Saat hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir, Umar bin Khattab berkata : “Seandainya Abu Ubaidah Ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara orang-orang yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Dan jika Allah bertanya hal itu kepadaku, maka aku akan jawab: “Saya angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya…”
Ialah Abu Ubaidah, Amir bin Abdillah Ibnul Jarrah, sahabat Rasulullah yang masuk Islam melalui Abu Bakar pada awal kerasulan, yaitu sebelum Rasulullah mengambil rumah Arqam sebagai tempat berdakwah.
Semenjak Abu Ubaidah berbai’at kepada Rasulullah , untuk membaktikan seluruh hidupnya di jalan Allah, ia tidak lagi memperhatikan dirinya dan masa depannya. Seluruh hidupnya ia habiskan untuk mengemban amanat yang dititipkan Allah kepadanya, untuk mencapai ridha-Nya. Amanat yang diembannya selalu dipenuhi dengan tanggung jawab. Dan itu merupakan sifat yang paling menonjol dari Abu Ubaidah. Inilah yang membuat Rasulullah kagum padanya, sehingga Rasulullah bersabda : “Amiinu hadzihi al Ummah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah (orang kepercayaan umat ini, adalah Abu Ubaidah bin Jarrah)”.
Rasulullah , sangat sayang pada Abu Ubaidah. Rasulullah pun sangat terkesan atas pribadinya. Ketika datang utusan dari Najran dan Yaman yang menyatakan ke-islaman mereka, mereka meminta kepada Rasulullah agar mengirimkan kepada mereka seorang guru untuk mengajarkan Islam dan Al Quran. Dan Rasululullah bersabda : “Baiklah akan saya kirim bersama tuan-tuan seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya…., benar-benar terpercaya…., benar-benar terpercaya…!”
Pujian yang begitu tulus keluar dari mulut Rasulullah. Mendengar hal itu para sahabat semua terkesima dan berharap kalau pilihan Rasulullah jatuh pada dirinya, karena pujian tersebut merupakan pengakuan yang jujur dari seorang Rasul yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Peristiwa tersebut diceritakan oleh Umar bin Khattab : “Sebenarnya aku tak pernah tertarik menjadi seorang amir, tetapi ketika Rasulullah mengucapkan hal itu, aku sangat tertarik dan berharap bahwa orang yang dimasudkan Rasulullah itu adalah aku. Dan aku pun cepat-cepat berangkat untuk shalat dzuhur. Seperti biasa, Rasulullah yang mengimami para jamaah. Ketika kami selesai shalat, Rasulullah menoleh ke kanan dan ke kiri. Maka aku pun mengulurkan badan agar kelihatan Rasulullah…. Tetapi, Rasulullah masih melayangkan pandangannya mencari-cari, hingga akhirnya tampaklah Abu Ubaidah, maka dipanggilnya. Lalu Rasulullah bersabda : ‘Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi perselisihan diantara mereka dengan yang haq…!’ Maka berangkatlah Abu Ubaidah bersama orang-orang dari Najran dan Yaman”.
Seperti di zaman Rasulullah, Abu Ubaidah menjadi seorang yang sangat dipercaya. Begitupun setelah Rasulullah wafat, Abu Ubaidah sangat dipercayai umat. Beliau mengemban kepercayaan umatnya dengan amanah dan penuh tanggung jawab. Sehingga tidak aneh kalau beliau selalu dijadikan suri teladan oleh umat di masa itu.
Sampai suatu hari di Madinah, terdengar kabar bahwa Abu Ubaidah wafat. Amirul Mukminin Umar bin Khattab seketika memejamkan kedua pelupuk matanya. Air mata pun meleleh, hingga Umar membuka matanya dengan tawakal menyerahkan diri. Didoakannya Abu Ubaidah agar mendapat rahmat dari Allah. Lalu bangkitlah kenangan-kenangan lamanya bersama Abu Ubaidah sahabatnya. Lalu katanya, “Seandainya aku bercita-cita, maka tak ada harapanku selain sebuah rumah yang penuh didiami oleh tokoh-tokoh seperti Abu Ubaidah…”
Abu Ubaidah wafat di atas bumi yang telah disucikan dari keberhalaan Persi dan penindasan Romawi.
Perjalan lain dari Ibnu Jarrah :
Ibnul Jarrah adalah seorang panglima yang cerita kemenangan dan suksesnya menjadi pembicaraan dunia. Ia adalah seorang yang mengesampingkan gemerlapnya dunia yang palsu dan menerjunkan dirinya ke dalam berabagai medan perang mencari mati syahid, tetapi selalu saja Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberinya hidup. Dia seorang yang kuat yang dapat dipercaya, yang pernah dipilih oleh Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam menjadi guru di Najran dan salah seorang diantara sepuluh orang yang dinyatakan akan mendapatkan surga.
Dia adalah soerang panglima yang pernah memohon kepada AllohSubhanahu wa Ta’ala supaya hari terakhirnya ditentukan di tengah-tengah tentaranya. Alloh berkenan mengabulkan permohonannya itu. Itulah garis-garis besar kepribadian amiinul ummah “kepercayaan umat Islam”, Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah, penyebar kalimat “Allohu Akbar” di negeri Syam dan sekitarnya.
Ada orang yang bertanya kepada Abdullah bin Umar, “bagaimana dengan Ibnul Jarrah?”. “Rahimahulloh! Dia seorang yang selalu berwajah cerah, baik akhlaknya dan seorang pemalu”, jawab Abdullah.
Sejarah tidak mencatat masa-masa mudanya bersama dengan rekan-rekan sebayanya, tetapi sejarah merekam semua langkahnya ketika menuju ke Baitul Arqam, bergabung dengan kelompok orang-orang Mukmin yang telah memilih Islam sebagai agamanya, beriman kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebagai Tuhannya, dan menerima Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam sebagai nabi dan rasulNya.
Menurut sejarah, Ibnul Jarrah tergolong orang pertama y ang menyambut seruan Islam. Ia bersama beberapa orang rekannya; Utsman bin Mazh’un, ‘Ubaidah ibnul Harits bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, dan Abu Salamah bin Abdul Asad, pergi menemui Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam sebelum beliau membukan sekolah dan dakwahnya di Darul Arqam. Beliau menawarkan Islam kepada mereka dan membentangkan apa-apa yang berkenaan dengan agama itu, lalu mereka menerima tawaran itu dengan puas dan ikhlas. Sejak saat itulah, ia dan rekan-rekannya itu menjadi manusia baru, seakan-akan terputus hubungannya dengan manusia lama yang bergelimang kejahiliahan dalam keyakinan dan penyembahan berhala.
Pada waktu kaum Quraisy memaklumkan perang terhadap kelompok orang mukmin yang tiada berdaya dan berdosa, dengan melakukan pengejaran dan penyiksaan di luar abatas kemanusiaan, Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wasallam memberikan izin kepada kelompok itu berhijrah ke Habasyah. Diantara para Muhajirin yang menyelamatkan agamanya dari keganasan kaum Quraisy itu ialah Abu ‘U baidah ibnul Jarrah.
Meskipun sambutan dan penerimaan raja Habasyah sangat baik terhadap mereka, mereka diterima dengan hormat dan didekatkan dari majelisnya, semua kebutuhan dan hajat keluarganya dipenuhi, baik moral maupun material, namun semua itu tidak berarti bagi mereka daripada kehidupan di dekat Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam; setiap hari mengikuti pelajaran dan bimbingannya, dalam upaya mempertebal keimanannya. Tidaklah heran, ketika mereka mendengar berita bahwa telah dicapai kesepakatan antara Muhammad dan kaum Quraisy, berita gembira itu membangkitkan semangat mereka untuk segera pulang kembali ke Mekkah tanpa mengecek kebenarannya lagi. Setibanya mereka disana, mereka malah mendapat penyiksaan yang lebih ganas dari kaum Quraisy, sampai ada diantaranya yang tewas oleh dendam hitam yang memenuhi lubuk hati musuh terhadap tunas dakwah yang baru merintis itu.
Akibat teror ganas kaum Quraisy itu, penduduk kota Mekkah hidup dalam ketakutan dan kegelisahan yang tiada terperikan. Ibnul Jarrah tak lama tinggal di Mekkah, begitu pula rekan-rekannya yang lain. Kaum Quraisy mengetahui bahwa Muhammad berhasil keluar menembus kepungannya dan pergi berhijrah ke Yatsrib, tempat yang dijadikan model dan landasan bertolak nya Islam dan kaum Muslimin, negara tempat menggembleng para pahlawan, negarawan, alim ulama yang akan dilepaskan ke seluruh penjuru dunia untuk membimbing dan memimpin umat manusia ke jalan Tuhan Yang Maha Satu, dengan rasa puas dan ikhlas.
Jalan antara Mekkah dan Yatsrib menjadi saksi ketika Ibnul Jarrah melepaskan kendali kudanya menggulung bumi dan bersaing dengan angin, mengikuti jejak rekan-rekannya yang sudah mendahuluinya ke Yatsrib. Ketika sampai di hadapan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam di Madinah, ia hampir tidak dikenal lagi karena debu padang pasir yang ditempuh tanpa henti hampir menutupi wajahnya. Setiba di sana, ia disambut baik oleh Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dan dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Mu’az.
Saad bin Mu’az adalah orang yang telah mempersembahkan diri dan harta bendanya di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan tidak sudi berkompromi dengan kaum Yahudi, sesudah mereka mengkhianati perjanjian yang sudah mereka tanda tangani bersama Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam, sehingga ia terluka parah dalam perang Ahzab. Ia memohon kepada AllohSubhanahu wa Ta’ala agar jangan dimatikan sebelum matanya puas melihat Yahudi Bani Quraizhah dihukum. Ternyata, Alloh Subhanahu wa Ta’alamengabulkan doanya. Bani Quraizhah menolak keputusan RasulullohShallallohu ‘alaihi wasallam dan minta diputuskan oleh Sa’ad bin bin Mu’az, bekas sekutu mereka. Akhirnya, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallammeminta supaya Sa’ad memberikan keputusannya. Diputuskanlah; semua laki-laki Bani Quraizhah dibunuh, kaum wanita dan anak-anaknya ditawan dan harta bendanya dirampas.
Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam berkomentar atas keputusan Sa’ad itu, “engkau telah memberikan keputusan dengan hukum Alloh dari atas langit yang ke tujuh”.
Sejak menginjakkan kakinya di Yatsrib, sejak itu pulalah Abu ‘Ubaidah mnganggap bumi itu sebagai tanah air agama dan dirinya yang harus dipertahankan mati-matian. Ia melakukan tugas kewajibannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Hal ini terlihat dari tidak pernah absennya di semua peperangan bersama dengan Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wasallam.
Dalam perang Badar, ia selaku tentara, harus senantiasa patuh kepada perintah panglimanya. Sebagai seorang mukmin, ia mempunyai pandangan, sikap dan garis tegas yaitu bahwa semua yang berperang di bawah panji Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam yang mengucapkan kalimat tauhid, mereka adalah saudara, keluarga dan kawan-kawannya, meskipun berbeda asal-usul, warna kulit dan darahnya. Semua yang berperang di bawah bendera Quraisy atau sekutu mereka, mereka adalah musuh aqidah dan lawan dirinya, meskipun mereka keluarga terdekatnya.
Dengan logika dan pemahaman seperti itu terhadap aqidah dan agamanya, dan perannya sebagai seorang mukmin, maka ketika ia melihat ayahnya ikut menghunus pedang di tengah-tengah pasukan kaum musyrikin, membunuh saudara-saudaranya sesama mukmin, majulah ia menghampirinya, tetapi ayahnya menghindarinya. Walaupun demikian, ia mengejarnya dan memberikan pukulan yang mematikan.
Ayahnya adalah kafir, menyekutukan Tuhannya dengan yang lain; kafir terhadap Tuhan Yang menciptakannya; ia mengangkat senjata hendak menumpas agama Tuhannya dan para pendukung agama tersebut. Oleh karena itu, ia sudah tidak berguna lagi bagi Tuhannya. Siapa yang hidupnya sudah tidak berguna bagi Tuhannya niscaya tidak berguna juga bagi seluruh umat manusia.
Dalam perang Uhud, ketika peperangan itu sudah mencapai puncaknya, dimana pihak musuh sudah berhasil mengepung ketat RasulullohShallallohu ‘alaihi wasallam dan menjadikan beliau sebagai sasaran tunggal anak panah dan senjata lainnya, Abu ‘Ubaidah dan beberapa orang rekannya menghunus pedangnya untuk melindungi Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dari serangan ganas musuh sehingga darah mengucur dari wajah beliau dan beliau mengusahpnya dengan tangan kanannya seraya mengucapkan, “Bagaimana suatu kaum akan menang sedangkan mereka membiarkan nabi yang menuntunnya kepada Tuhannya lerluka wajahnya?”.
Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallâhu ‘anhu melukiskan peran yang dimainkan Abu ‘Ubaidah dalam perang Uhud itu, “pada waktu itu, RasulullohShallallohu ‘alaihi wasallam terkena dua kali bidikan anak panah pada tulang pipinya, lalu aku segera pergi menghampirinya. Ternyata dari sebelah timur ada orang lain yang mendahuluiku, menghampirinya dengan cepat pula. Aku berkata, “Ya Alloh, jadikanlah hal itu sebagai kepatuhan kepada Mu”. Sesudah itu, sampailah aku di dekat Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam. Aku melihat Abu ‘Ubaidah sudah sampai terlebih dahulu, lalu ia berkata, “Ya Abu Bakar, aku mohon kau membiarkan aku melepaskan panah itu dari wajah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam!”. Aku membiarkan Abu ‘Ubaidah melepaskan mata anak panah itu dengan gigi depannya dan ia berhasil mencabutnya, tetapi ia terjatuh ke tanah dan giginya pun patah. Selanjutnya, ia mencabut mata anak panah yang kedua hingga gigi depannya yang satunya patah juga. Sejak itu, Abu ‘Ubaidah ompong gigi depannya.
Dalam perang Dzatus Salaasil, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallammenugaskannya memimpin pasukan para shahabatnya (diantaranya Abu Bakar dan Umar) sebagai bala bantuan untuk Amru bin Ash. Setibanya pasukan itu, Amru berkata kepadanya, “Ya Aba ‘Ubaidah, kau didatangkan sebagai bala bantuan untuk pasukanku”. Abu ‘Ubaidah menjawab, “Tidak.. Aku dengan pasukanku dan kamu dengan pasukanmu, masing-masing memimpin pasukannya”. Amru bin Ash menolak adanya banyak pemimpin, ia tetap menganggap pasukan Abu ‘Ubaidah yang baru datang itu harus ada di bawah pimpinannya sebagai bala bantuan. Abu ‘Ubaidah berkata, “Ya Amru, Rasulullloh ShallAllohu ‘alaihi wasallam melarangku, kalian berdua jangan berselisih!. Apabila engkau membangkang kepadaku, biarlah aku yang patuh kepadamu!”. Alangkah indahnya kata-kata dan sikapnya itu?”.
Demikianlah, Islam berhasil menciptakan manusia model, insan kamil yang diasuh Tuhannya, ruh dan kalbunya dimumikan dari sifat-sifat kebumian dan keremehan manusiawi. Alangkah jujurnya kata-kata itu dalam nilai kejantanan seseorang, “kalau kau membangkang kepadaku, biarlah aku yang patuh kepadamu”, pada saat kepentingan jamaah kaum muslimin dan agama Islam menuntut persatuan dan kekompakan.
Pada suatu waktu, datanglah perutusan dari Najran kepada Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam meminta supaya bersama mereka dikirimkan seorang agama, mengajarkan hukum-hukum syariat kepada mereka, dan merangkap sebagai penengah (hakim) apabila terjadi perselisihan antara mereka. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam berjanji kepada mereka: “nanti malam, kalian datang kembali, aku akan mengirimkan bersama kalian seorang yang terpercaya”. Umar ibnul Kaththab bercerita tentang hal itu: “aku belum pernah ingin mendapatkan pangkat lebih dari itu pada waktu itu, mudah-mudahan akulah orang yang dimaksudkan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam itu, Aku pergi menantikan waktu zhuhur. Sesudah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam selesai sholat zhuhur, beliau menoleh ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicari. Aku menjulurkan kepalaku supaya beliau melihatku, tetapi beliau masih saja mencari hingga beliau melihat Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah, lalu beliau berseru: “kau pergi bersama mereka dan putuskan sengketa yang terjadi antara mereka dengan sebenar-benarnya”. Demikian keterangan yang jujur dari Umar ibnul Khaththab. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya:“Tiap-tiap umat memiliki orang kepercayaan dan kepercayaan umat ini adalah Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah”.
Tepat sekali sebda Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam itu, ibnul Jarrah adalah seorang kepercayaan dalam akhlaknya, tidak seorang muslimpun merasa dirugikan olehnya. Ia kepercayaan dalam agamanya, ia berusaha keras menggalakkan dakwah secara merata. Ia kepercayaan dalam memelihara batas-batas negara sehingga semua pihak menghargai kewibawaan dan kekuasaannya.
Bagaimana tidak demikian, dia adalah salah seorang dari sepuluh orang pertama yang masuk Islam dan salah seorang dari sepuluh orang yang dinyatakan akan mendapatkan surga. Sesudah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam wafat, banyak orang yang datang hendak membaiat Abu ‘Ubaidah menjadi khalifah, tetapi ia menjawab: “apakah kalian datang kepadaku sedangkan di tengah-tengah umat ini masih ada orang yang ketiga”. Yang ia maksudkan adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, sesuai dengan apa yang disabdakan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar di Gua Hira’, yang artinya: “Di waktu dia berkata kepada temannya, ‘janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Alloh beserta kita”. (QS: At-Taubah: 40).
Pada waktu itu, Umar ibnul Khaththab radhiallâhu ‘anhu termasuk salah seorang yang datang kepadanya, seraya berkata, “ulurkan tanganmu, aku akan membaiat kau, hai kepercayaaan umat, seperti yang dikatakan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam“.
Abu ‘Ubaidah, menjawab, “belum pernah aku melihat kau tergelincir seperti sekarang sejak engkau Islam. Apakah kau akan membaiatku, sedangkan ash-Shiddiq, shahabat kedua Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam di Gua Hira’, ada di tengah-tengah kita?”. Rupanya teguran Abu ‘Ubaidah itu menyadarkan Umar. Ia lalu mengirimkan orang untuk memanggil Abu Bakar di rumah Aisyah, Ummul Mukminin, lalu ketiganya pergi ke Saqifah Bani Saa’idah. Setibanya disana, mereka mendapatkan kaum Anshar sedang melakukan rapat. Abu Bakar bertanya keheranan, “ada apa ini?”. Mereka menjawab, “dari kami diangkat amir dan dari kalian juga diangkat amir”. Abu Bakar ash-Shiddiq berkata: “para amir dari kami dan para wazir (menteri) dari kalian”. Sambutnya lagi, “aku setuju kalau kalian mengangkat salah seorang diantara dua orang ini; Umar ibnul Khaththab dan Abu ‘Ubaidah, kepercayaan umat ini”. Kedua orang itu menyatakan, “Tidak mungkin ada seorangpun yang mengungguli kedudukanmu, ya Aba Bakar!”. Keduanya lalu membaiatnya.
Itulah para pengikut dan shahabat Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam, yang telah mendapatkan gemblengan Al-Qur’anul Karim dan mendapatkan rintisan tata cara hidup melalui petunjuk dan pengajarannya.
Suatu waktu, Umar ibnul Khaththab radhiallâhu ‘anhu selaku khalifah Islam mengangkat Abu ‘Ubaidah menjadi komandan pasukan kaum muslimin di Syam, menggantikan Khalid bin Walid. Pada waktu itu, Khalid sedang ada di medan perang menggempur musuh-musuh Islam. Ia tidak segera memberitahukan berita pengangkatannya dan pemecatan Khalid itu, sebagai penghormatan dan penghargaan atas jasa-jasanya.
Sesudah Khalid mendengar berita pemecatannya dan pengangkatan Abu ‘Ubaidah sebagai penggantinya maka dalam serah terima jabatan itu, Khalid berkata, “kini, telah diangkat untuk memimpin kalian kepercayaan umat ini, Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah”. Abu ‘Ubaidah menyambut perkataan itu, “aku mendengar Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Khalid adalah salah satu dari pedang-pedang Alloh, ya pemuda idaman”.
Itulah jabatan kepanglimaan, tetapi tidak menyombongkan mereka. Itulah kepangkatan dan jabatan tinggi dunia, namun mereka tidak lupa daratan karena risalah atau misi mereka terbatas dan tugas mereka jelas, seperti yang dikatakan Rabi’ bin Amir: “Alloh telah mengirimkan kami untuk mengeluarkan orang yang Dia kehendaki diantara hamba-hambaNya, dari mengabdikan diri kepada hambaNya kepada pengabdian diri kepada Alloh semata”. Kalau jabatan dan kepangkatan tidak bisa menggiurkan dan menggugurkan mereka, begitu pula dengan bujuk rayu dunia lainnya. Pada suatu waktu, Umar ibnul Khaththab mengirim uang kepada Abu ‘Ubaidah sebesar empat ribu dirham dan empat ratus dinar, lalu ia berpesan kepada pesuruhnya, “perhatikan apa yang dilakukannya”. Sesudah uang itu dibagi-bagikan, pesuruh itu melaporkan kepada khalifah Umar. Umar berkata: “Alhamdulillah, yang menjadikan dalam kalangan kaum muslimin orang yang melakukan hal itu”. Ketika khalifah Umar datang ke negeri Syam, ia dijemput oleh para perwira militer dan pejabat sipil. Ia bertanya, “mana saudaraku?”. Mereka bertanya keheranan, “siapa dia, ya Amiral Mukminin?”.
Ia menjawab,”Abu Ubaidah”.Mereka menjawab, “Ia segera datang”. Tak lama, ia datang dengan menunggang seekor unta, lalu ia memberikan salam kepada khalifah. Khalifah lalu memerintahkan para penyambutnya pulang kembali dan membiarkannya bersama Abu ‘Ubaidah. Keduanya pergi ke rumah Abu ‘Ubaidah. Setiba di sana, Khalifah Umar tidak melihat sesuatu apapun selain pedang dan perisainya. Umar bertanya kagum, “mengapa kau tidak memiliki sesuatu?”. Abu ‘Ubaidah menjawab, “ya Amiral Mukminin, ini pun akan menghantarkan kita ke tempat peristirahatan kita”. Umar tidak melihat perabotan dan perhiasan mewah di rumahnya karena ia bukan seorang yang senang duduk-duduk di rumah, tetapi seorang lapangan yang selalu memandang jauh kepada apa yang ada di balik kehidupan ini. Adapun orang-orang yang suka bergelimang dalam kesenangan hidup, mereka sudah terperangkap jaringan setan yang sulit untuk membebaskan dirinya. Dia tahu menempuh jalan hidup dunia menuju perumahan kehidupan abadi di akhirat.
Kalau demikian watak keras dan kuat Abu ‘Ubaidah menghadapi kehidupan ini, mendalam pengertiannya menempuh hidup dan menghadapi orang hidup, konsekuen mempertahankan kebenaran, maka dengan sendirinya ia tidak akan sudi berkompromi dengan kebatilan dan bermanis-manis dengan kecurangan, tidak peduli kedudukan dan asal-usul seseorang yang dihadapannya.
Pada suatu hari, Jabalah ibnul Aiham, raja Ghassan, masuk Islam, sesudah menerima baik surant Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam yang mengundangnya untuk menganut agama itu. Pada suatu waktu ia berjalan di pasar kota Damaskus, tiba-tiba kakinya menginjak kaki Muzniah, lalu ia langsung menampar Jabalah. Muzniah lalu digiring kepada Abu ‘Ubaidah untuk diadili. Mereka berkata, “tuan Hakim, orang ini telah menampar raja Jabalah”. “Dia harus ditampar juga!”.”Apa tidak dibunuh?”.”Tidak”.”Apa tidak dipotong tangannya?”.”Tidak, Alloh hanya memerintahkan dilakukan qishash, ditindak sama dengan perbuatannya”. Jabalah berkata, “apakah kalian mengira aku mau menjadikan wajahku perumpamaan bagi wajah nenek moyangku?”. Ia lalu meurad kembali menjadi Kristen dan pergi menyeberang bersama kaumnya ke negeri Romawi. Negeri Syam hamnpir seluruhnya ditaklukkan, tinggal beberapa buah benteng musuh yang masih dipertahanka. Ketika pasukan Islam di bawah pimpinan panglimanya, Abu ‘Ubaidah, hendak memulai pertempuran baru untuk merebut benteng-benteng yang masih dipertahankan musuh itu, tiba-tiba terjadi serangan penyakit menular hebat di kalangan pasukan kaum muslimin. Mendengar berita mengerikan itu, Khalaifah Umar ingin menyelamatkan Abu ‘Ubaidah dari cengkeraman maut itu, lalu ia menulis surat memerintahkan supaya ia keluar dari negeri itu. Isi surat itu antara lain: “Salam sejahtera kepadamu. Lain dari itu, aku ingin menawarkan sesuatu kepadamu, harapanku apabila engkau menerima suratku ini supaya lekas-lekas datang menghadapku!”. Abu ‘Ubaidah paham maksud Khalifah itu, lalu ia membalasnya: “Ya Amiral mukminin, aku sudah paham maksudmu. Aku ada di tengah-tengah pasukan kaum muslimin, tidak bermaksud mengutamakan keselamatan diri atau memisahkan diri dari mereka, hingga Alloh menentukan apa yang Dia kehendaki terhadapku dan mereka, dan bebaskanlah aku dari tawaran dan harapanmu itu!”. Abu ‘Ubaidah rahimahullah wafat karena penyakit menular itu pada tahun 18 H dalam usia 58 tahun.
Khalifah Umar radhiallâhu ‘anhu berkata: “Kalau usia Abu ‘Ubaidah lanjut, akau akan mengangkatnya menjadi penerusku. Kalau Alloh bertanya, atas dasar apa kau mengangkatnya, aku akan menjawab, “aku pernah mendengar Nabi-Mu mengatakan “Dia kepercayaan Umat ini”.
0 komentar:
Posting Komentar