bahwa inilah zuhud, karena berarti aku membanggakan diri. Dan benci mengatakannya sebagai kefakiran, karena itu menunjukkan bahwa aku tidak mensyukuri karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal sesungguhnya aku telah ridha.”
Bilal: “Apakah Anda membutuhkan sesuatu wahai Abu Abdillah?”
Muhammad: “Wahai amir, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menanyai hamba-Nya tentang qadha dan qadar pada hari kiamat nanti. Namun Dia akan bertanya tentang amal mereka.”
Maka terdiamlah wali Bashrah ini karena malu.
Muhammad bin Waasi’ masih berada di sisi gubernur ketika waktu makan siang tiba. Wali Basrah itu mengajak beliau untuk makan bersama, tetapi beliau menolaknya dengan berbagai dalih. Hingga Bilal menjadi tersinggung dan berkata, “Apakah Anda tidak suka makan makanan kami, wahai Abu Abdillah.” Beliau berkata, “Janganlah berkata begitu wahai amir. Demi Allah bahwa yang baik-baik dari kalian para amir adalah lebih kami cintai daripada anak-anak dan keluarga kami sendiri.”
Berkali-kali Muhammad bin Waasi’ diminta untuk menjadi qadhi, namun beliau selalu menolak dengan tegas dan terkadang membuat dirinya menghadapi resiko karenanya.
Beliau pernah dipanggil oleh kepala polisi Basrah, yaitu Muhammad bin Mundzir. Dia berkata, “Gubernur Irak memerintahkan aku untuk menyerahkan jabatan qadhi kepada Anda.” Beliau menjawab, “Jauhkan aku dari jabatan itu, semoga Allah memberimu kesejahteraan.” Permintaan tersebut diulang dua atau tiga kali namun beliau tetap menolaknya.
Karena ditolak, kepala polisi itu marah dan berkata sambil mengancam, “Anda terima jabatan itu atau aku akan mencambuk Anda sebanyak 300 kali tanpa ampun!” Beliau berkata, “Jika engkau melakukan itu maka berarti Anda bertindak semena-mena. Ketahuilah bahwa disiksa di dunia lebih baik daripada harus disiksa di akhirat.” Kepala polisi itu menjadi malu, lalu mengijinkan Muhammad bin Waasi’ untuk pulang dengan penuh hormat.
Majelis Muhammad bin Waasi’ di Masjid Basrah menjadi tujuan utama para penuntut ilmu, pencari hikmah dan kehidupan hati. Sejarah banyak mencatat tentang berita-berita di majelis itu. Sebagai contoh, ketika ada seseorang berkata kepada beliau: “Wahai Abu Abdillah, berilah wasiat kepadaku.” Beliau berkata, “Aku wasiatkan kepadamu agar menjadi raja di dunia dan di akhirat.” Penanya terkejut dan berkata, “Bagaimana bisa aku mewujudkannya?” Beliau berkata, “Jangan sekali-kali tamak terhadap isi dunia, niscaya engkau menjadi raja di dunia, sedangkan di akhirat menjadi raja dengan kemenangan atas pahala-pahala yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Contoh lain, ketika ada yang berkata, “Wahai Abu Abdillah, aku mencintaimu.” Beliau berkata, “Semoga Allah mencintaimu karena kecintaanmu.” Beliau berkata, “Semoga Allah mencintaimu karena kecintaamu itu.” Lalu beliau pergi sambil bergumam, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu bila aku dicintai karena Engkau, padahal Engkau murka kepadaku.”
Setiap kali beliau mendengar pujian dan sanjungan orang terhadap beliau karena ketakwaan dan ibadahnya, beliau berkata, “Andai saja perbuatan dosa itu mengeluarkan bau busuk, niscaya tak seorang pun di antara kalian yang sudi mendekatiku.”
Muhammad bin Waasi’ senantiasa mengingatkan murid-muridnya agar selalu berpegang teguh kepada Kitabullah dan hidup di bawah naungan Alquran. Beliau berkata, “Alquran adalah taman bagi setiap mukmin, setiap kali dia menunaikan satu bagian darinya berarti dia telah singgah di tamannya.”
Beliau menasihatkan pula agar orang-orang mengurangi porsi makannya, karena barangsiapa yang mengurangi makan niscaya akan tajam pikiran dan pemahamannya, menjadi lembut dan bersih hatinya. Adapun terlalu kenyang dalam makan akan memberatkan seorang untuk mewujudkan keinginannya.
Derajat takwa yang dimiliki Muhammad bin Waasi’ mencapai puncak yang tinggi. Sebuah kisah menyebutkan bahwa beliau pernah terlihat di pasar untuk menjual keledainya. Orang yang hendak membelinya bertanya, “Apakah Anda telah rela menjualnya kepadaku, wahai syaikh?” Beliau menjawab, “Kalau saja aku rela untuk diriku pastilah aku tidak akan menjualnya.”
Sepanjang hidup, beliau senantiasa merasa takut akan dosa-dosanya, takut akan diperiksa Rabb-nya. Karena itulah, setiap kali beliau ditanya, “Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Semakin dekat dengan ajalku namun menjauh dari cita-citaku. Alangkah buruknya yang aku perbuat.” Ketika beliau melihat penanya keheranan, beliau berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang setiap hari berjalan menuju akhirat?”
Di saat Muhammad bin Waasi’ menderita sakit yang tampaknya akan menyebabkan kematiannya, orang-orang datang berbondong menjengkuk beliau hingga rumahnya penuh sesak dengan orang yang keluar masuk, yang duduk dan berdiri. Ketika melihatnya, Muhammad bin Waasi’ mengeluh kepada orang yang berjaga di sisinya, “Apalah faidah hadirnya mereka bagiku, bila kelak aku dituntut dari ubun-ubun hingga telapak kaki. Apa gunanya pula mereka bagiku bila kelak aku dimasukkan ke dalam api neraka.”
Setelah itu beliau berdoa, “Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu atas segala kondisi dan kejahatan yang aku kerjakan, di tempat yang mana aku berbuat dosa di sana, di pintu kejahatan yang aku masuki dan dari kejahatan yang aku keluar daripadanya dan setiap amal buruk yang aku kerjakan, dari perkataan-perkataan buruk yang aku ucapkan dan aku bicarakan. Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu atas semua itu. Ampunilah aku, aku bertaubat kepada-Mu, maka berilah ampunan untukku sehingga aku dapat menjumpai-Mu dengan selamat sebelum dihisab.”
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009

Tokoh Tabi’in: Umar bin Abdul Aziz


Umar bin Abdul Aziz Peristiwa-peristiwa Menakjubkan Dalam Hidupnya

Lembaran hidup khalifah yang ahli ibadah, zuhud, dan khalifah rasyidin yang kelima ini lebih harum dari aroma misk dan lebih asri dari taman bunga yang indah. Kisah hidup yang mengagumkan laksana taman yang harum semerbak, di manapun Anda singgah di dalamnya yang ada hanyalah suasana yang sejuk di hati, bunga-bunga yang elok dipandang mata dan buah-buahan yang lezat rasanya.

Meski kami tak sanggup memaparkan seluruh perjalanan hidup beliau yang tercatat dalam sejarah, namun tidak menghalangi kami untuk memetik setangkai bunga di dalam tamannya, atau mengambil sebagian cahayanya sebagai lentera. Karena “ma laa yudraku kullahu laa yutraku ba’dhuhu”, apa yang tidak bisa diambil seluruhnya janganlah ditinggalkan sebagian yang dapat diambil.
Kisah mengesankan yang pertama diriwayatkan oleh Salamah bin Dinar, seorang alim di Madinah, qadhi, dan syaikh penduduk Madinah. Beliau menuturkan kisahnya:
“Suatu ketika, aku menemui khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz tatkala beliau berada di Khunashirah, tempat pemerahan susu. Sudah lama saya tidak berjumpa dengan beliau. Saya mendapatkan beliau berada di depan pintu. Pertama kali memandang, saya sudah tidak mengenali beliau lagi lantaran banyaknya perubahan fisik pada diri beliau dibandingkan dengan tatkala bertemu dengan saya di Madinah. Saat di mana beliau menjadi gubernur di sana. Beliau menyambut kedatanganku dan berkata:
Umar: “Mendekatlah kepadaku wahai Abu Hazim!”
Aku: (Akupun mendekat), Bukankah Anda amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz?”
Umar: “Benar!”
Aku: “Apa yang menyebabkan Anda berubah?! Bukankah wajah Anda dahulu tampan? Kulit Anda halus? Hidup serba kecukupan?”
Umar: “Begitulah, aku memang telah berubah.”
Aku: “Lantas apa yang menyebabkan Anda berubah, padahal Anda telah menguasai emas dan perak dan Anda telah diangkat menjadi amirul mukminin?”
Umar: “Memangnya apa yang berubah pada diriku wahai Abu Hazim?”
Aku: “Tubuh begitu kurus dan kering, kulit Anda yang menjadi kasar dan wajahmu yang menjadi pucat, bening kedua matamu yang telah redup..”
Tiba-tiba saja beliau menangis dan berkata,
Umar: “Bagaimana halnya jika engkau melihatku setelah tiga hari aku di dalam kubur, mungkin kedua mataku telah melorot di pipiku.. perutku telah terburai isinya… ulat-ulat tanah menggerogoti sekujur badanku dengan lahapnya. Sungguh jika engkau melihatku ketika itu wahai Abu Hazim, tentulah lebih tak mengenaliku lagi dari hari ini. Ingatkah Anda tentang suatu hadis yang pernah Anda bacakan kepadaku sewaktu di Madinah wahai Abu Hazim?”
Aku: “Saya telah menyampaikan banyak hadis wahai amirul mukminin, lantas hadis manakah yang Anda maksud?”
Umar: “Yakni hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.”
Aku: “Benar, aku masih mengingatnya wahai amirul mukminin.”
Umar: “Ulangilah hadis itu untukku, karena saya ingin mendengarnya dari Anda!”
Aku: “Saya telah mendengar Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya di hadapan kalian terhampar rintangan yang terjal, sangat berbahaya, tidak ada yang mampu melewatinya dengan selamat melainkan orang yang kuat.”
Lalu menangislah Umar dengan tangisan yang mengharukan, saya khawatir jika tangisan tersebut memecahkan hatinya. Kemudian beliau air matanya dan menoleh kepadaku seraya berkata, “Apakah Anda sudi menegurku wahai Abu Hazim bila aku berleha-leha dalam mendaki rintangan yang terjal tersebut sehingga aku berhasil menempuhnya? Karena aku khawatir jika aku tidak berhasil.
Kisah kedua dalam kehidupan Umar, ath-Thabari telah mengisahkan kepada kita dari Thufail bin Mirdaas, beliau bercerita:
“Tatkala amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah beliau menulis surat untuk Sulaiman bin Abi as-Sari, gubernur beliau di Shugdi yang isinya, ‘Buatlah pondok-pondok di negerimu untuk menjamu kaum muslimin. Jika salah seorang di antara mereka lewat, maka jamulah ia sehari semalam, perbaguslah keadaannya dan rawatlah kendaraannya. Jika dia mengeluhkan kesusahan, maka perintahkan pegawaimu untuk menjamunya selama dua hari dan bantulah ia keluar dari kesusahannya. Jika ia tersesat jalan, tidak ada penolok baginya dan tidak ada kendaraan yang bisa dia tunggani, maka berikanlah kepadanya sesuatu yang menjadi kebutuhannya hingga ia bisa pulang ke tempat asalnya.”
Gubernur Sulaiman segera melaksanakan titah amirul mukminin. Dia membangun pondok-pondok sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin untuk disediakan bagi kaum muslimin. Lalu berita tersebut tersebar di segala penjuru. Orang-orang dari belahan bumi Islam di Barat dan di Timur ramai membicarakannya dan menyebut-nyebut keadilan dan ketakwaan khalifah.
Hingga sampai pula berita itu kepada penduduk Samarkand. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Mereka mendatangi gubernur Sulaiman bin as-Sari dan berkata, “Sesungguhnya pendahulu Anda yang bernama Qutaibah bin Muslim al-Bahili telah merampas negeri kami tanpa mendakwahi kami terlebih dahulu. Dia tidak sebagaimana yang kalian lakukan –wahai kaum muslimin- yakni menawarkan pilihan sebelum memerangi. Yang kami tahu, kalian menyeru musuh-musuh agar mau masuk Islam terlebih dahulu. Jika mereka menolak, kalian menyuruh mereka untuk membayar jizyah, jika mereka menolaknya barulah kalian memberikan ultimatum perang.
Sekarang, kami melihat keadilan khalifah Anda dan ketakwaannya. Sehingga kami berhasrat untuk mengadukan perlakuan pasukan kalian kepada kami. Dan kami meminta tolong kepada kalian atas apa yang telah dilakukan salah seorang panglima perang kalian terhadap kami. Maka izinkanlah wahai amir agar salah satu dari kami melaporkan hal itu kepada khalifah Anda dan untuk mengadukan kezhaliman yang telah kami rasakan. Jika kami memang memiliki hak untuk itu, maka berikanlah untuk kami, namun jika tidak, kami akan pulang kembali ke asal kami.”
Gubernur Sulaiman mengizinkan salah seorang dari mereka menjadi duta untuk menemui khalifah di negeri Damaskus. Ketika utusan tersebut sampai di rumah khalifah dan mengadukan persoalan mereka kepada khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz, maka khalifah menulis surat untuk gubernurnya Sulaiman bin as-Sari yang antara lain berisi:
Amma ba’du.. jika surat saya ini telah sampai kepada Anda, maka tunjuklah seorang qadhi (hakim) untuk penduduk Samarkand yang akan mempelajari aduan mereka. Jika qadhi itu telah memutuskan bahwa kebenaran di pihak mereka, maka perintahkan kepada seluruh pasukan kaum muslimin untuk meninggalkan kota mereka. Ajaklah kaum muslimin yang telah tinggal bersama mereka untuk segera kembali ke negeri mereka. Lalu pulihkan situasi seperti semula sebagaimana tatkala kita belum memasukinya. Yakni sebelum Qutaibah bin Muslim al-Bahili masih ke negeri mereka.”
Sampailah utusan itu kepada Sulaiman lalu dia serahkan surat dari amirul mukminin kepada beliau. Gubernur segera menunjuk seorang qadhi yang terkemuka bernama “Jumai’ bin Hadhir An-Naaji.” Beliau segera mempelajari aduan mereka, beliau meminta agar mereka menceritakan hal ihwal mereka. Juga mendengar kesaksian dari beberapa saksi dari pasukan muslim dan pemuka penduduk Samarkand, maka sang qadhi membenarkan tuduhan penduduk Samarkand dan pengadilan memenangkan pihak mereka.
Sejurus kemudian, gubernur memerintahkan kepada seluruh pasukan kaum muslimin untuk meninggalkan kota Samarkand dan kembali ke markas-markas mereka. Namun tetap bersiap siaga berjihad pada kesempatan yang lain. Mungkin akan kembali memasuki negeri mereka dengan damai, atau akan mengalahkan mereka dengan peperangan, atau bisa jadi pula bukan takdirnya untuk menaklukkan mereka.
Tatkala para pembesar Samarkand mendengar keputusan sang qadhi yang memenangkan urusan mereka, masing-masing saling berbisik satu sama lain: “Celaka, kalian telah hidup berdampingan dengan kaum muslimin dan tinggal bersama mereka sebagaimana yang kalian lihat, mintalah agar mereka tetap tinggal bersama kita, bergaullah kepada mereka dengan baik, dan berbahagialah kalian tinggal bersama mereka…”
Tinggallah peristiwa ketiga yang dialami oleh Umar bin Abdul Aziz. Kisah ini dituturkan oleh Ibnu Abdil Hakam kepada kita di dalam kitabnya yang berharga “Siirah Umar bin Abdul Aziz” (perjalanan hidup Umar bin Abdul Aziz). Beliau berkata:
“Menjelang wafatnya Umar, masuklah Maslamah bin Abdul Malik dan berkata, ‘Wahai amirul mukminin sesungguhnya Anda melarang anak-anak Anda mendapatkan harta yang ada ini. Maka alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda untuk anak-anak Anda.” Ketika dia telah selesai berbicara, Umar berkata, “Tolong dudukkanlah saya!” Maka mereka pun mendudukkan beliau, lalu beliau berkata: “Sungguh aku mendengar apa yang Anda katakan wahai Maslamah, adapun perkataanmu bahwa saya menghalangi anak-anak untuk mendapat bagian harta, maka sebenarnya demi Allah aku tidak menghalangi sesuatu yang memang menjadi hak mereka. Namun saya tidak berani memberikan harta yang memang bukan hak mereka. Adapun yang kau katakan, “Alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda untuk (menanggung) anak-anak Anda,” maka sesungguhnya wasiatku untuk anak-anakku hanyalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab dengan benar, Dia-lah yang melindungi orang-orang shalih. Ketahuilah wahai Maslamah! Bahwa anak-anakku hanyalah satu di antara dua kemungkinan, apakah dia seorang yang shalih dan bertkwa sehingga Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya dan Dia menjadikan jalan keluar bagi kesulitan mereka. Ataukah dia anak durhaka yang berkubang dengan maksiat, sedangkan sekali-kali saya tidak mau menjadi orang yang membantu mereka dengan harta untuk bermaksiat kepada Allah.” Setelah itu beliau berkata, “Panggillah anak-anakku kemari!”
Maka dipanggillah anak-anak amirul mukminin yang berjumlah belasan anak. Begitu melihat mereka, meneteslah air mata beliau seraya berkata, “Aku tinggalkan mereka dalam keadaan miskin tak memiliki apa-apa.” Beliau menangis tanpa bersuara kemudian menoleh ke arah mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku, aku telah meninggalkan kepada kalian kebaikan yang banyak. Sesungguhnya ketika kalian melewati seorang muslim atau ahli dzimmah mereka melihat bahwa kalian memiliki hak atas mereka. Wahai anak-anakku, sesungguhnya di hadapan kalian terpampang dua pilihan. Apakah kalian hidup berkecukupan namun ayahmu masuk neraka, ataukah kalian dalam keadaan fakir namun ayahmu masuk surga. Saya percaya bahwa kalian lebih memilih jika ayah kalian selamat dari neraka daripada kalian hidup kaya raya.”
Beliau memperhatikan mereka dengan pandangan kasih sayang seraya berkata, “Berdirilah kalian, semoga Allah menjaga kalian, berdirilah kalian, semoga Allah melimpahkan rezeki kepada kalian..” lalu Maslamah menoleh kepada beliau dan berkata,
Maslamah: “Saya memiliki sesuatu yang lebih baik dari itu wahai amirul mukminin!”
Umar: “Apakah itu wahai Maslamah?”
Maslamah: “Saya memiliki 300.000 dinar… saya ingin menghadiahkan kepada Anda lalu bagilah utnuk mereka, atau sedekahkanlah jika Anda menghendaki.”
Umar: “Apakah engkau ingin yang lebih baik lagi dari usulmu itu wahai Maslamah?”
Maslamah: “Apakah itu wahai Amirul mukminin?”
Umar: “Engkau kembalikan dari siapa barang tersebut diambil, karena kamu tidak memiliki hak atas barang tersebut.”
Maka meneteslah air mata Maslamah seraya berkata,
Maslamah: “Semoga Allah merahmati Anda wahai Amirul Mukminin tatkala hidup ataupun sesudah meninggal… sungguh Anda melunakkan hati yang keras di antara kami, mengingatkan yang lupa di antara kami, Anda akan senantiasa menjadi peringatan bagi kami.”
Sejak peristiwa itu, orang-orang mengikuti berita tentang anak-anak Umar sepeninggal beliau. Maka mereka melihat tak seorang pun di antara mereka yang hidup miskin dan meminta-minta. Sungguh benar firman Allah Ta’ala:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa: 9)
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009

Tokoh Tabi’in: Muhammad al-Hanafiyyah bin Ali bin Abi Thalib


Muhammad al-Hanafiyyah bin Ali bin Abi Thalib

Suatu ketika terjadi perselisihan dan menyebabkan saling menjauhi antara Muhammad al-Hanafiyyah dengan kakaknya, Hasan bin Ali. Kemudian Muhammad bin al-Hanafiyyah menulis surat kepada Hasan sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah memberikan keutaman kepada Anda melebihi diriku. Ibumu adalah Fathimah bin Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan ibuku adalah seorang wanita dari Bani Hanifah. Kakekmu dari jalur ibu adalah Rasulullah pilihan-Nya, sedang kakekku dari jalur ibu adalah Ja’far bin Qais. Jika suratku ini sampai kepada Anda, saya berharap Anda berkenan datang kemari dan berdamai, agar Anda tetap lebih utama dariku dalam segala hal…” sesampainya surat tersebut, Hasan bergegas mendatangi rumahnya untuk menjalin perdamaian.
Siapakah gerangan pemuda yang santun, cerdas, dan bijak yang bernama Muhammad al-Hanafiyyah ini?” Marilah kita ikuti perjalanan hidupnya dari awal.
Kita awali kisah ini dari detik-detik akhir kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu hari, Ali bin Abi Thalib duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya saya punya anak lagi setelah Anda tiada, bolehkah saya memberi nama anakku dengan nama Anda dan saya berikan kunyah (julukan) dengan kunyah Anda (yakni Abu al-Qasim)?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Boleh.”
Waktu bergulir, hingga akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan beberapa bulan kemudian disusul putrinya, Fatimah yang merupakan ibunda Hasan dan Husein. Setelah itu Ali bin Abi Thalib menikah lagi dengan seorang wanita dari Bani Hanifah bernama Khaulah binti Ja’far bin Qais al-Hanafiyyah.
Perkawinan ini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Muhammad dan diberi julukan Abu al-Qasim dengan restu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya. Namun demikian orang-orang biasa memanggilnya dengan nama Muhammad al-Hanafiyyah untuk membedakannya dari kedua saudaranya, Hasan dan Husein. Ibu keduanya adalah Fathimah az-Zahra. Sedangkan ibu beliau wanita dari al-Hanafiyah. Kemudian nama itulah yang banyak dikenal oleh sejarah.
Muhammad al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khalifah Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu. Beliau tumbuh dan dibesarkan di bawah bimbingan ayahandanya, Ali bin Abi Thalib. Dari ayahnya itu dia mewarisi ketekunan ibadahnya, sifat zuhud, keberanian dan kekuatannya di samping kefasihan lidahnya.
Siang hari, beliau menjadi pahlawan di medan perang dan menjadi tokoh dalam jajaran para ulama. Di malam hari beliau adalah rahib di saat mata manusia tidur terlelap.
Ayah beliau radhiyallahu ‘anhu telah menggemblengnya di tengah kancah peperangan yang diikutinya. Dipikulkan kepadanya beban-beban berat yang tidak pernah dipikulkan kepada kedua saduaranya, Hasan dan Husein. Dengan demikian dia tak pernah malas atau lemah semangatnya.
Beliau pernah ditanya, “Mengapa Anda selalu diterjunkan di medan-medan yang berbahaya dan memikul beban melebihi kedua kakakmu, Hasan dan Husein?” Dengan tawadhu beliau, “Sebab, kedua kakakku ibarat kedua mata ayahmu, sedangkan kedudukanku adalah ibarat kedua tangannya. Maka ayah menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”
Ketika terjadi perang Shiffin yang meletus antara kelompok Ali Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Muhammad al-Hanafiyyah memegang panji-panji ayahnya.
Tatkala perang berkobar, korban berjatuhan dari kedua pihak. Terjadilah suatu peristiwa yang kemudian diriwayatkn sendiri olehnya. Beliau menuturkan kejadiannya:
“Ketika berada di Shiffin kami bertempur melawan sahabat sendiri, Muawiyah. Kami saling bunuh, hingga kami menduga tidak akan ada lagi yang tersisa dari kami ataupun mereka. Aku menjadi sedih dan gelisah karenanya.
Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari belakangku: “Wahai saudara-saudara muslimin… ingat Allah… Allah… Wahai saudara-saudara muslimin.. Allah… Allah, sisakan orang-orang kalian, wahai saudara-saudara muslimin..!
Seketika itu aku tersadar dan berjanji tidak akan mengangkat dan menghunus senjata lagi melawan seorang muslim pun sejak hari itu..”
Pada gilirannya, Ali syahid di tangan orang-orang yang zhalim dan durhaka dan khilafah pun jatuh ke tangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.. Bahkan Mu’awiyah meminta Muhammad al-Hanafiyyah agar sering-sering mengunjunginya. Beberapa kali Muhammad berkunjung ke Damaskus untuk menjumpai Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.
Sebagai contoh, ketika suatu hari Kaisar Romawi menulis surat kepada Mu’awiyah yang antara lain berisi:
“Raja-raja dari kalangan kami memiliki kebiasaan melakukan surat-menyurat dan saling mengirimkan hal-hal menakjubkan yang dimiliki masing-masing. Lalu kami saling berlomba dengan hal-hal yang menakjubkan yang kami miliki. Berkenankah Anda mengizinkan kami melakukan hal yang sama seperti kebiasaan yang berlaku di antara kami?”
Mu’awiyah menyetujui tawaran tersebut dan memberikan izin. Setelah itu kaisar Romawi mengirimkan dua orang lelaki yang berpenampilan menakjubkan. Yang satu luar biasa tingginya dan besar perawakannya seakan ia adalah pohon besar menjulang di tengah hutan, atau suatu bangunan yang besar. Yang satunya lagi kuatnya luar biasa dan ototnya kuat bagaikan binatang buas. Kedatangan keduanya disertai sepucuk surat berbunyi: “Adakah orang yang menyamai kebesaran dan kekuatan kedua orang ini di negeri Anda?”
Mu’awiyah bermusyawarah dengan Amru bin Ash,
Mu’awiyah: “Untuk orang yang tinggi besar itu aku sudah menemukan tandingannya, bahkan melampauinya yaitu Qais bin Sa’ad bin Ubadah. Tetapi untuk menandingi orang yang kuat itu aku meminta pertimbanganmu.
Amru bin Ash: “Ada dua orang yang cocok, hanya saja keduanya jauh dari Anda, mereka adalah Muhammmad al-Hanafiyyah dan Abdullah bin Zubair.”
Mu’awiyah: “Bukankah Muhammad al-Hanafiyyah tidak jauh dari kita?”
Amru: “Tapi apakah menurut Anda dengan kedudukannya yang mulia itu, beliau bersedia diadu dengan si romawi di depan khalayak ramai?”
Mu’awiyah: “Beliau pasti bersedia, bahkan lebih dari itu selagi beliau melihat ada kebaikan di dalamnya dan Islam semakin nampak berwibawa.”
Kemudian Mu’awiyah memanggil Qais bin Sa’id bin Sa’ad dan Muhammad al-Hanafiyyah.
Gelanggang dibuka, untuk mengetahui siapa yang lebih tinggi, Qias bin Sa’ad membuka celana luarnya dan dilemparkannya kepada orang-orang Romawi sambil menyuruh untuk memakainya. Ketika dipakai ternyata menutup sampai ke dadanya sehingga orang-orang pun tertawa geli melihatnya.
Giliran Muhammad al-Hanafiyyah, dia berkata kepada penerjemah: “Katakan kepada orang Romawi ini, dia boleh memilih, dia duduk dan aku berdiri, lalu dia harus bisa membuat aku duduk atau aku yang membuat dia berdiri. Boleh juga kalau dia memilih berdiri dan aku duduk..” Orang Romawi itu lebih memilih duduk.
Kemudian Muhammad al-Hanafiyyah memegang tangan si Romawi sampai rasanya nyaris putus dari pundaknya dan akhirnya dia terduduk di atas tanah.
Akhirnya, kedua orang dari negeri seberang itu pun pulang ke negerinya dengan membawa kekalahan dan kehinaan.
Hari demi hari berganti, hingga Mu’awiyah dan putranya, Yazid serta Marwan bin Hakam wafat. Khilafah jatuh ke tangan Abdul Malik bin Marwan dari tangan Bani Umayah. Khalifah baru ini dibai’atkan oleh muslimin penduduk Syam. Namun penduduk Hijaz dan Irak lebih memilih berbai’at kepada Abdullah bin Zubair.
Keduanya menyerukan kepada rakyat agar berbai’at kepadanya. Masing-masing mengaku dirinyalah yang lebih patut menjadi khalifah daripada lawannya. Sehingga kaum muslimin pecah lagi menjadi dua kelompok.
Ketika itu, Abdullah bin Zubair meminta kepada Muhammad al-Hanafiyyah agar melakukan bai’at beserta segenap penduduk Hijaz. Namun Muhammad mengetahui bahwa bai’at akan menjadikan dia terikat kepada yang dibai’at. Dia harus selalu membantunya, termasuk menghunus pedang terhadap siapa saja yang menentangnya. Padahal yang menentangnya adalah sesama muslimin yang memilih  untuk berbai’at kepada pihak lain.
Masih terngiang dalam ingatan Muhammad al-Hanafiyyah ketika peristiwa Shiffin. Bertahun telah dilalui, namun dia tak mampu menepis suara yang lantang dan mengharukan itu. Terngiang-ngiang seruannya: “Wahai kaum muslimin.. wahai saudara-saudara muslimin… ingatlah Allah.. Allah.. wahai saudara-saudara muslimin..! Untuk siapa lagi wanita dan anak-anak kita? Siapa yang akan membela agama dan kehormatan kita dari Romawi dan orang-orang Dailam?” Beliau benar-benar tak mampu melupakan hal itu. Beliau berkata kepada Abdullah bin Zubair: “Engkau tahu benar bahwa aku tidak ingin melakukan hal itu. Kedudukanku hanyalah sebagai seorang muslim. Bila seluruh muslimin telah bersepakat atas salah satu dari kalian, maka aku tidak keberatan untuk berbai’at kepada engkau maupun dia. Untuk sementara saya belum ingin berbai’at baik kepadamu maupun kepadanya.”
Namun Abdullah bin Zubair terus berusaha membujuknya. Terkadang dengan halus dan sebentar dengan kasar. Dalam waktu yang tak terlalu lama banyak orang yang bergabung dengan Muhammad al-Hanafiyyah karena sependapat dengannya. Mereka menyerahkan kepemimpinan kepada Muhammad, jumlah mereka mencapai tujuh ribu orang. Mereka lebih mengutamakan menjauhi fitnah dan ingin menjauhkan diri dari api neraka. Semakin bertambah pengikut Ibnu al-Hanafiyyah, makin marahlah Abdullah bin Zubair dan makin keras memaksa untuk berbai’at kepadanya.
Setelah merasa gagal menundukkan Bani Hasyim dan pengikutnya, Ibnu Zubair melarang mereka keluar dari Mekah dan dia memerintahkan pengawasnya untuk menjaga mereka.
Ibnu Zubair berkata kepada mereka: “Demi Allah, kalian harus berbai’at atau kami akan membakar kalian “Dia mengurung muslimin di rumah-rumah mereka dan menata kayu-kayu bakar di sekelilingnya sampai sama tinggi dengan dinding-dinding rumah. Seandainya disulut sebatang kayu saja akan terbakarlah semuanya.
Dalam kondisi demikian, beberapa orang dari pengikut Ibnu al-Hanafiyyah berkata,”Izinkanlah kami untuk membunuh Ibnu Zubair dan membebaskan orang-orang dari tekanannya.”
Tetapi Muhammad bin Ali Al-Hanfiyyah melarang mereka sembari berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah padahal kita menjauhkan diri darinya, lalu membunuh salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan putra-putranya?! Tidak. Demi Allah kita akan melakukan sesuatu yang dimurkai Allah dan rasul-Nya jika demikian.”
Berita tentang tekanan Abdullah bin Zubair terhadap Muhammad al-Hanafiyyah dan sahabat-sahabatnya sampai ke telinga Abdul Malik bin Marwan. Kondisi tersebut dianggapnya sebagai peluang yang bagus untuk menarik simpati mereka agar mau bergabung di pihaknya.
Dia mengirim surat melalui utusan yang seandainya dia mengirim surat kepada salah satu putranya pun tentu tidak lebih lembut dan halus daripada itu. Di antara isi surat tersebut adalah sebagai berikut:
“Telah sampai berita kepada kami bahwa Ibnu Zubair telah menekan Anda beserta pengikut-pengikut Anda dan tidak lagi menghargai hak-hak Anda. Oleh karena itu, negeri Syam terbuka bagi Anda semua. Kami menyambut kedatangan Anda dengan dada dan tangan terbuka. Anda boleh tinggal di bagian mana saja yang Anda kehendaki sebagai sesama keluarga dan tetangga yang terhormat. Dan Anda semua akan mendapati kami sebagai orang-orang yang tahu menjaga hak, tidak melupakan kebijaksanaan, dan menghubungkan silaturahmi dengan baik, insyaAllah..”
Muhammad al-Hanafiyyah beserta pengikutnya berangkat menuju Syam. Mereka kemudian menetap di kota Ailah. Para penduduk di kota itu menyambut mereka dengan hangat dan menjadi tetangga yang baik. Mereka menyayangi dan menghormati Muhammad al-Hanafiyyah setelah melihat ketekunannya dalam ibadah dan kezuhudannya terhadap duniawi. Dia senantiasa menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar. Menegakkan syi’ar Islam, mendamaikan segala pertentangan di antara mereka dan tidak membiarkan seorang pun menzhalimi orang lain.
Berita tentang keadaannya sampai ke telinga khalifah Abdul Malik. Dia pun bingung dalam menentukan sikap. Dia mengumpulkan para pejabatnya untuk bermusyawarah, lalu mereka berkata, “Tidak layak Anda mengizinkan dia berada dalam kekuasan Anda sedangkan dia sebagaimana Anda ketahui. Sebaiknya Anda tawarkan kepadanya untuk berbai’at kepada Anda atau kembali ke tempat asalnya.”
Keputusan diambil, Abdul Malik menulis surat kepada Muhammad al-Hanafiyyah sebagai berikut: “Anda menetap di daerah kami, sedangkan pertikaian masih berlangsung antara saya dan Abdullah bin Zubair. Anda adalah seorang yang terpandang di kalangan kaum muslimin. Oleh sebab itu, saya memandang perlunya Anda berbia’at kepada saya, apabila Anda ingin tinggal dalam wilayah kekuasaan saya. Bila Anda berbai’at, kebetulan ada seratus kapal yang baru tiba dari Kulzam, semuanya saya serahkan kepada Anda. Lalu ada tambahan lagi sebesar seratus juta dirham dan semua kebutuhan Anda beserta sanak keluarga akan selalu kami cukupi. Tetapi apabila Anda menolak, sebaiknya Anda segera keluar dari wilayah kekuasaan.”
Setelah menerima dan membaca surat tersebut, Muhammad al-Hanafiyyah menjawab:
“Dari Muhammad al-Hanafiyyah kepada Abdul Malik bin Marwan.”
Keselamatan semoga tercurah atas Anda setelah bertahmid kepada Allah yang tiada Ilah yang haq selain Dia. Saya mengira Anda takut dan khawatir terhadap saya, sedangkan Anda sudah tahu sikap dan pendirian saya dalam persoalan ini. Demi Allah, seandainya seluruh umat ini berkumpul kecuali satu kelompok dari satu desa saja, saya tetap menerimanya dan tidak memeranginya. Saya telah datang ke Mekah kemudian Abdullah bin Zubair meminta agar saya membai’at kepadanya. Ketika saya menolak, dia menganiaya saya. Kemudian Anda menulis surat kepada saya dan menawarkan untuk tinggal di daerah Syam. Saya memilih tinggal di suatu kota di tepian wilayah Anda karena biaya hidup lebih murah, lagi pula jauh dari wilayah kekuasaan Anda. Sekarang Anda menulis surat kepada saya disertai ancaman, maka kami memilih pergi dari Anda, InsyaAllah.”
Akhirnya, Muhammad al-Hanafiyyah bersama seluruh keluarga dan pengikutnya keluar dari Syam. Namun setiap kali hendak menetap di suatu tempat, mereka selalu diganggu dan diusir.
Belum cukup penderitaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih mengujinya dengan kesulitan lain yang lebih keras dan berat. Di antara pengikutnya, muncul orang-orang yang berhati cacat dan hilang akal sehatnya sehingga mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan pada diri Ali dan keturunannya rahasia-rahasia ilmu, tatanan agama dan pusaka-pusaka syariat. Itu semua dikhususkan bagi keluarga Muhammad al-Hanafiyyah yang tak diketahui oleh orang lain.
Laki-laki yang berilmu dan cerdas ini paham tentang apa yang ada di balik kata-kata sesat tersebut, yang mungkin akan menyeret Islam dan kaum muslimin ke dalam bahaya besar. Beliau mengumpulkan orang-orang kemudian berbicara untuk menjernihkan masalah. Setelah mengucapkan tahmid kepada Allah dan shalawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Ada beberapa orang yang menganggap kami sekeluarga memiliki ilmu yang diberikan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus bagi kami, yang tidak diketahui oleh orang lain. Maka Kami tegaskan, demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewariskan kecuali yang ada di antara dua lauh (papan/cover)…” sambil menunjuk kepada Mushaf. “Barangsiapa menganggap kami membaca selain Kitabullah, maka dia berdusta.”
Ketika sebagian dari pengikutnya memberi salam, “Assalamu’alaika, wahai Mahdi (pemberi petunjuk)”, maka beliau menjawab, “Benar, aku adalah pemberi petunjuk kepada kebaikan dan kalian insya Allah mendapatkan hidayah dan menjadi manusia-manusia yang mendapat hidayah. Tetapi jika kalian memberi salam kepadaku, cukuplah menyebutkan namaku dan katakan, “Assalamu’alaika, wahai Muhammad.’
Tidak lama ketika rasa bingung menggelayuti pikiran Muhammad al-Hanafiyyah dan beberapa pengikutnya di tempat mereka tinggal, atas kehandak Allah Subhanahu wa Ta’ala, Hajjaj bin Yusuf berhasil membunuh Abdullah bin Zubair, kemudian semua orang berbai’at kepada Abdul Malik bin Marwan.
Maka tak ada lagi pilihan lain bagi Muhammad al-Hanafiyyah kecuali menulis surat kepada Abdul Malik:
“Kepada hamba Allah Abdul Malik bin Marwan, Amirul Mukminin, dari Muhammad bin Ali. Setelah mengikuti perkembangan, saya melihat bahwa kekuasaan sudah kembali ke tangan Anda. Orang-orang sudah berbai’at kepada Anda melalui wali Anda di Hijaz. Saya kirimkan pernyataan tertulis ini kepada Anda. Wassalam.’
Sesampainya surat itu, Abdul Malik membacakan di hadapan sahabat-sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya beliau ingin mengganggu dan menimbulkan keonaran di antara muslimin, dia mampu melakukannya dan engkau tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh sebab itu, tulislah jawaban untuknya agar dia berjanji dan bersumpah untuk menjaga ketenteraman atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya agar tidak timbul kekacauan karena kekuatan dan banyaknya pengikut beliau.”
Maka, Abdul Malik bin Marwan pun menulis surat jawaban untuk Ibnu al-Hanafiyyah dan memerintahkan kepada walinya, Hajjaj bin Yusuf, agar senantiasa menghormati, menjaga kedudukannya, dan berbuat baik kepada Muhammad.
Namun sayang, usia Muhammad al-Hanafiyyah tidak begitu panjang. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilihnya untuk kembali ke sisi-Nya dengan ridha dan penuh keridhaan.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Muhammad al-Hanafiyyah yang tidak menginginkan perpecahan umat terjadi di muka bumi dan tidak pula gila jabatan dan kehormatan.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009

Al-Khatib Al-Baghdadi


Nama dan Nasabnya

Beliau adalah Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Muhdi yang masyhur dengan Al-Khatib Al-Baghdadi, si pemilik berbagai karya dan imam para hafizh.

Kelahiran Al-Khatib Al-Baghdadi

Beliau dilahirkan pada hari kamis, 25 Jumadil akhir 392H.

Pertumbuhannya

Ayah beliau bernama Abul Hasan Khatib adalah penduduk Darzijan (sebuah desa di negri Irak) beliau adalah seorang yang ahli baca Al-Quran dengan bacaan Hafsh Al-Kattani.
Ayahnya mendorongnya untuk belajar hadits dan fikih. Oleh karenanya ia sudah belajar ketika umurnya menginjak sebelas tahun. Ia pergi menuntut ilmu di Bashrah pada saat umurnya menginjak dua puluh tahun, pergi ke Naisabur pada saat umurnya menginjak dua puluh tiga tahun dan saat pergi ke Syam pada saat umurnya sudah tua. Ia juga pergi ke kota Makkah dan kota selainnya yang telah disebutkan diatas.
Ia telah menulis banyak kitab, dalam hal ini ia telah melebihi teman-temannya. Ia menyusun dan mengarang, menetapkan yang shahih dan yang tidak shahih, menetapkan perowi yang adil dan yang tidak adil, dan menulis sejarah dan penjelasannya, sehingga ia menjadi Al-hafizh yang paling tinggi pada masanya.

Sanjungan Ulama Pada Masanya

Ibnu Makula mengatakan : “Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi adalah tokoh terakhir yang kami saksikan yang mempunyai pengetahuan, hafalan dan ketelitian terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. ia sangat menguasai masalah ilat-ilat hadits (kesalah-kesalahan yang samar), sanad-sanadnya, shahih dan gharibnya (aneh) dan segala yang berkaitan dengannya. Diantara orang-orang Baghdad, setelah Abul Hasan Ad-Daruqutni, tidak ada seorangpun yang menyamainya. Aku tanya kepada Abu Abdillah Ash-Shuwari tentang Al-Khatib dan Abu nash As-Sajzi, manakah yang hafal hadits dari keduanya?, dengan tegas ia melebihkan Al-Khatib dari pada Abu Nashr”.
Al-Mu’taman as-Sajihi mengatakan: “Setelah Ad-Daruquthni, Baghdad tidak lagi memerlukan ulama yang hafal hadits melebih Abu Bakar Al-Khatib”.
Abu Ali Al-Bardani mengatakan: “Barangkali Al-Khatib sendiri tidak melihat seorangpun yang menyamainya”.

Perjalanannya dalam menuntut ilmu

Telah disebutkan perkataan Adz-Dzahabi bahwa Al-Khatib mulai belajar pada saat umurnya menginjak sebelas tahun. Ia pergi menuntut ilmu di Bashrah saat umurnya menginjak dua puluh tahun, pergi ke Naisabur saat umurnya menginjak dua puluh tiga tahun dan pergi ke Syam saat umurnya sudah tua. Ia juga pergi ke kota-kota selain yang telah disebutkan.
Adz-Dzahabi juga mengatakan: “Di Akbara, Al-khatib berguru kepada Al-Husain bin Muhammad Ash-Shaigh yang meriwayatkan hadits kepadanya dari Nafilah Ali bin Harb. Sementara di kota Bashrah ia berguru kepada Abu Umar Al-Hasyimi (guru dalam bidang Hadits), Ali al-Qasyim Asy-Syahid, Al-Hasan bin Ali As-Saburi dan sejumlah ulama lainnya”
Di Naisabur, ia berguru kepada Al-Qadhi Abu Bakar Al-Hiyari, Abu Said Ash-Shairafi, Abul Qasim Abdurrahman as-Siraj, Ali bin Muhammad Ath-Thirazi, Al-Hafizh Abu Hazim Al-Abdawi dan sejumlah ulama yang lainnya. di Asfahan ia berguru kepada Abul Hasan bin Abdi Kawih Abu Abdillah Al-Jamal, Muhammad bin Abdillah bin Syahriyar dan Al-Hafizh Abu Nu’aim, dan di beberapa tempat lainnya.

Akidah Beliau

Adz-Dzahabi mengatakan: “Abdul Aziz bin Ahmad Al-Kattani berkata: “Pada tahun 412 H ia meriwayatkan hadits kepada gurunya yang bernama Abu Al-Qasim Ubaidullah Al-Azhari, gurunya yang lain yaitu Al-Baraqani juga menulis dan meriwayatkan hadits darinya. Dalam ilmu fikih, ia berguru kepada Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari dan Abu Nashr bin Ash-Shabbagh. Dalam bidang akidah ia mengikuti akidah Abul Hasan Al-Asy’ari”.
Adz-Dzahabi mengatakan: “Apa yang dikatakan oleh Ahmad Al-Kattani adalah benar, karena mengenai sifat-sifat Allah ta’ala al-Khatib sendiri telah menegaskan bahwa sifat-sifat tersebut telah kita pahami sebagaimana apa adanya tanpa menanyakan “bagaimana?” Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah madzhab Al-Asy’ari yang ia yakini sampai meninggalnya, sebagimana juga madzhab Imam Ahmad dan semua ulama hadits dan sunnah dalam berbagai masa”.

Ibadah dan Kemuliaannya

Ghaits bin Ali mengatakan: “Abu Al-Faraj al-Isfarayani mengatakan kepadaku: “Al-Khatib pernah haji bersama kami, setiap hari dia menghatamkan Al-Qur an dengan bacaan tartil, setelah menghatamkannya orang-orang berkumpul padanya, sementara ia berada dalam kendaraan dan mereka berkata: “Riwayatkanlah hadits kepada kami”, lalu ia meriwayatkan hadits kepada mereka”.
Ibnu Nashir mengatakan: “Abu Zakariya At-Tabrizi al-Lughawi berkata: “Aku memasuki Damaskus lalu aku membaca kitab-kitab sastra arab di bawah bimbingan al-Khatib di dalam masjid, lalu naiklah Al-Khatib kepadaku , ia berkata: “Aku ingin mengunjungimu di rumahmu”.
Kami berbincang-bincang sesaat, kemudian ia mengeluarkan secarik kertas dan berkata: “Hadiah adalah sunnah”. Al-Khatib pergi dan aku mengamati pemberiannya itu ternyata itu adalah uang senilai lima dinar mesir. Pada waktu yang lain, ia kembali naik ke atas dan meletakan uang yang sama. Apabila ia membaca hadits di masjid jami’ Damaskus, maka suaranya terdengar sampai di akhir masjid. Dia membacanya dengan dialek arab yang benar.

Wafatnya Beliau

Makki Ar-Ramli mengatakan: “Al-Khatib sakit pada pertengahan bulan Ramadhan 463 H. Kondisi kesehatanya semakin parah pada awal bulan Dzulhijjah hingga beliau meninggal pada tanggal 7 Dzulhijjah”.
Sumber: Min A’lami Salaf, Syaikh Ahmad Farid, dari Al-Sofwah.or.id
Publish ulang oleh www.KisahMuslim.com

Tabi’in Thawus bin Kaisan Penasihat yang Lurus


Sesaat setelah khalifah muslimin Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan menurunkan barang-barangnya di dekat Baitul Atiq, lalu melepas kerinduannya kepada Ka’bah, beliau menoleh kepada pengawalnya dan berkata, “Carilah seorang alim yang dapat memberikan peringatan kepada kita di hari mulia di antara hari-hari Allah ini.”

Pengawal itu berangkat menemui orang-orang yang tengah berhaji dan bertanya sesuai dengan yang dikehendaki oleh khalifah. Orang-orang berkata, “Di sini ada Thawus bin Kaisan, tokoh ulama ahli fiqh yang paling jujur perkataannya dalam dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu temuilah dia.”
Pengawal itu menghampiri Thawus dan berkata, “Ikutlah dengan  kami, Amirul Mukminin mengundang Anda wahai syaikh!”
Tanpa membuang-buang waktu, Thawus mengikutinya. Menurut beliau bahwa setiap da’i tidak boleh menyia-nyiakan waktu bila ada kesempatan. Setiap kali diundang, mereka bersegera datang. Ia juga meyakini bahwa kalimat yang utama untuk disampaikan adalah kalimat yang benar untuk meluruskan para penguasa yang menyimpang dan menjauhkan mereka dari kezaliman dan kekejaman, sekaligus mendekatkan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sesampainya di depan Amirul Mukminin, beliau memberi salam dan disambut dengan sangat ramah. Selanjutnya khalifah membimbing beliau menuju majelisnya, lalu bertanya tentang persoalan manasik haji. Beliau mendengarkan dengan tekun dan penuh hormat.
Ketika beliau merasa bahwa Amirul Mukminin sudah mendapatkan keterangan yang diperlukan dan tak ada lagi yang dipertanyakan, Thawus berkata dalam hati, “Ini adalah majelis yang kelak engkau akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, wahai Thawus.”
Thawus, menoleh kepada khalifah dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ada suatu batu besar di tepi sumur jahannam. Batu itu dilemparkan ke dasar jahannam dan baru mencapai dasarnya setelah 70 tahun. Tahukah Anda untuk siapakah sumur itu disediakan, wahai Amirul Mukminin?”
Khalifah berkata, “Tidak, duhai celaka, untuk siapa itu?” Thawus bin Kaisan menjawab, “Untuk orang-orang yang Allah sebagai penegak hukum-Nya namun dia menyelewengkannya.”
Tiba-tiba saja tubuh Khalifah Sulaiman gemetaran sampai aku menduga ruhnya akan terbang dari jasadnya. Setelah itu beliau menangis tersedu-sedu. Kemudian Thawus meninggalkan majlis dan pulang sedangkan khalifah mendoakan agar Thawus mendapat balasan yang lebih dari Allah.
Tatkala khalifah berpindah ke tangan Umar bin Abdul Aziz, Thawus menerima surat dari Amirul Mukminin yang isinya, “Berilah aku nasihat, wahai Abu Abdirrahman!” Thawus bin Kaisan menjawab surat tersebut dengan sebaris kalimat singkat, “Bila Anda menghendaki seluruh amal Anda baik, maka angkatlah para pengawal dari orang-orang yang baik pula, wassalam.”
Demi membaca surat jawaban tersebut khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Cukuplah ini sebagai peringatan… cukuplah ini sebagai peringatan…”
Begitu pula ketika khilafah beralih ke tangan Hisyam bin Abdul Malik, banyak kejadian masyhur dan mengesankan antara dia dengan Thawus bin Kaisan.
Sebagai contoh adalah peristiwa ketika Hisyam datang untuk menunaikan haji. Begitu memasuki Tanah Haram, dia berkata kepada pemuka Mekah: “Carikan aku seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Mereka berkata, “Wahai Amirul Mukminin, para sahabat telah wafat satu demi satu hingga tak satupun tersisa.” Hisyam berkata, “Jika demikian, carikan di antara ulama tabi’in!” Maka dipanggillah Thawus bin Kaisan.
Thawus bin Kaisan datang menghadap, beliau membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut “Amirul Mukminin” dan hanya menyebutkan namanya saja tanpa atribut kehormatan. Kemudian beliau langsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilakannya.
Rupanya Hisyam tersinggung dengan perlakuan tersebut, sehingga tampak kemarahan dari pandangan matanya. Dia menganggap hal itu kurang sopan dan tidak hormat, terlebih di hadapan para pejabat dan pengawalnya.
Hanya saja dia sadar bahwa saat itu berada di Tanah Haram, rumah Allah Subhanahu wa Ta’alasehingga dia menahan dirinya lalu berkata,
Hisyam: “Mengapa Anda berbuat seperti itu wahai Thawus?”
Thawus: “Memang apa yang saya lakukan?”
Hisyam: “Anda melepas sepatu di tepi permadani saya, Anda tidak memberi salam kehormatan, Anda hanya memanggil namaku tanpa gelar lalu duduk sebelum dipersilakan.”
Thawus: “Adapun tentang melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Allah Yang Maha Esa, maka hendaknya Anda tidak marah atau gusar. Adapun masalah saya tidak memberi salam tanpa menyebutkan gelar amirul mukminin, itu karena tidak seluruh muslimin membai’at Anda. Oleh karena itu, saya takut dikatakan sebagai pembohong apabila memanggil Anda dengan amirul mukminin. Anda tidak rela saya menyebut nama Anda tanpa gelar kebesaran, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil nabi-nabi-Nya dengan nama-nama mereka, “Wahai Daud, Wahai Yahya, Wahai Musa, Wahai Isa.” Sebaliknya menyebut musuhnya dengan menyertakan gelar (“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”).
Adapun mengapa saya duduk sebelum dipersilakan, ini karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Bila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri.” Saya tidak suka Anda menjadi ahli neraka.” Amirul Mukminin Hisyam mendengar penjelasan itu dengan serius.
Hisyam: “Wahai Abu Badurrahman, berilah saya nasihat!”
Thawus: “Saya pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, “Di dalam jahannam terdapat ular-ular sebesar pilar dan kalajengking sebesar kuda. Mereka mengigit dan menyengat setiap penguasa yang tidak adil terhadap rakyatnya.”
Setelah itu beliau bangkit dari tempat duduknya lalu pergi.
Ada kalanya Thawus bin Kaisan mendatangi para penguasa untuk memberikan petunjuk dan nasihat. Adakalanya dia mengecam dan membuat mereka menangis.
Putranya bercerita, “Suatu tahun kami berangkat dari Yaman untuk melaksanakan haji, kemudian singgah di suatu kota yang di sana ada seorang pejabat bernama Ibnu Najih. Dia adalah pejabat yang paling bejat, paling anti pati terhadap kebenaran dan paling banyak bergumul dalam lembah kebathilan.
Setibanya di sana, kami singgah di masjid kota itu untuk menunaikan shalat fardhu. Ternyata Ibnu Najih sudah mendengar tentang kedatangan ayahku sehingga dia datang ke masjid. Dia duduk di samping ayahku dan memberi salam. Namun ayahku tidak menjawab salamnya, bahkan memutar punggung membelakanginya. Kemudian dia menghampiri dari sisi kanan dan mengajak bicara, tetapi ayahku mengacuhkannya. Demikian pula ketika dia mencoba dari arah kiri.
Aku mendatangi Ibnu Najih, memberi salam lalu berkata, “Mungkin ayah tidak mengenal Anda.’ Dia berkata, “Ayahmu mengenalku, karena itulah dia bersikap demikian terhadapku.” Lalu dia pergi tanpa berkata apa-apa lagi…
Sesampainya di rumah, ayah berkata, “Sungguh dungu kalian! Bila jauh kamu selalu mengecamnya dengan keras, tapi bila sudah berada di hadapannya, kalian tertunduk kepadanya. Bukankah itu yang dikatakan kemunafikan?”
Nasihat Thawus bin Kaisan tidak hanya khusus ditujukan untuk khalifah atau pejabat dan gubernur saja, melainkan juga kepada siapasaja yang dirasa perlu atau bagi mereka yang menginginkan nasihat-nasihatnya.
Sebagai contoh adalah kisah yang diriwayatkan oleh Atha bin Abi Rabah sebagai berikut:
Pernah suatu ketika Thawus bin Kaisan melihatku dalam keadaan yang tak disukainya, lalu berkata, “Wahai Atha’, mengapa engkau mengutarakan kebutuhanmu kepada orang yang menutup pintunya di depanmu dan menempatkan penajga-penjaga di rumahnya?” Mintalah kepada yang sudi membuka pintu-Nya dan mengundangmu untuk datang, serta yang berjanji akan menetapi janjinya.”
Thawus bin Kaisan pernah menasihati putranya, “Wahai putraku, bergaullah dengan orang-orang yang berakal karena engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka. Jangan berteman dengan orang-orang bodoh, sebab bila engkau berteman dengan mereka, niscaya engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka, walaupun engkau tidak seperti mereka. Ketahuilah, bagi segala sesuatu pasti ada puncaknya. Dan puncak derajat seseorang terletak pada kesempurnaan agama dan akhlaknya.”
Begitulah, putranya Abdullah tumbuh dalam bimbingannya, hidup serta berakhlak seperti ayahnya itu. Maka wajar bila khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur memanggil putra Thawus, Abdullah serta Malik bin Anas untuk berkunjung. Setelah keduanya datang dan duduk di hadapannya, khalifah menatap Abdullah bin Thawus seraya berkata, “Ceritakanlah sesuatu yang engkau peroleh dari ayahmu!” Beliau menjawab, “Ayah saya bercerita bahwa siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling keras di hari kiamat dijatuhkan kepada orang yang diberi-Nya kekuasaan lalu berlaku curang.”
Malik bin Anas berkata, “Demi mendengar ucapan tersebut, aku segera melipat pakaianku karena takut terkena percikan darahnya. Tapi ternyata Abu Ja’far hanya diam terpaku lalu kami berdua diizinkan pulang dengan selamat.”
Usia Thawus bin Kaisan mencapai seratus tahun atau lebih sedikit. Namun usia tua tidak mengubah sedikit pun ketajaman ingatan, kejeniusan pikira,n dan kecepatan daya tangkapnya.
Abdullah Asyami bercerita, “Saya mendatangi rumah Thawus bin Kaisan untuk belajar sesuatu kepadanya, sedangkan aku belum mengenalnya. Ketika aku mengetuk pintu, keluarlah seseorang yang sudah tua usianya. Aku memberi salam lalu bertanya, “Andakah Thawus bin Kaisan?” Orang tua itu menjawab, “Bukan, aku adalah putranya.”
Aku berkata, “Bila Anda putranya, maka tentulah syaikh itu sudah tua renta dan mungkin sudah pikun. Padahal saya datang dari tempat yang jauh untuk menimba ilmu dari beliau.” Putra Thawus berkata, “Jangan bodoh, orang yang mengajarkan Kitabullah tidaklah pikun. Silakan masuk!”
Akupun masuk, memberi salam lalu berkata, “Saya datang kepada Anda karena ingin menimba ilmu dan mendengarkan nasihat Anda. Jelaskan secara singkat.” Thawus berkata, “Akan aku ringkas sedapat mungkin, InsyaAllah. Apakah engkau ingin aku menceritkan tentang inti isi Taurat, Zabur, Injil, dan Alquran?”
Aku berakta, “Benar.” Beliau berkata, “Takutlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rasa takut yang tiada bandingnya. Mohonlah kepada-Nya suatu permohonan yang lebih besar daripada rasa takutmu kepada-Nya. Dan senangkanlah orang lain sebagaimana engkau menyenangkan dirimu sendiri.”
Malam 10 Dzulhijah 106 H, wafatlah seorang syaikh lanjut usia, yaitu Thawus bin Kaisan ketika tengah menunaikan haji, dari Arafah menuju Muzdalifah, pada perjalanannya yang keempat puluh kalinya.
Ketika itu, beliau menaruh perbekalannya, kemudian melakukan shalat maghrib dan Isya. Setelah itu beliau merebahkan tubuhnya di atas tanah untuk beristirahat. Pada saat itulah ajal menjemput beliau.
Beliau wafat ketika jauh dari keluarga, jauh dari negeri sendiri, demi bertaqarub kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala. Wafat dalam keadaan bertalbiah dan berihram untuk mencari pahal AllahSubhanahu wa Ta’ala, untuk keluar dari dosa-dosa sehingga kembali seperti saat dilahirkan dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika matahari terbit dan jenazah hendak diurus penguburannya, ternyata jenazah sulit untuk dikeluarkan karena sesaknya orang yang hendak mengantarkan jenazahnya. Bahkan amir Mekah terpaksa mengirim pengawalnya untuk menghalau orang-orang yang mengerumuni jenazahnya agar bisa diurus sebagaimana mestinya. Orang yang turut menshalatkan banyak sekali, hanya Allah yang mampu menghitungnya, termasuk di dalamnya Amirul Mukminin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009