Bismillah, alhamdulillahi wa kafa… was sholatu was salamu ala rusulihil musthofa… wa ala alihi wa shohbihi wa maniktafa…
Tulisan ini diangkat dari Al-Qadiayaniyah Dirasat Wa Tahlil, karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, cetakan pertama, tahun 2005, dari percetakan Darul Imam al-Mujaddid, Mesir. Meski hanya satu refensi yang kami jadikan pegangan, namun buku yang dikarang oleh Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir ini merupakan buku yang istimewa. Beliau, yang berkebangsaan Pakistan, sangat menguasai dan memahami permasalahan tentang Ahmadiyah sebagaimana tertulis dengan bahasa aslinya, yaitu bahasa Urdu. Rujukan beliau banyak bertumpu pada karya-karya asli Jemaat Ahmadiyah, baik yang dikarang oleh Mirza Ghulam Ahmad atau para penerusnya.
Keluarga Mirza Ghulam Ahmad
Dia menceritakan, namaku Ghulam Ahmad. Ayahku Ghulam Murtadha (bin Atha’ Muhammad). Bangsaku Mongol. (Kitab Al-Bariyyah, hal. 134, karya Ghulam Ahmad).
Namun dalam kesempatan lain, ia mengatakan: “Keluargaku dari Mongol… Tapi berdasarkan firman Allah, tampaknya keluargaku berasal dari Persia, dan aku yakin ini. Sebab tidak ada seorang pun yang mengetahui seluk-beluk keluargaku seperti pemberitaan yang datang dari Allah Ta’ala”. (Hasyiah Al-Arbain, no. 2 hal. 17, karya Ghulam Ahmad).
Dia juga pernah berkata: “Aku membaca beberapa tulisan ayah dan kakek-kakekku, kalau mereka berasal dari suku Mongol, tetapi Allah mewahyukan kepadaku, bahwa keluargaku dari bangsa Persia.” (Dhamimah Haqiqati Al-Wahyi, hal. 77, karya Ghulam Ahmad).
Dalam kesempatan lain, ia juga pernah mengatakan: “…. karena sesungguhnya aku adalah keturunan asli dari Cina” (Haqiqotul Wahyi matnan wa hasyiah, hal: 200, karya Ghulam Ahmad)
Yang mengherankan, ia juga pernah mengaku sebagai keturunan Fathimah r.a., putri Muhammad (Tuhfah Kolart, hal. 29)
Begitulah, banyak versi tentang asal-usul Mirza Ghulam Ahmad yang berasal dari pengakuannya sendiri. Maha Benar Allah dengan firman-Nya (yang artinya): “Kalau sekiranya itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka menjumpai pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. An-Nisa: 82)
Setelah itu, ia menceritakan tentang ayahnya: “Ayahku mempunyai kedudukan di kantor pemerintahan. Dia termasuk orang yang dipercaya pemerintah Inggris. Dia pernah membantu pemerintah untuk memberontak penjajah Inggris dengan memberikan bantuan pasukan dan kuda. Namun sesudah itu, keluargaku mengalami krisis dan kemunduran, sehingga menjadi petani yang melarat.”[1] (Tuhfah Qaishariyah, hal. 16, karya Ghulam Ahmad)
Dari keluarga yang tidak jelas garis keturunan lagi melarat, Ghulam Ahmad dilahirkan. Dia berkisah: “Aku dilahirkan pada tahun 1839M atau tahun 1840M di akhir masa Sikh di Punjab.” (Kitab Al-Bariyyah, hal. 134, karya Ghulam Ahmad)
Masa Kecil Mirza Ghulam Ahmad dan Pendidikannya
Tatkala mencapai usia tamyiz, ia mulai belajar sharaf, nahwu dan beberapa kitab berbahasa Arab, bahasa Persia dan ilmu pengobatan.
Dia berkata: “Aku belajar Al-Qur’an dan kitab-kitab berbahasa Persia dengan ustadz Fadhl Ilahi. Sedangkan sharaf dan nahwu serta ilmu pengobatan, aku pelajari dari ustadz Fadhl Ahmad.” Hanya saja, sesuai dengan keterangan Mahmud Ahmad, salah seorang anaknya di Koran Al-Fadhl (5 Februari 1929), milik kelompok mereka, sebagian guru yang mengajar Ghulam Ahmad adalah pecandu opium dan ganja.
Selain itu, ia juga sempat mengenyam pembelajaran bahasa Inggris di sebuah madrasah khusus untuk pegawai pemerintah. Satu atau dua buku bahasa Inggris saja yang ia pelajari.
Pendidikan masa kecil yang dijalani Mirza Ghulam Ahmad dengan model ini (baca: yang sangat dangkal) menampakkan pengaruhnya dalam tulisan dan ucapan-ucapannya. Kesalahan-kesalahannya tidak hanya terjadi pada masalah-masalah yang pelik, tetapi juga terlihat pada perkara-perkara yang sederhana. Misalnya, ia pernah berkata: “Sesungguhnya saat Rasulullah dilahirkan, beberapa hari kemudian ayahnya meninggal.” (Baigham Shulh, hal. 19, karya Ghulam Ahmad). Padahal ayah beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggal dunia ketika beliau masih di dalam kandungan ibunya.
Contoh kekeliruan lainnya dalam kitabnya, Ainul Ma’rifah, hal. 286, Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan, bahwa Rasulullah mempunyai sebelas anak dan semuanya meninggal. Padahal yang benar berjumlah enam orang.
Pada waktu itu, keberanian merupakan ciri khas orang-orang yang mulia (bangsawan). Tetapi orang yang mengaku sebagai “Al-Masih” ini tidak pernah masuk dalam peperangan, tidak belajar ilmu-ilmu keperwiraan, yang dahulu dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah kemuliaan dan sikap kesatria.
Penyakit-Penyakit yang Dideritanya
Berbicara tentang penderitaan fisik (baca: penyakit) yang dialaminya sangat banyak. Tangan kanannya patah sehingga untuk mengangkat sebuah teko pun tidak mampu. (Sirah Al-Mahdi, 1/198).
Dia pernah menderita penyakit TBC dan diobati selama kurang lebih enam bulan (Hayatu Ahmad, 1/79).
Dia juga pernah mengakui ditimpa dua penyakit. Di bagian atas tubuh, yaitu kepala yang sering pusing dan dibagian bawah, yaitu kencing yang berlebihan. (Haqiqatul Wahyi, hal. 206, karya Ghulam Ahmad).
Pusing kepalanya ini sering mengganggunya. Kadang menyebabkannya terjatuh sehingga pingsan. Oleh karena itu, ia sering tidak berpuasa pada bulan Ramadhan yang ia jumpai. (Sirah Al-Mahdi, 1/51 karya anaknya)
Dia juga mengalami gangguan syaraf, ingatan buruk tidak tergambarkan. Dua matanya sangat lemah. Anaknya menceritakan, bahwa Mirza Ghulam Ahmad pernah ingin berphoto bersama murid-muridnya. Pemotret memintanya untuk membuka matanya sedikit saja, agar gambar menjadi baik. Dia pun berusaha dengan susah payah, tetapi gagal. (Sirah Al-Mahdi, 2/77)
Sebagaimana pengakuannya sendiri di dalam harian Al-Hakam, 31 Oktober 1901M, otaknya juga mengalami kelemahan.
Permulaan Ketenaran dan Dakwahnya
Permulaan ketenarannya dimulai dengan seolah-olah membela Islam. Setelah ia meninggalkan pekerjaan kantornya, ia mulai mempelajari buku-buku India Nasrani, sebab pertentangan dan perdebatan pemikiran begitu santer terjadi antara kaum Muslimin, para pemuka Nasrani dan Hindu. Kebanyakan kaum Muslimin sangat menghormati orang-orang yang menjadi wakil Islam dalam perdebatan tersebut. Segala fasilitas duniawi pun diberikan kepadanya. Ghulam Ahmad berfikir, bahwa pekerjaan itu sangat sederhana dan mudah, mampu mendatangkan materi lebih banyak dari pendapatannya saat bekerja di kantor.
Untuk mewujudkan gagasan yang terlintas dalam benaknya, maka pertama kali yang ia lakukan ialah menyebarkan sebuah pengumuman yang menentang agama Hindu. Berikutnya, ia menulis beberapa artikel di beberapa media massa untuk mematahkan agama Hindu dan Nasrani. Kaum Muslimin pun akhirnya memberikan perhatian kepadanya. Itu terjadi pada tahun 1877-1878M.
Pada gilirannya, ia mengumumkan telah memulai proyek penulisan buku sebanyak lima puluh jilid, berisi bantahan terhadap lontaran-lontaran syubhat yang dilontarkan oleh kaum kuffar terhadap Islam. Oleh karena itu, ia mengharapkan kaum Muslimin mendukung proyek ini secara material. Sebagian besar kaum Muslimin pun tertipu dengan pernyataannya yang palsu, bahwa ia akan mencetak kitab yang berjumlah lima puluh jilid.
Sejak itu pula, ia menceritakan beberapa karomah (hal-hal luar biasa) dan kusyufat tipuan yang ia alami. Sehingga orang-orang awam menilainya sebagai wali Allah, tidak hanya sebagai orang yang berilmu saja. Orang-orang pun bersegera mengirimkan uang-uang mereka yang begitu besar kepadanya guna mencetak kitab yang dimaksud. (Majmu’ah I’lanat Ghulam Al-Qadiyani, 1/25)
Volume pertama buku yang ia janjikan terbit tahun 1880M, dengan judul Barahin Ahmadiyah. Buku ini sarat dengan propaganda dan penonjolan karakter penulisnya. Cerita tentang alam ghaib yang berhasil ia ketahui, juga berisi karomah dan kusyufatnya.
Kitab-kitab volume berikutnya pun bermunculan. Namun, tatkala sampai kepada masyarakat, mereka keheranan, karena mendapat isi buku tersebut tidak seperti yang dikatakan penulis pertama kali, yaitu bantahan terhadap agama Hindu dan Nasrani, tetapi justru dipenuhi dengan cerita-cerita tentang karamah dan sanjungan terhadap kolonialis Iggris.
Dari sini, masyarakat kemudian mengetahui, ternyata lelaki ini hanyalah seorang pendusta dan pencuri harta manusia. Buku yang telah diterbitkan hanya untuk mendapatkan popularitas dan memanfaatkan kaum Muslimin, menguras harta mereka, bukan untuk membela Islam. Apalagi setelah kaum Muslimin menemukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dalam buku yang ia terbitkan tersebut.
Banyak para ulama yang mendapat informasi, bahwa lelaki itu, sebenarnya tidak mempunyai keinginan, kecuali untuk membuat sebuah toko semata. Andai ada orang lain yang mampu membayarnya dengan jumlah yang lebih besar, maka ia akan mendukungnya, meskipun dengan melakukan pelanggaran terhadap Islam. Dan memang seperti itulah yang dikatakan oleh para ulama. Sebab, pada waktu itu, penjajah Inggris membutuhkan orang yang dapat memporak-porandakan kekuatan kaum Muslimin. Sehingga sang penjajah ini mencari orang dari kalangan kaum Muslimin untuk diperalat. Tatkala sudah mendapatkannya, kolonial ini akan memanfaatkan semaksimal mungkin. Demikian yang terjadi dengan Mirza Ghulam Ahmad. Oleh karena itu, ia penuhi kitab volume ketiganya dengan pujian-pujian kepada kolonialis Inggris.
Perhatikan pengakuannya dalam volume tersebut, tatkala ia menghadapi penentangan dari kaum Muslimin
Dia menyatakan, ada sebagian orang dari kalangan kaum Muslimin yang menulis kepadaku, mengapa engkau memuji penjajah Inggris dalam volume ketiga? Mengapa engkau berterima kasih kepada pemerintah Inggris? Sebagian kaum muslimin mencaci-maki dan mecelaku karena sanjungan ini. Hendaknya setiap orang mengetahui, bahwa aku tidak memuji pemerintah Inggris, kecuali berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. (Barahin Ahmadiyah, vol. 4)
Ringkasnya, penjajah telah memanfaatkannya dengan memberikan segala yang berharga untuknya karena pengkhianatannya kepada agama dan umat Islam. Persis seperti ayahnya yang dahulu juga berkhianat, tetapi kepada negeri India dan penduduknya.
Pada tahun 1885M, ia memproklamirkan diri sebagai mujaddid dengan mendapat bantuan dan dukungan penuh dari penjajah. Enam tahun berikutnya, tahun 1891M, ia mengklaim diri sebagai Imam Mahdi. Pada tahun itu juga, ia mengaku sebagai Al-Masih. Dan klimaksnya pada tahun 1901M, ia mendeklarasikan statusnya sebagai nabi yang mandiri, dan lebih mulia dari seluruh pada nabi dan rasul.
Sebagian ulama dapat mendeteksi keinginannya sebelum ia mengaku sebagai nabi (palsu). Tetapi dengan segera ia mencoba menepisnya dengan berkata: “Aku juga beraqidah Ahlus Sunnah. Aku berkeyakinan Muhammad adalah penutup para nabi. Barangsiapa mengaku sebagai nabi, maka ia kafir, pendusta. Karena aku beriman bahwa risalah itu bermula dari Adam dan berakhir dengan kedatangan Rasulullah Muhammad.” (Pernyataan Ghulam Ahmad pada 12 Oktober 1891 yang terdapat dalam kitab Tabligh Risalah, 2/2)
Kemudian dengan bisikan dari penjajah ia mengatakan untuk mengecoh: “Aku bukan nabi, tetapi Allah menjadikannku orang yang diajak bicara (kalim), untuk memperbaharui agama Al-Musthafa (Muhammad)” (Mir-atu Kamalati Al-Islam, hal. 383)
Keterangan lain darinya: “Aku bukan nabi yang menyerupai Muhamamad atau datang dengan ajaran yang baru. Justru yang ada dalam risalahku, aku adalah nabi yang mengikutinya (nabiyyun muttabi)” (Tatimmah Haqiqati Al-Wahyi, hal. 68, karya Ghulam Ahmad)
Dia juga mengatakan: “Demi Allah yang ruh-ku berada di genggaman-Nya, Dialah yang mengutusku dan menyebutku sebagai nabi…. Aku akan memperlihatkan kebenaran pengakuanku dengan mukjizat-mukjizat yang jumlahnya tidak kurang dari tiga ratus ribu mukjizat.” (Tatimmah Haqiqati Al-Wahyi, hal. 68, karya Ghulam Ahmad)
Coba perhatikan pernyataan-pernyataannya. Dia betul-betul berusaha mengecoh kaum Muslimin. Padahal sebelumnya, ia mengatakan: “Siapa saja yang mengklaim diri sebagai nabi setelah Muhammad, berarti ia saudara Musailamah Al-Kadzdzab, kafir lagi busuk.” (Anjam Atsim, hal. 28, karya Ghulam Ahmad). Dia juga mengatakan: “Kami melaknat orang-orang yang mengaku sebagai nabi setelah Muhammad.” (Tabligh Risalah, 26/2)
Perlu juga disebutkan, kitab yang ia janjikan berjumlah lima puluh jilid, tidak ia selesaikan kecuali lima jilid saja. Sehingga ketika ditanya oleh para donatur, ia menjawab: “Tidak ada bedanya antara angka lima dan lima puluh, kecuali pada nolnya saja.” (Muqaddimah Barahin Ahmadiyah, 5/7, karya Ghulam Ahmad)
Caci Maki Mirza Ghulam Ahmad Kepada Seterunya
Dia pernah mengatakan, melalui “wahyu” yang konon diterimanya, bahwa salah seorang seterunya akan mati pada waktu tertentu. Tetapi ternyata, seteru yang ia sebutkan tidak mati. Maka para ulama pun menyanggahnya dengan mengatakan: “Engkau katanya nabi, tidak berbicara kecuali dengan wahyu. Bagaimana mungkin janji Allah tidak tepat?”
Menanggapi bantahan dari para ulama ini, Mirza Ghulam Ahmad bukannya memberi jawaban dengan bukti dan dalil, tetapi justru melontarkan cacian: “Orang-orang yang menentangku, mereka lebih najis dari babi.” (Najam Atsim, hal. 21, karya Ghulam Ahmad)
Cacian-cacian lain yang keluar dari Mirza Ghulam Ahmad ini sudah sangat keterlaluan. Sebab orang-orang umum saja tidak akan sanggup mengatakannya.
Sang anak, Mahmud Ahmad bin Ghulam pernah mendengar ada orang yang mencaci orang lain dengan sebutan “hai anak haram”, maka ia (Mahmud Ahmad) mengatakan: “Orang seperti ini, pada masa Umar dihukum pidana pukul karena melakukan qadzaf (tuduhan zina). Tetapi sekarang, dapat di dengar seseorang mencela orang lain dengan celaan itu, namun mereka tidak bereaksi. Seolah-olah celaan ini tida ada artinya di mata mereka.” (Khutbah Al-Jum’ah, Mahmud Ahmad bin Ghulam, Koran Al-Fadhl, 13 Februari 1922M)
Tetapi ironisnya, ayahnya justru pernah mencela seorang ulama dengan ucapan “hai anak pelacur”. (Najim Atsim, hal. 228, karya Ghulam Ahmad). Mengacu kepada pernyataan Mahmud Ahmad, bukankah berarti Mirza Ghulam ini pantas untuk dihukum pukul? Dan ucapan itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, tetapi sangat sering dilontarkan ayahnya “sang mujaddid akhlak”.
Contoh lainnya, di dalam khutbahnya, ia pernah menyampaikan: “Itu adalah kitab. Akan dilihat oleh setiap muslim dengan penuh kecintaan dan sayang serta ia mendapatkan manfaat darinya. Dia akan menerima dan membenarkan dakwahku, kecuali keturunan-keturunan para pelacur yang telah Allah kunci hati mereka. Mereka tidak akan menerima.” (Mir’atu Kamalati Al-Islam, hal. 546, karya Ghulam Ahmad)
Begitulah contoh akhlak Mirza Ghulam Ahmad. Semoga kita terlindung dari perbuatan tercela.
Komentar Mirza Ghulam Ahmad Terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Banyak orang yang celaka muncul di muka bumi karena mencela para rasul, tetapi tidak banyak yang sekaliber Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya, dalam mencela para rasul, “mencuri” kenabian. Allah berfirman: “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah…” (Qs. Al-An’am: 93)
Dia mengklaim sebagai nabi dan rasul-Nya, seperti yang dilakukan oleh Musailamah dan Al-Aswad An-Ansi. Langkah berikutnya, ia mengaku sebagai orang yang paling utama dari dari seluruh nabi dan rasul. Sebagaimana ia menyatakan dirinya telah dianugerahi segala yang telah diberikan kepada seluruh para nabi (Durr Tsamin, hal. 287-288, karya Ghulam Ahmad). Dalam pernyataan yang lain, ia mengatakan, sesungguhnya Nabi (Muhammad) mempunyai tiga ribu mukjizat saja. “Sedangkan aku memiliki mukzijat lebih dari satu juta jenis”, kata Ghulam Ahmad (Tadzkirah Asy-Syahadatain, hal. 72, karya Ghulam Ahmad)
Di lain tempat, katanya, Islam muncul bagaikan perjalanan hilal (bulan, dari kecil), dan kemudian ditaqdirkan mencapai kesempurnaannya di abad ini menjadi badr (bulan pernama), dengan dalil (menurutnya)… (Khutbah Al-Hamiyah, hal. 184, karya Ghulam Ahmad), sebuah tafsiran yang kental nuansa tahrifnya (penyelewengan), layaknya perlakuan kaum Yahudi terhadap Taurat. Sebuah makna yang tidak dikehendaki Allah, tidak pernah disinggung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun terbetik di benak salah seorang sahabat, para imam dan ulama tafsir. Demikian salah satu trik untuk merendahkan kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Salah seorang juru dakwah mereka, juga tidak ketinggalan ikut membeo merendahkan martabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad pernah sekali datang kepada kami. Pada waktu itu, beliau lebih agung dari bi’tsah yang pertama. Siapa saja yang ingin melihat Muhammad dengan potretnya yang sempurna, hendaknya ia memandang Ghulam Ahmad di Qadian.” (Koran milik Qadiyaniah, Badr, 25 Oktober 1902M)
Kritik Sang Nabi Palsu Terhadap Beberapa Nabi
Mirza Ghulam Ahmad pernah berkomentar tentang Nabi Isa: “Sesungguhnya Isa tidak mampu mengatakan dirinya sebagai orang shalih. Sebab orang-orang mengetahui kalau dia suka minum-minuman keras dan perilakunya tidak baik.” (Hasyiyah Sitt Bahin, hal. 172, karya Ghulam Ahmad)
Komentar miring lainnya, menurutnya, Isa cenderung menyukai para pelacur. Karenanya nenek-neneknya adalah termasuk pelacur (Dhamimah Anjam Atsim, Hasyiyah, hal. 7, karya Ghulam Ahmad)
Anehnya, meski perkataan yang keluar dari mulutnya sangat kotor, tetapi ternyata Mirza Ghulam Ahmad “bersabda” dalam hadits palsunya: “Sesungguhnya celaan, makian, bukan perangai orang-orang shidiq. Dan orang yang beriman, bukanlah orang yang suka melaknat.” (Izalatul Auham, hal. 66)
Cacian Mirza Ghulam Ahmad Kepada Para Sahabat
Para sahabat pun tidak lepas dari cercaan yang dilancarkan Ghulam Ahmad. Termasuk penghulu para remaja/pemuda di surga kelak, yaitu Hasan, Husain, juga Abu Bakar dan Umar
Mirza Ghulam Ahmad ini mengataan: “Orang-orang mengatakan aku lebih utama dari Hasan dan Husain. Maka aku jawab, Itu benar. Aku lebih utama dari mereka berdua. Dan Allah akan menunjukkan keutamaan ini.” (I’jaz Ahmadi, hal. 58, karya Ghulam Ahmad)
Salah seorang anaknya dengan congkak berkata: “Dimana kedudukan Abu Bakar dan Umar, (mereka berdua tidak ada apa-apanya) bila dibandingkan dengan kedudukan Mirza Ghulam Ahmad? Mereka berdua saja tidak pantas untuk membawa sandalnya.” (Kitab Al-Mahdi, Pasal 304, hal. 57, karya Muhammad Husain Al-Qadiyani)
Tentang Abu Hurairah, Ghulam Ahmad mengatakan: “Abu Hurairah orang yang dungu. Dia tidak memiliki pemahaman yang lurus.” (I’jaz Ahmadi, hal. 140)
Perhatikan! Padahal ia sendirilah orang yang dungu, lagi bodoh. Lihat pengakuannya: “Sesungguhnya ingatanku sangat buruk. Aku lupa orang-orang yang sering menemuiku.” (Maktubat Ahmadiyah, hal. 21)
Kematian Mirza Ghulam Ahmad
Menyaksikan sepak terjangnya yang kian menjadi, maka para ulama saat itu berusaha menasehati Mirza Ghulam Ahmad, agar ia bertaubat dan berhenti menyebarkan dakwahnya yang sesat. Nasihat para ulama ternyata tidak membuahkan hasil. Dia tetap bersikukuh tidak memperdulikan. Akhirnya, para ulama sepakat mengeluarkan fatwa tentang kekufurannya. Di antara para ulama yang sangat kuat menentang dakwah Mirza Ghulam Ahmad, adalah Syaikh Tsanaullah.
Mirza Ghulam Ahmad sangat terusik dengan usaha para ulama yang mengingatkannya. Akhirnya dia mengirimkan surat kepada Syaikh Tsanaullah. Dia meminta agar suratnya ini dimuat dan disebarkan di majalah milik Syaikh Tsanaullah.
Di antara isi suratnya tersebut, Mirza Ghulam Ahmad tidak menerima gelar pendusta, dajjal yang diarahkan kepadanya dari para ulama masa itu. Mirza Ghulam Ahmad menganggap dirinya, tetap sebagai seorang nabi, dan ia menyatakan bahwa para ulama itulah yang pendusta dan penghambat dakwahnya.
Sang nabi palsu ini menutup suratnya dengan do’a sebagai berikut:
“Wahai Allah Azza Wajall… Yang Maha Mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan di hati… Jika aku seorang pendusta, pelaku kerusakan dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas nama-Mu pada waktu siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Ustadz Tsanaullah masih hidup, dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan sebab kematianku…!
“Wahai Allah! Dan jika saya benar, sedangkan Tsanaullah berada di atas kebathilan, pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan penyakit ganas, seperti tha’un, kolera atau penyakit lainnya, saat aku masih hidup. Amin.”
Begitulah bunyi do’a Mirza Ghulam Ahmad. Sebuah do’a mubahalah. Dan benarlah, do’a yang ia tulis dalam suratnya tersebut dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla. Yakni 13 bulan lebih sepuluh hari sejak do’anya itu, yaitu pada tanggal 26 bulan Mei 1908M, Mirza Ghulam Ahmad ini dibinasakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan penyakit kolera, yang dia harapkan menimpa Syaikh Tsanaullah.
Di akhir hayatnya, saat meregang nyawa, dia sempat mengatakan kepada mertuanya: “Aku terkena penyakit kolera.” Dan setelah itu, omongannya tidak jelas lagi sampai akhirnya meninggal. Sementara itu, Syaikh Tsanaullah masih hidup sekitar empat puluh tahun setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad.
Meski kematian telah menjemput Mirza Ghulam Ahmad, tetapi bukan berarti ajarannya juga ikut mati. Tapi malah kian tersebar di tengah masyarakat. Karenanya, sebagai seorang muslim, hendaklah lebih berhati-hati, agar tidak terjerat dengan berbagai ajaran sesat.
Ya, Allah. Perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai sebuah kebenaran, dan berilah kami kekuatan untuk melakukannya. Ya, Allah. Perlihatkanlah kepada kami kebatilan sebagai sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.
- Oleh: Muhammad Ashim
- Sumber Al-Qadiayaniyah Dirasat Wa Tahlil, karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, cetakan pertama, tahun 2005, dari percetakan Darul Imam al-Mujaddid, Mesir.
- Artikel adalah ringkasan dari kitab diatas, dari hal: 93-115. Artikel diambil dari almanhaj.or.id
- Sebagai perbandingan kunjungi situs berbahasa arab, khusus masalah Ahmadiyah: http://www.anti-ahmadiyya.org/site/modules.php?name=News&file=article&sid=123
- Yang ingin memiliki kitab rujukan aslinya, silahkan men-download-nya melalui link berikut: http://www.anti-ahmadiyya.org/site/modules.php?name=myBooks2&op=open&cat=10&book=454
0 komentar:
Posting Komentar