Kamis, 26 September 2013

PENAKLUKAN AREOPOLIS

 Areopolis adalah sebuah kota di kawasan Balqa’ yang berposisi di sebelah timur Laut Mati, 15 kilometer ke arah utara dari kota Karak di negara Jordania sekarang yang terletak di atas plato dari rantai Pegunungan Moab setinggi 1300 meter dari permukaan Laut Mati yang secara bertahap meninggi dari arah utara ke selatan, yang di bagian timurnya berbatasan dengan padang pasir Arabia. Areopolis berasal dari kata Ares dan Polis yang berarti “kotanya Ares”. Sedangkan Ares sendiri merupakan nama dari dewa perang Yunani Kuno.

Areopolis memiliki iklim Mediterania yang khas. Udaranya kering dan memiliki curah hujan yang rendah. Di musim dingin, angin akan bertiup menghembuskan udara dingin yang sangat menusuk tulang. Dan terkadang pula salju turun di musim itu. Para ahli sejarah mencatat bahwa pada abad pertama sebelum masehi, kawasan ini adalah tanah Kerajaan Moab, sehingga kota ini terkenal pula dengan nama kota Rabbath-Moab. Di waktu selanjutnya, wilayah ini beberapa saat menjadi daerah kekuasaan Kekaisaran Parthia, kemudian Kerajaan Nabatea hingga akhirnya diokupasi oleh Kekaisaran Roma saat Kaisar Trajanus berkuasa. Kekaisaran Roma lalu mendirikan kerajaan semi otonom yang pengaturannya diserahkan kepada kabilah Ghassan.

Di kawasan kota kuno ini dahulu kala dibangun markas militer bagi skuadron tempur dan pengamanan wilayah Kekaisaran Roma. Dan di era Kekaisaran Roma Timur ini, Areopolis juga berperan sebagai pusat administrasi kekaisaran yang sangat penting. Hal ini tidaklah mengherankan karena Areopolis terletak pada jalur jalan raga Via Nova Trajana Bostra-Petra yang menghubungkan kota ini dengan Nova Trajana Bostra dan kota legendaris Petra.

Pena sejarawan timur dan barat membukukan catatan bahwa kota inilah yang pertama kali berhasil ditaklukkan pada ekspedisi para ksatria Islam ke Bilaad asy-Syaam. Prof. Kaegi menguatkan pendapat Sebeos (seorang tokoh Nashara dan sejarawan Armenia zaman pertengahan), al-Azdi, Ibnu al-Atsir rahimahullah dan at-Thabari rahimahullah seputar ekspedisi kaum muslimin ke kota bersejarah ini. Lalu bagaimanakah rangkuman kisahnya?

Suatu hari di musim dingin di batas tahun 633-634 M, nampaklah mentari mengangkasa tinggi di atas padang nan sepi dan gersang. Dengan perkasanya ia menyemburatkan sinarnya ke seantero jagat sesuai dengan titah Rabb-nya Yang Maha Mulia. Namun tak hanya bederang yang muncul darinya, tetapi kehangatan juga turut menyebar. Ya! Di gurun itu, kehangatan mentari begitu cepat terserap oleh lautan pasir yang membentang. Temperatur siang itu pun beranjak naik dari titik beku yang menusuk di malam hari menjadi lebih hangat dan bersahabat. Memang, di kala itu cuaca tidaklah seterik pada musim-musim panas karena sedang berada di musim dingin. Lautan pasir itu tidaklah membara, hanya memberikan kehangatan kepada para musafir yang melewatinya.

Walau mega-mega seolah enggan menampakkan dirinya dan enggan pula menutupi wajah si raja siang itu, suasana tetap nyaman dan teduh. Hembusan bayu yang sesekah menerpa, terkadang menaburkan butiran-butiran pasir lembut yang seolah menyapa para pelintas. Fatamorgana yang biasa tampak di musim panas dan mengaburkan serta membatasi penglihatan untuk dapat memandang ke arah yang lebih jauh lagi, kali ini tiada terlihat.

Nun di kejauhan kaki cakrawala, lapat-lapat terlihat bayangan hitam sedang bergerak mendekat. Kian lama bayangan itu menjadi kian jelas di pandangan mata. Itu adalah iring-iringan sebuah kafilah yang cukup besar yang sedang menjelajahi padang pasir. Kepulan debu beterbangan di sekeliling mereka, menghambur dari pasir halus yang terinjak langkah-langkah anggota kafilah itu. Sesekali terdengar sayup-sayup suara lenguh unta dan ringkik kuda yang kelelahan berpacu di gurun gersang itu.

Ternyata kafilah itu bukanlah kafilah biasa, bukan pula kafilah saudagar yang hendak berniaga. Masing-masing para lelakinya menyandang senjata di tangan, pinggang atau punggungnya. Tubuh-tubuh mereka tegap dan pandangan-pandangan mata mereka menyorot dengan tajam, menyiratkan ketegaran jiwa dan kekokohan tekad yang tidak lekang oleh perjalanan panjang dan dahaga. Semangat mereka tetap membumbung, terjulangkan oleh kehendak mulia dan suci: hidup mulia atau mati syahid!

Benarlah dugaan kita. Itu adalah kafilah perang para ksatria Islam yang sedang memacu langkahnya menuju bumi Kekaisaran Roma di Levant. Itulah pasukan Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu. Mereka ingin membebaskan bumi Levant dan penduduknya dari kesyirikan dan penghambaan terhadap makhluk, menuju penghambaan murni terhadap Allah Rabb al-Alamin.

Pasukan itu terus mengalir deras dan semakin mendekat ke daerah tujuannya. Jalan panjang sudah mereka tempuh dan berbagai tempat sudah mereka lalui. Wadi al-Qura sudah jauh ditinggalkan di belakang punggung mereka. Begitu pula perkampungan al-Hijr -yang dahulu kala menjadi tempat bermukim seorang nabi yang diberi mukjizat berupa seekor unta yang sangat indah yang keluar dari sebongkah batu-, sejak lama sudah tersinggahi. Pasukan itu terus berjalan dan melangkah hingga sampailah mereka ke wilayah Ziza.

Langkah maju tidaklah berhenti dan diselesaikan di sana. Wilayah itu pun segera dilalui oleh mereka. Kewaspadaan semakin ditingkatkan dan kesiagaan pun dipuncakkan oleh masing-masing anggota pasukan karena mereka sudah berada di ambang gerbang pertempuran menghadapi para ksatria Roma yang digdaya. Dari Ziza ini basis militer Roma tidaklah terlalu jauh jaraknya. Ya! Basis kemiliteran Roma itu terletak di Areopolis yang tak lama lagi akan dicapai oleh pasukan mujahidin pejuang Islam.

Memanglah tepat sekali jikalau kaum muslimin menargetkan Areopolis sebagai sasaran pertama pembukaan Islam. Adalah sangat berbahaya bagi para ksatria Islam itu untuk menembus lebih dalam ke wilayah utara kekuasaan Kekaisaran Roma di bumi Levant tanpa terlebih dahulu melumpuhkan kekuatan skuadron tempur Roma yang berada di wilayah selatan. Dan tidaklah pula memungkinkan bagi mereka menggelar operasi militer besar-besaran di wilayah Palaestina Prima yang terletak di sebelah utara Ngarai Arava dan Laut Mati sebelum menaklukkan benteng para ksatria Roma di Areopolis.

Memang benar, mobilisasi dan pengerahan pasukan dalam jumlah yang sangat besar tentunya membutuhkan persiapan yang matang dan waktu yang cukup. Sehingga hanya pasukan pilihan dan khususlah yang dapat segera diberangkatkan karena memang mereka selalu siap siaga dan diperlengkapi peralatan dan kendaraan tempur yang mencukupi. Pasukan Roma pimpinan Theodore itu pun berangkat dan terus mengalir ke arah tataran Balqa’ untuk menggempur pasukan Islam. Akhirnya, setelah melakukan perjalanan beberapa waktu maka sampailah mereka ke Areopolis. Di sana mereka memasang kewaspadaan yang penuh dan segera melakukan persiapan akhir untuk menghadapi pertempuran dengan kaum muslimin. Ya! Kedua kekuatan tempur itu kini telah terkumpul dan terkonsentrasi di Areopolis.

Tetapi apakah yang terjadi kemudian? Kaum muslimin menerapkan strategi perang khusus dalam penyerbuan ke Areopolis ini. Setelah menempatkan logistik tempur, perbekalan dan keluarga mereka di tempat yang aman dan terjaga, para ksatria itu segera melakukan koordinasi dan persiapan penyerbuan. Segala sesuatunya diatur dalam waktu yang sangat singkat. Segala gerakan dibuat seefektif dan secermat mungkin. Sungguh, lawan yang akan dihadapi kali ini bukanlah lawan yang sembarangan. Mereka adalah para ksatria Roma yang berasal dari berbagai pelosok negeri dan telah berpengalaman pula dalam kancah pertempuran di seantero Mediterania. Niat-niat kembali diluruskan hanya mengharap keridhaan-Nya. Ketawakalan kepada-Nya dihunjamkan dalam-dalam dihati.

Setelah segala sesuatunya dipandang siap, maka melesatlah Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu dan pasukannya menuju barisan Legiun Roma pimpinan Theodore. Tepat sekali dugaan kita! Kaum muslimin menjalankan manuver blitzkrieg dengan sangat berani. Para ksatria Islam itu melakukan serbuan kilat dalam menghantam musuh-musuhnya di Areopolis. Itulah yang dilaporkan oleh Sebeos, seorang pendeta sekaligus sejarawan Nashara.

Strategi yang sangat tepat dan jitu! Pasukan tempur Kekaisaran Roma tidaklah memerkirakan serangan yang secepat kilat itu dari kaum muslimin. Legiun Roma itu sangat terkaget dengan kondisi yang demikian itu. Mereka sempat panik beberapa saat. Namun dengan pengalaman tempurnya, mereka mulai dapat memberikan perlawanan yang cukup sengit kepada pasukan Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu itu.

Pertempuran pun berkecamuk dan berkobar dengan dahsyatnya. Pasukan Roma bertempur dengan penuh semangat demi prestise Kekaisaran Roma dan harga diri mereka. Tetapi semangat pasukan Islam ternyata lebih tinggi daripada pasukan Roma itu. Memang tidaklah hal tersebut aneh bagi kita. Bagaimana tidak? Para mujahidin itu mencintai gugur di medan perang dengan kecintaan yang lebih dahsyat daripada kecintaan musuh-musuhnya terhadap kehidupan. Oleh karenanya maka pasukan Islam itu maju ke depan dengan sepenuh hati. Mereka menyeruak di antara para ksatria Roma dan memorakporandakan barisan musuhnya itu.

Pasukan Islam terus merangsek maju. Mereka tanpa kenal lelah menghalau para ksaria Roma itu lebih jauh lagi. Pedang terus dihunus dan dihantamkan kepada musuh yang membandel. Dan akhirnya karena dahsyatnya badai serangan pasukan Abu Ubaidah, para ksatria Roma itu terpaksa tarik diri ke belakang. Kali ini Theodore dan pasukannya itu mengambil manuver mundur teratur ke utara, ke arah Arnon Valley. Setelah manuver mundur itu, tentu saja para ksatria Roma itu tidak akan berpangku tangan menghadapi invasi kaum muslimin ini. Pastilah mereka akan menyusun ulang dan memersiapkan kekuatan yang lebih dahsyat lagi.

Dengan mundurnya kekuatan tempur Roma ke utara, maka Areopolis menjadi lemah. Hanya penduduk sipil saja dan beberapa gelintir serdadu penjaga keamanan yang ada di sana. Kaum muslimin kemudian memutuskan untuk mengepung benteng kota. Dengan segala kesantunan kaum muslimin bernegosiasi dengan penduduk kota itu. Akhirnya disepakatilah suatu keputusan, dan dibuatlah perjanjian damai di antara mereka. Dan dilaporkan oleh al-Azdi, Ibnu al-Atsir dan sejarawan lainnya bahwa kota ini adalah kota di wilayah bilaad asy-Syaam yang pertamakali melakukan perjanjian damai dengan kaum muslimin.

Ini adalah kemenangan yang gemilang bagi Abu Ubaidah dan pasukannya. Untuk sementara waktu kaum muslimin dapat bernafas lega dengan keberhasilan pembukaan ini. Mereka bahagia dan bersyukur atasnya, sebab tak lain itu adalah karena kemudahan dan pertolongan dari Allah semata. Walhamdulillaah.

Sumber: Dikutip dari buku Pertarungan di Damaskus (Versus Exercitus Romanorum II), Abu Royhan Hudzaifah, Penerbit as Salam Group.

Artikel: www.kisahislam.net

0 komentar:

Posting Komentar