Termasuk penghalang ittiba’ yang terbesar adalah bersandar kepada nash-nash yang lemah dan palsu, menetapkan hukum dengannya dan melakukan penolakan dengannya terhadap kebenaran yang telah tetap dengan nash-nash yang shahih. Sama saja apakah hal itu disebabkan karena kebodohan dan ketidakmampuan mereka untuk membedakan antara nash-nash yang shahih, lemah dan palsu, atau karena tertipu dengan pernyataan sebagian ahli ilmu yang membolehkan amal dengan hadits yang lemah dalam masalah fadhailul a’mal (keutamaan-keutamaan amal). Mereka pura-pura lupa bahwa hal itu ada syarat-syaratnya. Yang terpenting adalah:
- Ketika beramal, tidak meyakini keabsahan hadits tersebut, agar tidak menisbatkan kepada NabiShallallahu’alaihi Wasallam sesuatu yang beliau katakan.
- Hendaknya kelemahan hadits itu tidak parah.
- Dan hukum yang ditetapkan oleh hadits lemah itu masuk di bawah dalil yang umum. Sehingga sesuatu yang tidak ada dalilnya atau yang tidak bisa ditetapkan hukumnya dari jalan manapun akan keluar dengan syarat ini (yakni tidak bisa diamalkan-pen).1
Inilah sekilas pandangan tentang hakikat ittiba’. Aku hadiahkan kepada kekasih-kekasihku di jalan Allah untuk memurnikan mutaba’ah yang hakiki kepada Nabi terpilih dan tercinta Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan agar nampak hakikat pengakuan cinta dari ahli bid’ah, para pengikut thariqah-thariqah dan selain mereka serta sejauh mana penyimpangan mereka dari jalan yang lurus.
إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ اْلإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Yang aku inginkan tidak lain hanyalah perbaikan selama aku mampu. Dan taufiq yang aku peroleh hanyalah dengan pertolongan Allah. Hanya kepadaNya aku bertawakal dan hanya kepadaNya aku kembali” (QS. Huud: 88).
[Selesai]
Catatan Kaki
1 Lihat Al-I’tisham karya Asy-Syathibi (1/228-231)
—
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar