oleh Ustadz Abu Yahya Badru Salam, Lc
Tawassul diambil dari wasilah yang artinya menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dia dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Dan tawassul dibagi oleh para ulama menjadi dua macam:
Tawassul yang syar’iy yaitu tawassul yang diidzinkan oleh syari’at dan ia mempunyai beberapa macam:
Pertama: Tawassul dengan melalui asmaul husna.
Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (Al A’raaf: 180).
Kedua: Tawassul dengan melalui amal shalih.
Berdasarkan hadits yang mengkisahkan tiga orang yang masuk ke dalam goa, lalu jatuh batu besar dari gunung dan menutup mulut goa tersebut, lalu masing-masing mereka bertawassul dengan menyebutkan amalan shalih yang mereka pernah lakukan.
Ketiga: Tawassul dengan melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir.
Berdasarkan hadits orang buta yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minta dido’akan agar disembuhkan matanya.
Dari Utsman bin Hanif bahwa ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika kamu mau aku akan berdo’a dan jika kamu mau bersabar itu lebih baik”. Ia berkata: “Do’akanlah”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya berwudlu dan membaguskan wudlunya dan berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar hajatku dipenuhi, ya Allah berilah syafa’at untuknya terhadapku”. Maka penglihatannyapun kembali seperti semula”. (HR Ibnu Majah dan lainnya).
>>>Tawassul yang diharamkan.
Tawassul yang diharamkan ada dua macam, yaitu tawassul yang syirik dan tawassul yang bid’ah.
Tawassul yang syirik adalah menjadikan Nabi atau orang shalih yang telah meninggal sebagai perantara dalam berdo’a kepada Allah, dengan mengatakan misalnya: “Ya Allah, dengan melalui Syaikh fulan (yang telah meninggal), kabulkanlah permintaanku”. Ini adalah kesyirikan yang dilakukan oleh kaum musyrikin arab di zaman di utusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (Az Zumar: 3).
Imam Qatadah rahimahullah berkata: “Dahulu (sebagian orang-orang kafir quraisy) apabila dikatakan kepada mereka: “siapa Rabb dan pencipta kamu? Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit?” Mereka menjawab: “Allah”. Dikatakan kepada mereka: “Lalu apa makna ibadahmu kepada patung-patung?” Mereka menjawab: “Agar mereka (patung-patung yang diberi nama dengan nama-nama orang shalih itu) mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, dan memberikan syafa’at kepada kami disisiNya”.[1]
Dalam ayat ini kaum musyrikin ketika menyembah Latta, hubal, dan patung-patung lainnya yang diberi nama orang-orang shalih mengatakan bahwa tujuan mereka bukanlah menyembah patung-patung tersebut bahkan mereka meyakini bahwa patung-patung tersebut tidak dapat menciptakan apa-apa, namun tujuan mereka adalah agar orang-orang shalih yang telah meninggal itu dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Ini tidak ada bedanya dengan para penyembah kuburan di zaman ini, mereka datang kepada kuburan-kuburan para wali dan berkata: “Kami tidak menyembah kuburan, namun kami ingin agar do’a kami di sampaikan kepada Allah Ta’ala dan agar orang shalih yang telah mati itu memberikan syafaat kepada kami di sisi Allah”. Padahal kaum musyrikin arabpun sama mengatakan demikian bahwa tujuan mereka bukan menyembah patung, tapi agar dapat menyampaikan doa-doa mereka kepada Allah dan memberikan syafaat kepada mereka di sisiNya.
Adapun tawassul yang bid’ah adalah bertawassul dengan melalui hak dan kedudukan Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam, karena perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh para shahabat, tidak pula para tabi’in dan tabi’uttabi’in.
>>>Menjawab syubhat.
Sebagian kaum muslimin ada yang membela tawassul yang syirik dan bid’ah ini, bahkan mengatakan bahwa tawassul melalui orang shalih yang telah mati bukan syirik, dan menuduh bahwa yang mengatakan syirik adalah wahabi yang menyesatkan, dan mereka mengemukakan dalil yang banyak yang seakan-akan membolehkan tawassul melalui mayat, dan kita akan menyebutkan dalil-dalil mereka satu persatu diringi dengan jawaban terhadap dalil tersebut satu persatu:
>>>Syubhat 1. Firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan (al wasilah) kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”. (Al Israa: 57).
mereka berkata: “Ayat ini menyebutkan bahwa mereka mencari al wasilah (perantara) kepada Allah, ini menunjukkan bolehnya bertawassul melalui mayat di kuburan”.
>>>Jawaban:
Pertama: Memahami ayat ini untuk membolehkan tawassul dengan melalui para Nabi dan orang-orang shalih adalah pemahaman yang sangat rusak, karena bertentangan dengan penafsiran para ahli tafsir dalam kitab-kitab tafsir, bahwa maksud ayat ini adalah bahwa sesembahan-sesembahan yang disembah selain Allah berupa Malaikat, Jinn, Nabi Isa dan ibunya serta Nabi Uzair dan sebagainya justru mencari wasilah yaitu qurbah (taqarrub) untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Kedua: Bila kita melihat ayat sebelumnya, akan tampak jelas maknanya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
56. Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya.”
57. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (Al Israa: 56-57).
Bila kita perhatikan ayat tersebut semakin jelas bahwa mereka yang mencari al wasilah kepada Allah adalah orang-orang yang diseru selain Allah berupa malaikat, jinn, para Nabi dan sebagainya. Mereka sendiri berusaha mendekatkan diri kepada Allah dan takut dari adzabNya, maka bagaimana kamu jadikan mereka sesembahan selain Allah??
Bahkan redaksi ayat ini menunjukkan syiriknya tawassul dengan melalui para Nabi dan orang shalih yang telah meninggal, dari dua sisi:
Kaum musyrikin meyakini bahwa para malaikat, jinn, para nabi dan orang-orang shalih tidak dapat menciptakan apapun tidak pula memberikan rizki, tidak bisa memberi manfaat dan mudlarat, namun mereka menjadikannya sebagai wasilah yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah sedekat-dekatnya dan berharap syafaat darinya sebagaimana telah kita jelaskan, namun Allah menganggap mereka musyrik karena telah menjadikan mereka tandingan selain Allah.
Bahwa malaikat, jinn, para nabi dan sebagainya yang diseru selain Allah dan dijadikan sebagai wasilah kepada Allah, mereka sendiri berusaha mendekatkan diri kepada Allah, berharap rahmatNya dan takut dari adzabNya. Artinya mereka tidak mampu untuk memberikan manfaat untuk dirinya atau menolak mudlarat dari dirinya, mereka pun takut dari adzab Allah dan tidak mampu menolong siapapun dari adzabNya kecuali dengan idzin Allah. Bila untuk dirinya sendiri tidak mampu bagaimana untuk orang lain?! Maka orang yang bertawassul kepada dzat para Nabi atau orang shalih yang telah mati, telah menjadikannya tandingan selain Allah.
Ketiga: Bahwa yang dimaksud dengan al wasilah dalam ayat ini adalah qurbah (ketaatan) sebagaimana yang ditafsirkan oleh ibnu Abbas, Qatadah dan Mujahid[2].
Keempat: Makna al wasilah dalam ayat tidak tidak ada bedanya dengan makna al wasilah dalam surat Al Maidah ayat 35 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (al wasilah), dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Imam ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan makna Al Wasilah:
قال سفيان الثوري، حدثنا أبي، عن طلحة، عن عطاء، عن ابن عباس: أي القربة. وكذا قال مجاهد, وعطاء, وأبو وائل، والحسن، وقتادة، وعبد الله بن كثير، والسدي، وابن زيد. وقال قتادة: أي تقربوا إليه بطاعته والعمل بما يرضيه.. وهذا الذي قاله هؤلاء الأئمة لا خلاف بين المفسرين فيه.
Berkata Sufyan Ats Tsauri: haddatsana ayahku dari Thalhah dari ‘Atha dari ibnu Abbas: “Maknanya adalah al qurbah (ketaatan). Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha, Abu Wail, Al Hasan, Qatadah, Abdullah bin Katsir, As Suddi dan ibnu Zaid. Qatadah berkata: “Artinya bertaqarrublah kepadanya dengan melalui ketaatan kepadaNya dan mengamalkan apa yang diridlaiNya”. Dan yang dikatakan oleh para imam ini tidak ada perselisihan diantara mufassirin (ahli tafsir)”.[3]
Jadi, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bolehnya bertawassul kepada para nabi atau orang shalih yang telah meninggal, namun menunjukkan kepada tawassul dengan melalui amal shalih dan ketaatan.
>>>Syubhat 2: Firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (An Nisaa: 64).
Mereka berkata: “Ayat ini bersifat umum, baik datang kepada Rasulullah ketika masih hidup maupun setelah matinya”.
>>>Jawab:
Pertama: Ayat ini hanya menunjukkan memohon kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar memintakan ampun kepada Allah ketika beliau masih hidup, jadi ini adalah tawassul dengan melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir, dan ini boleh berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Maka berdalil untuk membolehkan bertawassul kepada Nabi setelah matinya dengan ayat ini adalah termasuk qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang hidup dengan orang yang telah mati, dan ini batil. karena perbedaan antara orang yang hidup dengan orang yang telah mati ditetapkan oleh firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar”. (Fathir: 22).
Dan diantara syarat sah qiyas adalah persamaan illat antara cabang dan pokok, sedangkan di sini illatnya berbeda, yaitu datang kepada nabi setelah meninggal diqiyaskan kepada datang kepada nabi ketika masih hidup, dan qiyas yang berbeda illatnya adalah batil dengan kesepakatan ahli ushul.
Kedua: Pemahaman ini tidak pernah difahami oleh para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada satupun para shahabat atau tabi’in atau tabi’uttabi’in yang datang kepada kuburan Nabi dan berkata: “Wahai Rasuullah, aku telah melakukan dosa begini dan begitu, maka mohonkanlah ampunan kepada Allah untukku”. Kalaulah pemahaman itu benar, tentu mereka yang terlebih dahulu memahaminya dan melakukannya.
>>>Syubhat 3. Ayat-ayat dan hadits yang menyebutkan bahwa para Nabi dan orang-orang shalih itu hidup dalam kuburnya dan menjawab salam orang yang memberi salam kepadanya, seperti hadits Abu hurairah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَىَّ إِلاَّ رَدَّ اللَّهُ عَلَىَّ رُوحِى حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ».
“Sesunnguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada seorangpun yang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah akan mengembalikan ruhku sampai aku jawab salamnya”. (HR Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani).
Dan juga firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki”. (Ali Imran: 169).
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ يُصَلُّونَ
“Para Nabi hidup dikuburan mereka shalat”. (HR Al Bazzar).
Mereka berkata: “Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa Nabi hidup di dalam kuburnya seperti kehidupan di dunia, sehingga boleh bertawassul kepadanya”.
>>>Jawab:
Pertama: Kehidupan mereka di alam kubur adalah kehidupan alam barzakh yang tidak sama dengan kehidupan dunia.
Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah ketika berbicara tentang definisi shahabat berkata: “Adapun orang yang melihat Nabi setelah wafatnya dan sebelum dikuburkan, yang rajih ia bukan shahabat, sebab bila ia dianggap shahabat maka orang yang melihat jasad Rasulullah di dalam kuburnya walaupun di zaman ini tentu termasuk shahabat.. dan hujjah (alasan) orang yang berpendapat bahwa orang yang melihat Nabi setelah wafat sebelum dikuburkan dianggap sebagai shahabat adalah bahwa Nabi masih hidup terus, padahal kehidupan beliau (setelah mati) adalah kehidupan ukhrawiyah yang tidak berhubungan dengan hukum-hukum dunia, karena para syuhadapun hidup, namun aturan-aturan yang berlaku untuk mereka setelah terbunuh sama dengan aturan-aturan untuk mayat-mayat lainnya”.[4]
Dan kehidupan alam barzakh adalah kehidupan alam ghaib yang tidak bisa diqiyaskan dengan kehidupan dunia, dan kalaulah hidup beliau di kuburnya sama dengan kehidupan dunia, tentu orang yang melihat jasadnya di zaman ini dianggap sebagai shahabat dan ini batil, juga tentunya beliau akan makan, minum, berpakaian, menikah dan sebagainya.
Kedua: Hadits yang menyebutkan bahwa Nabi dan orang-orang shalih dapat menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepadanya hanya menunjukkan bahwa roh Nabi dikembalikan ke jasadnya hanya untuk menjawab salam, dan tidak menunjukkan bahwa ruhnya terus menerus berada di jasadnya di setiap waktu.
Ketiga: Kalaulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hidup di kuburnya seperti kehidupan beliau di dunia sehingga boleh bertawassul kepadanya, tentu para shahabat, para tabi’in dan tabi’uttabi’in yang pertama kali mendatangi kuburan beliau untuk menyelesaikan berbagai macam konflik dan perselisihan yang terjadi di zaman mereka, namun kita tidak pernah mendapat ada seorang shahabat yang melakukannya, tidak pula tabi’in dan tabi’uttabi’in, kalaulah itu baik tentu mereka yang lebih dahulu melakukannya, karena mereka adalah generasi terbaik yang paling memahami agama ini dengan persaksian dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
[1] Al Jaami’ li ahkaamil qur’an 15/233.
[2] Dirujuk tafsir Ath thabari
[3] Tafsir ibnu Katsir 3/75 tahqiq Hani Al haj.
[4] Fathul bari 7/4.
***
>>>Syubhat 4. Hadits yang menunjukkan bahwa orang yang telah mati bisa memberikan manfaat kepada orang yang masih hidup, dari ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
..وَفَاتِي خَيْرٌ لَكُمُ ، تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَمَا كَانَ مِنْ حَسَنٍ حَمِدْتُ اللَّهَ ، وَمَا كَانَ مِنْ سَيِّءٍ اسْتَغْفَرْتُ اللَّهَ لَكُمْ.
…wafatku adalah kebaikan untuk kamu, amal-amalmu ditampakkan kepadaku, bila baik maka aku memuji Allah dan bila buruk, aku akan mohonkan ampunan untukmu”. (HR Al Bazzaar).
Dan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى أَقَارِبِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ الأَمْوَاتِ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ، قَالُوا: اللَّهُمَّ لاَ تُمِتْهُمْ حَتَّى تَهْدِيَهُمْ كَمَا هَدَيْتَنَا.
“Sesungguhnya amal-amalmu akan ditampakkan kepada karib kerabat dan keluargamu (yang telah meninggal), jika baik mereka bergembira, dan jika buruk mereka berkata: “Ya Allah jangan Engkau matikan dia sampai Engkau memberikan hidayah kepadanya sebagaimana Engkau memberi kami hidayah”. (HR Ahmad).
Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa orang yang masih hidup dapat mengambil manfaat dari do’a orang yang telah mati, bila keadaannya demikian maka diperbolehkan kita bertawassul kepada mereka”.
>>>Jawab.
Pertama: Hadits-hadits tersebut kalau ternyata shahih maka tidak bisa dijadikan dalil bolehnya bertawassul kepada nabi dan orang-orang shalih, dari beberapa sisi:
Bahwa para shahabat, tabi’in, dan tab’iuttabi’in serta para ulama setelahnya tidak ada yang memahami demikian, karena apabila pemahaman tersebut benar tentu mereka akan melakukannya, dan akan dinukil kepada kita walaupun satu riwayat.
Hadits tersebut hanya mengabarkan apa yang dilakukan oleh mereka (orang-orang yang mati tersebut) tentunya dengan perintah dari Allah, seperti halnya Allah mengabarkan bahwa para malaikat mendo’akan kaum mukminin, seperti dalam firman Allah:
tûïÏ%©!$# tbqè=ÏJøts z¸öyèø9$# ô`tBur ¼çms9öqym tbqßsÎm7|¡ç ÏôJpt¿2 öNÍkÍh5u tbqãZÏB÷sãur ¾ÏmÎ/ tbrãÏÿøótGó¡our tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä $uZ/u |M÷èÅur ¨@à2 &äóÓx« ZpyJôm§ $VJù=Ïãur öÏÿøî$$sù tûïÏ%©#Ï9 (#qç/$s? (#qãèt7¨?$#ur y7n=Î6y öNÎgÏ%ur z>#xtã ËLìÅspgø:$# ÇÐÈ
“(malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala”. (Al mukmin: 7).
Para Malaikat pemikul ‘Arasy itu memohonkan ampunan untuk kaum mukminin yang bertaubat, dan keadaan semacam tidak butuh untuk diminta, karena baik diminta maupun tidak diminta mereka tetap akan mendo’akan sehingga tidak perlu dijadikan wasilah.
Yang ada dilangit dan di bumipun sampai ikan yang ada di laut dan semut yang ada di sarangnya dapat memohonkan ampunan untuk orang yang beriman, seperti disebutkan dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ
“Sesungguhnya orang yang berilmu itu dimohonkan ampunan untuknya oleh yang ada di langit dan di bumi sampai ikan yang ada di dalam air”. (HR Abu daud, At Tirmidzi dan lainnya).
Jika hadits: “..wafatku adalah kebaikan untuk kamu.. dst”, dan hadits setelahnya, bisa dijadikan dalil bolehnya bertawassul kepada mayat karena mereka memohonkan ampunan untuk orang yang hidup, maka konsekwensinya adalah boleh bertawassul kepada malaikat, pohon-pohon, batu, dan ikan-ikan yang ada di laut, karena merekapun dapat memohonkan ampunan untuk kaum mukminin, dan ini jelas kebatilannya.
Kedua: Ternyata dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah, penjelasannya sebagai berikut:
Adapun hadits yang pertama adalah hadits yang syadz, diriwayatkan oleh Al Bazzaar dalam musnadnya: Haddatsana Yusuf bin Musa haddatsana Abdul majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad dari Sufyan dari Abdullah bin Saaib dari Zaadzan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَلائِكَةً سَيَّاحِينَ يُبَلِّغُونِي عَنْ أُمَّتِي السَّلامَ قَالَ : وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : حَيَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُحَدِّثُونَ وَنُحَدِّثُ لَكُمْ ، وَوَفَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ ، فَمَا رَأَيْتُ مِنَ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللَّهَ عَلَيْهِ ، وَمَا رَأَيْتُ مِنَ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ اللَّهَ لَكُمْ.
“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bersiyahah (bertebaran di bumi) yang menyampaikan kepadaku salam dari umatku”. Ia berkata: “Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hidupku adalah baik untuk kamu, kamu berbicara dan kamipun berbicara kepada kamu, dan wafatku adalah kebaikan untuk kamu, amal-amalmu ditampakkan kepadaku, bila baik maka aku memuji Allah dan bila buruk, aku akan mohonkan ampunan untukmu”.
Lafadz: “Hidupku adalah baik untuk kamu…. sampai akhirnya, hanya diriwayatkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawwad. Ia diselisihi oleh para perawi yang sangat tsiqat yang meriwayatkannya tanpa lafadz tersebut mereka adalah:
Fudlail bin ‘Iyadl, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (10/220).
Muhammad bin Yusuf Al Firyaabi, dikeluarkan oleh Ad darimi dalam sunannya (2/409).
Mu’adz bin Mu’adz dikeluarkan oleh An nasai dalam sunannya (3/43).
Al Wakie’ bin Al Jarraah Ar Ruaasi, dikeluarkan oleh An Nasai juga.
Abdurrazzaaq bin Hammaam Ash Shan’aani, dikeluarkan oleh An Nasai juga.
Abu Nu’aim Al Fadll bin Dukain, dikeluarkan oleh Al Baghawi dalam Syarhussunnah (1/496).
Abdullah bin Al Mubarak dalam musnadnya (1/53).
Yahya bin Sa’id Al Qathaan, dikeluarkan oleh Al Bazzaar dalam musnadnya (5/329).
Dan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad ini dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam taqribnya: “Shaduuq yukhti”. Artinya perawi yang shaduuq dan masih suka salah dalam periwayatannya, dan di sini ia menyelisihi delapan perawi yang sangat tsiqat yang meriwayatkan hadits tersebut tanpa tambahan lafadz tersebut, sehingga haditsnya menjadi syadz dan hadits syadz adalah salah satu macam hadits yang lemah atau bahkan sangat lemah.
Ya, lafadz tersebut diriwayatkan dari jalan lain secara mursal dari Bakr bin Abdillah, dikeluarkan oleh ibnu Sa’ad dalam thabaqatnya 2/194, dari jalan Hammad bin Zaid dari Ghalib dari Bakr bin Abdillah dari Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini adalah sanad yang shahih sampai Bakr bin Abdillah, namun Bakr ini seorang tabi’in sehingga periwayatannya mursal, dan dikeluarkan oleh Al Harits dalam musnadnya 4/23 dari jalan Al Hasan bin Qutaibah dari Jisr bin Farqad dari bakr bin Abdillah, dan Jisr bin Farqad ini perawi yang disepakati kedla’ifannya sebagaimana dikatakan oleh Al Bushiri dalam ithaful khairah 7/47. Dan hadits mursal adalah salah satu hadits yang lemah.
Adapun hadits yang kedua yaitu hadits: “Sesungguhnya amal-amalmu akan ditampakkan kepada karib kerabat dan keluargamu (yang telah meninggal), jika baik mereka bergembira, dan jika buruk mereka berkata: “Ya Allah jangan Engkau matikan dia sampai Engkau memberikan hidayah kepadanya sebagaimana Engkau memberi kami hidayah”.
Hadits ini dikeluarkan olh imam Ahmad dalam musnadnya no 12706: haddatsana Abdurrazzaq haddatsana Sufyan dari orang yang mendengar Anas, dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda… alhadits.
Bila kita perhatikan sanad hadits ini, terdapat di dalamnya perawi yang tidak disebut namanya (mubham), yaitu orang yang mendengar dari Anas, dan ini adalah cacat yang membuat hadits ini lemah, karena perawi yang mubham itu tidak diketahui siapa ia (majhul).
Namun hadits ini mempunyai jalan lain yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir no 3887, dan juga dalam musnad Asy Syamiyiin no 1544, dari jalan Maslamah bin Ali dari Zaid bin Waqid dari Makhul dari Abdurrahman bin Salaamah dari Abu Rahm As Samaa’i dari Abu Ayyub Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sanad ini sangat lemah karena Maslamah bin Ali adalah perawi yang sangat lemah, berikut perkataan ulama tentang dia: Al Hafidz ibnu Hajar berkata:
“Ibnu Ma’in dan Duhaim berkata: “Laisa bisyai”. Al Bukhari dan Abu Zur’ah berkata: “Mungkarul hadits”. Ibnu Hibban berkata: “Dla’if hadits mungkar hadits jangan disibukkan dengannya, ia berada pada batasan at tark (ditinggalkan/matruk)”. Al Jauzaqani berkata: “Dla’if haditsnya matruk”. Ya’qub bin Sufyan berkata: “Tidak layak bagi para ahli ilmu untuk menyibukkan diri dengannya”. An Nasai, Ad Daraquthni, dan Al Barqaani berkata: “Matruk haditsnya”. An Nasai juga berkata: “Laisa bi tsiqah”. Al hakim Abu Ahmad berkata: “Dzahibul hadits”. Ibnu Hibban berkata: “Ia suka membolak balikkan sanad dan meriwayatkan dari para perawi tsiqat apa-apa yang tidak mereka miliki dan bukan dari hadits mereka, tatkala telah banyak melakukannya maka batal berhujjah dengannya”. (Tahdzibuttahdzib 10/133).
Dan Al Hakim Abu Abdillah berkata: “Ia meriwayatkan dari ibnu juraij, Az Zubaidi, dan Al Auza’i hadits-hadits yang mungkar bahkan maudlu’ (palsu)”. (Al madkhal (1/214) Adz Dzahabi dalam kitab Al kasyif berkata: “Tarakuuh”. Artinya matruk, dan Al Hafidz ibnu Hajar dalam taqribnya berkata: ‘Matruuk”. Dan matruk adalah derajat yang sangat lemah sehingga tidak dapat menguatkan sanad di atas, sehingga status hadits ini lemah.
Apabila kita telah mengetahui kelemahan dua hadits tersebut, tidak boleh kita berhujjah dengannya, karena para ulama semuanya bersepakat melarang berhujjah dengan hadits dla’if dalam masalah ‘aqidah.
Syubhat 5. Hadits Abu Sa’id yang diriwayatkan oleh ibnu Majah:
مَنْ قَالَ حِينَ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ : اللهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ ، وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ، أَنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشِرًا ، وَلاَ بَطَرًا ، وَلاَ رِيَاءً ، وَلاَ سُمْعَةً ، خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، وَكَّلَ الله بِهِ سَبْعِينَ أَلْفَ مَلَكٍ يَسْتَغْفِرُونَ لَهُ ، وَأَقْبَلَ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ حَتَّى يَفْرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ.
“Barang siapa yang mengucapkan ketika keluar menuju shalat: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan melalui hak orang-orang yang meminta atasMu, dan melalui hak perjalanan kakiku ini, sesungguhnya aku keluar bukan karena sombong dan congkak, tidak juga karena riya dan sum’ah. Aku keluar karena takut dari kemurkaanMu, dan mengharapkan wajahMu. Aku memohon kepadaMu agar melindungiku dari api Neraka, dan mengampuniku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau”. Allah akan mewakilkan tujuh puluh ribu malaikat yang memohonkan ampunan untuknya, dan menghadapkan wajahNya kepadanya sampai ia ia selesai dari shalatnya. (HR Ibnu Majah).
>>>Jawab.
Hadits ini dikeluarkan oleh ibnu Majah no 778, Ahmad dalam musnadnya no 11172, ibnul Ja’d dalam musnadnya no 2031, ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya 10/211, dan lainnya dari jalan Fudlail bin Marzuq dari ‘Athiyyah Al ‘Aufiy dari Abu Sa’id Al Khudri.
Bila kita perhatikan sanad hadits ini, tampak kelemahannya dari beberapa sisi:
‘Athiyyah Al ‘Aufi adalah perawi yang dla’if, Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Husyaim mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah, Muslim bin Al Hajjaj berkata: Berkata Ahmad ketika disebutkan ‘Athiyyah Al ‘Aufi: “Dla’if haditsnya”. Ibnu Ma’in berkata: “Shalih”. Abu Zur’ah berkata: “Layyin”. Abu Hatim berkata: “Dla’if masih ditulis haditsnya”. An Nasaai berkata: ‘Dla’if”. Ibnu Adiy berkata: “Ia walaupun dla’if, tetapi masih di tulis haditsnya”.[1] Adz Dzahabi dalam Al Kasyif berkata: “Dla’afuuhu (mereka mendla’ifkannya)”. Dan Al Hafidz ibnu hajar dalam Taqribnya berkata: “Shaduuq yukhthi katsiran (banyak berbuat kesalahan) syi’ah dan mudallis”. Banyak berbuat kesalahan dalam periwayatan adalah kelemahan pada perawi, adapun perkataan ibnu Ma’in: “Shalih” tidak menunjukkan perawi tersebut tsiqah, namun hanya menunjukkan keshalihan dalam agamanya.
Athiyah Al ‘Aufiyy meriwayatkan dari Al Kalbi seorang perawi yang matruk, dan memberikan kepadanya kunyah Abu Sa’id, sehingga mereka mengira bahwa ia adalah Abu Sa’id Al Khudri. Ibnu Hibban dalam Al Majruhiin (2/176) berkata: “Ia mendengar dari Abu Sa’id Al Khudri beberapa hadits, ketika telah wafat, ia duduk di majlis Al Kalbi dan menghadiri kisah-kisahnya, apabila Al Kalbi berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda”. Ia segera menghafalnya, dan memberikan kunyah kepada Al Kalbi: Abu Sa’id, apabila dikatakan: “Siapa yang menceritakannya kepadamu?” ia berkata: “Abu Sa’id”. Sehingga mereka mengira bahwa yang dimaksud olenya adalah Abu Sa’id Al Khudri, padahal maksudnya adalah Al Kalbi, maka tidak halal berhujjah dengannya tidak juga menulis haditsnya kecuali untuk ta’ajjub saja”. Dan ini semakin menunjukkan kelemahannya, karena dalam sanad di atas, ia meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, boleh jadi perawi darinya mengira bahwa ia adalah Abu Sa’id Al khudri padahal sebenarnya adalah Abu Sa’id Al Kalbi.
Namun ibnus Sunni meriwayatkan dalam ‘amalul yaum wal lailah hadits lain yang semakna, ia berkata: “haddatsana ibnu Manii’ haddatsana Al Hasan bin ‘Arafah haddatsana Ali bin Tsabit Al Jazari, dari Al Waazi’ bin Naafi’ Al ‘Uqaili dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari jabir bin Abdillah dari Bilaal bin Rabaah muadzin Rasulullah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila keluar menuju shalat berdo’a:
بسم الله ، آمنت بالله ، توكلت على الله ، لا حول ولا قوة إلا بالله ، اللهم بحق السائلين عليك ، وبحق مخرجي هذا ، فإني لم أخرجه أشرا ولا بطرا ولا رياء ولا سمعة ، خرجت ابتغاء مرضاتك ، واتقاء سخطك ، أسألك أن تعيذني من النار ، وتدخلني الجنة
Dengan nama Allah, aku beriman kepada Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya melainkan dengan idzin Allah, Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan melalui hak orang-orang yang meminta atasMu, dan melalui hak keluarku ini, sesungguhnya aku keluar bukan karena sombong dan congkak, tidak juga karena riya dan sum’ah. Aku keluar karena takut dari kemurkaanMu, dan mengharapkan wajahMu. Aku memohon kepadaMu agar melindungiku dari api Neraka dan memasukkanku ke dalam surga”.
Tetapi di dalam sanadnya terdapat perawi yang sangat lemah, yaitu Al Wazi’ bin Nafi’ Al ‘Uqaili. Berikut perkataan ulama tentang perawi ini:
Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hanbal berkata: “Laisa bi tsiqah”. Al Bukhari berkata: “mungkarul hadits”. An Nasai berkata: “Matruk”.[2] Dan pernyataan: “Laisa bi tsiqah”. Menunjukkan kepada jarh (celaan) yang berat, dan Al Bukhari bila mengatakan: “Mungkarul hadits”. Maka tidak halal meriwayatkan darinya, dan perkataan An Nasai: “Matruk”, menunjukkan perawi ini sangat lemah haditsnya, bila demikian keadaannya maka tidak dapat menguatkan hadits tersebut. Dan berhujjah dengan hadits lemah dalam masalah aqidah adalah haram dengan ijma’ para ulama.
>>>Syubhat 6. Hadits Umar bin Al Khathab yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Dalaail An Nubuwwah, bahwa rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا رب أسألك بحق محمد إلا ما غفرت لي فقال الله تعالى كيف عرفت محمداً ولم أخلقه قال : يا رب إنك لما خلقتني رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوباً : لا إله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله تعالى : صدقت يا آدم أنه لأحب الخلق إلي وإذا سألتني بحقه فقد غفرت لك ولولا محمد ما خلقتك ] رواه الحاكم وصححه .
Ketika Adam telah melakukan dosa, ia berkata: “Ya Rabb, aku memohon kepadaMu dengan melalui hak Muhammad agar Engkau ampuni dosaku”. Allah berfirman kepadanya: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad padahal Aku belum menciptakannya?” Adam berkata: “Ya Rabb, sesungguhnya ketika Engkau telah menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat pada tiang Arasy tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah, maka aku mengetahui bahwa nama yang Engkau sebutkan itu adalah makhluk yang paling Engkau cintai”. Allah berfirman: “Kamu benar wahai Adam, sesungguhnya ia adalah makhluk yang paling Aku cintai, apabila kamu meminta kepadaku dengan melalui haknya, Aku akan mengampunimu, dan kalau bukan karena Muhammad aku tidak akan menciptakanmu”. (HR Al Hakim).
>>>Jawab:
Hadits ini dikeluarkan oleh Al hakim dalam Al Mustadrak (2/615) dari jalan Abul harits Abdullah bin Muslim Al Fihri haddatsana Isma’il bin Maslamah telah mengabarkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Al Khathab secara marfu’. Kemudian Al Hakim setelah itu berkata: “Sanadnya shahih, ia adalah hadits pertama yang aku sebutkan untuk Abdurahman bin Zaid bin Aslam dalam kitab ini”.
Namun Adz Dzahabi mengomentari: “Justru hadits ini maudlu’ (palsu), dan Abdurrahman waahin (sangat lemah), dan Abdullah bin Muslim Al Fihri tidak aku ketahui siapa dia”.
Al Hafidz ibnu Hajar berkata dalam lisanul Mizan (4/358): “Abdullah bin Muslim Abul Harits Al Fihri, meriwayatkan dari Isma’il bin Maslamah bin Qa’nab dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sebuah kabar yang batil, disebutkan di dalamnya: “..dan kalau bukan karena Muhammad aku tidak akan menciptakanmu”. Dan dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Dalaail An Nubuwwah”.
Dan Ath Thabrani meriwayatkan dalam Al Mu’jamul Ausath (6/313) dari jalan Abdullah bin Isma’il Al Madani dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Al Khathab. Namun jalan ini masih ada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang disepakati kedla’ifannya oleh para ulama, ibnul Jauzi berkata: “Para ulama telah bersepakat akan kelemahannya”.[3]
Dan Al Hakim yang mengatakan shahih sanadnya, seakan beliau lupa kepada perkataannya sendiri dalam kitab Al madkhal: “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits maudlu’ (palsu), tidak tersembunyi bagi ahli hadits bahwa yang seharusnya dihujat adalah dia”.[4] Dan perkataan Al Hakim ini dikatakan juga oleh Abu Nu’aim.[5]
Dan hadits ini dinyatakan maudlu’ oleh Adz Dzahabi, dan dinyatakan batil oleh Al Hafidz ibnu Hajar sebagaimana telah kita sebutkan.
>>> Syubhat 7: Kisah Abu Ja’far Al Manshur yang bertanya kepada imam Malik:
يا أيا عبد الله أأستقبل القبلة وأدعو أم استقبل رسول الله ( فقال : ولم تصرف وجهك عنه وهو وسيلتك ووسيلة أبيك آدم عليه السلام إلى يوم القيامة ، بل استقبله واستشفع به .
“Wahai Abu Abdillah, apakah aku menghadap kiblat ketika berdo’a atau menghadap Rasulullah?” beliau menjawab: “Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari Rasulullah? Padahal ia adalah wasilahmu dan wasilah ayahmu Adam ‘alaihissalam sampai hari kiamat. Menghadaplah kepadanya dan mintalah syafa’atnya”.
>>>Jawab:
Pertama: Kisah ini berasal dari periwayatan Muhammad bin Humaid Ar Raazi, ia dianggap tsiqah oleh sebagian ulama, dan di anggap lemah bahkan pendusta oleh ulama lain.
Adapun yang menganggapnya Tsiqah adalah Yahya bin Ma’in, dan imam Ahmad memujinya, demikian pula Adz Dzuhli.
Adapun yang mencelanya adalah jumhur (mayoritas) ulama, bahkan banyak yang menganggapnya berdusta seperti Abu hatim, An nasai, dan Abu Zur’ah, bahkan ibnu Kharrasy sampai bersumpah dengan nama Allah bahwa ia adalah pendusta. Shalih bin muhammad Al Asadi berkata: “Tidak pernah aku melihat orang yang paling pandai berdusta dari dua orang yaitu Sulaiman Asy Syadzakuuni, dan Muhammad bin humaid”.
Abu Ali An Niisabuuri berkata: “Aku berkata kepada ibnu khuzaimah: “kalaulah ustadz meriwayatkan dari Muhammad bin humaid, karena Ahmad memujinya dengan kebaikan ?” beliau berkata: “Sesungguhnya ia (Ahmad) tidak mengenalnya, kalaulah ia mengenalnya sebagaimana kami mengenalnya, niscaya beliau tidak akan memujinya selama-lamanya”.
dan Abu Nu’aim bin ‘Adi menjelaskan kisah menunjukkan bukti kedustaan Muhammad bin humaid, beliau berkata: “Aku mendengar Abu Hatim Ar Razi di rumahnya, dan di sisinya ada ibnu Kharrasy dan beberapa masyayikh dari penduduk Rayy dan hafidznya, lalu mereka menyebutkan ibnu Humaid, maka mereka bersepakat bahwa ia sangat dla’if dalam hadits, ia suka menyampaikan hadits yang tidak pernah ia dengar, ia suka mengambil hadits-hadits penduduk Bashrah dan Kufah dan menyampaikannya dari penduduk Razi”.
Demikian juga yang dikisahkan oleh Abu hatim Ar Razi sebagaimana disebutkan semua itu oleh Al Hafidz ibnu hajar dalam kitab Tahdzibut Tahdziib (9/127-131).
Dalam kaidah Al Jarhu wat Ta’diil disebutkan bahwa jarh (celaan) yang ditafsirkan lebih didahulukan dari ta’dil (pujian) yang mubham (tidak ditafsirkan). Maka kita lebih mendahulukan pendapat ulama yang menjarhnya, karena jarh mereka mufassar. Dan bisa kita simpulkan bahwa Muhammad bin humaid ini sangat dla’if kalau bukan pendusta.
Kedua: Muhammad bin Humaid tidak ada seorang ulamapun yang menyebutkan bahwa ia meriwayatkan dari imam Malik, terlebih imam Maik meninggal pada tahun 179H, dan Muhammad bin Humaid meninggal pada tahun 248H, dan ia tidak keluar menuntut ilmu kecuali setelah besar bersama ayahnya, sehingga periwayatannya terputus.
Ketiga: Periwayatan ini bertentangan dengan yang masyhur dari madzhab imam Malik, yaitu bahwa orang yang masuk ke masjid Nabawi, bila ia ingin mengucapkan salam kepada Nabi, hendaklah ia menghadap ke kubur Nabi dan mendo’akannya, dan apabila ia ingin berdo’a untuk dirinya sendiri maka hendaklah ia menghadap kiblat dan tidak menghadap kubur.
>>>Syubhat 8: Hadits Fathimah bintu Asad ketika meninggal dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akannya:
الله الذي يحيى ويميت وهي حي لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي فإنك أرحم الراحمين .
“Allah yang menghidupkan dan mematikan dan Dia senantiasa hidup dan tidak akan mati, ampunilah ibuku Fathimah bintu Asad dan kuatkan hujjahnya, luaskan kuburnya, melalui hak NabiMu dan para Nabi sebelumku, sesungguhnya Engkau paling penyayang dari para penyayang”.
>>>Jawab:
Hadits ini dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (24/351) dan Al Ausath (1/67 no 189): haddatsana Ahmad bin Hammad bin Zaghbah haddatsana Ruh bin Shalah haddatsana Sufyan Ats Tsauri dari ‘Ashim Al Ahwal dari Anas bin Malik.
Tampak kepada kita sanad hadits ini lemah, karena Ruh bin Shalah walaupun dianggap tsiqah oleh ibnu Hibban dan Al Hakim, namun jumhur ulama menganggapnya dla’if, berikut perkataan mereka sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Lisanul Mizan (3/311):
Ruh bin Shalah Al mishri dikatakan: ibnu Sayyabah, didla’ifkan oleh ibnu Adi, kunyahnya Abul Harits, ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqaat, Al Hakim berkata: “Tsiqah ma’mun”.. ibnu Yunus menyebutkannya dalam Tarikh Al Ghuraba, dan beliau berkata: “Ia (Ruh) dari penduduk Maushil lalu datang ke Mesir dan menyampaikan hadits di sana, telah diriwayatkan darinya periwayatan-periwayatan yang mungkar”.. Ad darquthni berkata: “Dla’if dalam hadits”. Ibnu Makula berkata: “Mereka mendla’ifkannya”. Ibnu Adi berkata: “Ia mempunyai banyak hadits, pada sebagiannya terdapat nukrah (kemunkaran)”.
Perhatikanlah, walaupun ia dianggap tsiqah oleh ibnu Hibban dan Al Hakim, namun perkataan keduanya tidak dapat diuggulkan karena dua perkara:
Ibnu Hibban dan Al hakim adalah ulama yang gampang menganggap tsiqah perawi, dan ini masyhur bagi orang yang mempelajari ilmu hadits, seringkali keduanya menganggap tsiqah perawi-perawi yang lemah.
Yang mendla’ifkannya menjelaskan sebab kelemahannya, yaitu banyak periwayatannya yang munkar, dan kaidah ilmu Al Jarh wat ta’dil berkata: “Jarh yang ditafsirkan lebih didahulukan dari ta’dil yang mubham”.
Kesimpulannya bahwa Ruh bin Shalah ini adalah perawi yang lemah, maka hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena kelemahannya, dan dalam masalah aqidah tidak diterima hadits yang lemah dengan kesepakatan seluruh ulama.
[1] Tahdzibut Tahdzib 7/225.
[2] Mizanul i’tidal 4/327.
[3] Tahdzibuttahdziib 6/179.
[4] Al Madkhal ilaa Ash Shahiih 1/154.
[5] Tahdzibuttahdziib 6/179.
***
>>>Syubhat 9: Hadits orang buta yang bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
عن عثمان بن حنيف أن رجلاً ضريراً أتى النبي ( فقال : أدع الله أن يعافيني فقال : إن شئت دعوت وإن شئت صبرت وهو خير قال : فادعه فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ويدعو بهذا الدعاء : اللهم إني أسألك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضي اللهم شفعه في . فعاد وقد أبصر .
Dari Utsman bin Hanif bahwa ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika kamu mau aku akan berdo’a dan jika kamu mau bersabar itu lebih baik”. Ia berkata: “Do’akanlah”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya berwudlu dan membaguskan wudlunya dan berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar hajatku dipenuhi, ya Allah berilah syafa’at untuknya terhadapku”. Maka penglihatannyapun kembali seperti semula”.
#Jawab:
Sesungguhnya hadits ini hanya menunjukkan kepada tawassul yang disyari’atkan, yaitu bertawassul melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir, karena orang buta ini datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semasa hidupnya, dan tidak pernah datang kepada beliau setelah matinya, kalaulah tujuan orang buta ini bertawassul kepada Nabi saja, tentu tidak perlu ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, cukup ia berdo’a di rumahnya saja. Jadi hadits ini sama sekali tidak menunjukkan bolehnya tawassul kepada Nabi setelah wafatnya.
Adapun tambahan: “Jika ada hajat, lakukanlah seperti itu lagi”. Tambahan ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, walaupun ia perawi yang tsiqah, namun menyelisihi periwayatan perawi yang lebih tsiqah darinya, yaitu Syu’bah bin Al Hajjaj yang meriwayatkan dengan tanpa tambahan tersebut. Dan Syu’bah jauh lebih tsiqah dari Hammad bin Salamah sehingga tambahan tersebut dihukumi syadz yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang berlawanan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah dan syadz adalah salah satu macam hadits lemah.
>>>Syubhat 10: Hadits seorang laki-laki yang mempunyai kebutuhan di sisi Utsman bin Affan.
روى الطبراني والبيهقي :كان يختلف إلى عثمان بن عفان رجل في زمن خلافته في حاجة … فكان لا يلتفت ولا ينظر إليه في حاجته . فشكا ذلك لعثمان بن حنيف فقال له : إئت الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد فصل ثم قل : اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضي وتذكر حاجتك فانطلق الرجل فصنع ذلك ثم أتى باب عثمان فجاء البواب فأخذ بيده فأدخله على عثمان فأجلسه معه وقال له اذكر حاجتك فذكر حاجته فقضاها ثم قال : ما كان لك من حاجة فاذكرها ثم خرج من عنده فلقي ابن حنيف فقال له جزاك الله خيراً ما كان ينظر لحاجتي حتى كلمته لي فقال ابن حنيف : والله ما كلمته ولكن شهدت رسول الله ( وأتاه ضرير فشكا إليه ذهاب بصره إلى أخر الحديث المتقدم أي ( حديث الأعمى ) .
Ath Thabrani dan Al Baihaqi meriwayatkan: Dahulu di zaman Utsman bin Affan ada seorang laki-laki yang suka mondar-mandir kepada Utsman bi Affan di zaman kekhilafahannya untuk suatu kebutuhannya, namun Utsman tidak memperdulikan dan tidak memperhatikannya. Maka laki-laki itu mengadu kepada Utsman bin Hanif, dan beliau berkata kepadanya: “Pergilah ke tempat wudlu dan berwudlulah lalu pergilah ke masjid dan shalatlah kemudian ucapkan: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar hajatku dipenuhi”. Lalu sebutkan hajatmu. Laki-laki itupun pergi dan melaksanakan titahnya, setelah itu ia mendatangi rumah utsman bin Affan. Maka datanglah penjaga pintu dan memasukkannya kepada Utsman, dan utsman mendudukkan ia di sisinya dan berkata: “Sebutkan hajatmu!”, ia pun menyebutkannya dan Utsman pun memenuhi kebutuhannya, dan berkata: “Bila kamu ada kebutuhan lagi, sebutkan saja”. Lalu laki-laki itu pergi dan bertemu dengan Utsman bin Hanif, laki-laki itu berkata: “Jazakallahu khaira, Utsman memenuhi kebutuhanku karena kamu berbicara kepadanya untukku”. Utsman berkata: “Demi Allah, aku tidak berbicara dengannya, namun aku pernah melihat Rasulullah di datangi oleh seorang laki-laki buta dan meminta agar di do’akan kesembuhan.. lalu beliau menyebutkan hadits di atas.
#Jawab:
Kisah ini diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (9/30) dan shagirnya (1/306) dari jalan Abdullah bin Wahb dari Syabib bin Sa’id Al Makki dari Ruuh bin Al Qasim dari Abu Ja’far Al Khuthami Al madani dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif dari pamannya Utsman bin Haniif.
Dan periwayatan Abdullah bin Wahb dari Syabiib adalah lemah sebagaimana dikatakan oleh ibnu Adi dalam Al Kamil (4/31) beliau berkata: “Ibnu Wahb meriwayatkan dari Syabiib hadits-hadits yang munkar”. Oleh karena itu Al Hafidz ibnu Hajar berkata dalam Taqribnya: “La ba’sa haditsnya dari riwayat anaknya Ahmad darinya bukan dari riwayat ibnu Wahb”.
Namun ibnu Wahb dimutaba’ah oleh Isma’il dan Ahmad anak dari Syabiib bin Sa’id dari ayahnya Syabib bin Sa’id dari Ruh bin Al Qasim..dan seterusnya, diriwayatkan oleh Al baihaqi sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah[1].
Akan tetapi jalan ini tidak dapat diterima karena tiga alasan:
Pertama: Syabiib bin Sa’id ini periwayatannya diterima dengan dua syarat: (1) Bila perawi darinya adalah anaknya yang bernama Ahmad bin Syabiib dan (2) ia (Syabib) meriwayatkan dari Yunus, Ibnu Adi berkata dalam Al kamil (4/31): “Syabib, apabila anaknya yang bernama Ahmad bin Syabib meriwayatkan darinya naskah Yunus dari Az Zuhri, maka hadits-haditsnya mustaqim (lurus)”. Dan kepada ini lah dibawa perkataan para ulama yang menganggapnya tsiqah, karena kaidah mengatakan: “Apabila perkataan yang mutlaq bertemu dengan perkataan yang muqayyad, maka yang mutlak dibawa kepada yang muqayyad”. Dan ini ditunjukkan juga oleh perbuatan imam Al Bukhari dalam shahihnya, dimana beliau hanya mengeluarkan periwayatan Syabib bin Sa’id bila ia meriwayatkan dari Yunus dan yang meriwayatkan darinya adalah anaknya yang bernama Ahmad bin Syabiib. Di sini ia meriwayatkan dari Ruh bin Al Qasim sehingga periwayatannya tetap lemah.
Kedua: ‘Aun bin ‘Imarah meriwayatkan dari Ruh bin Al Qasim dari Abu ja’far Al Kuthami.. dst, dengan tanpa kisah laki-laki yang mengadu kepada Utsman bin Hanif, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Hakim dalam mustadraknya, dan ‘Aun bin ‘Imarah ini lemah akan tetapi periwayatannya sesuai dengan periwayatan Syu’bah bin Al hajjaj dari Abu Ja’far Al Khuthami tanpa kisah tersebut, sehingga periwayatan ‘Aun lebih diunggulkan dari periwayatan Syabib, terlebih telah kita jelaskan bahwa periwayatan Syabib ini juga lemah karena meriwayatkan dari selain yunus.
Ketiga: ibnu Sunni meriwayatkan dalam kitab ‘Amalul Yaum Wallailah dan Al Hakim dalam mustadraknya dari tiga jalan[2] dari Ahmad bin Syabib dengan tanpa kisah itu juga, sehingga ini semakin menunjukkan bahwa kisah tersebut adalah merupakan wahm dari Syabib bin Sa’id. Wallahu a’lam.
***
cintasunnah. com
Senin, 15 April 2013
Menepis Syubhat Pembela Tawassul Yang Haram
00.33
No comments
0 komentar:
Posting Komentar