Sabtu, 13 April 2013

Adab Bicara, Bertetangga dan Tamu

Rasul yang mulia shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan banyak pelajaran, nasihat, dan pesan kebaikan kepada umat beliau dalam hadits-haditsnya yang agung. Tentang adab Islami kerap pula beliau sampaikan. Di antara hadits yang berbicara tentang adab Islami ini adalah hadits Abu Hurairah r.a yang dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari (no. 6018) dan al-Imam Muslim (no. 171 & 172) dalam kitab Shahih keduanya.

Abu Hurairah r.a menyampaikan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau ia diam. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”

Wahai saudara/riku, bacalah dan renungkan hadits di atas, niscaya kita dapati faedah yang besar. kita akan menyadari, betapa banyak orang yang tidak menjalankan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal ini. kita dapatkan banyak lisan yang digunakan untuk berucap jelek, dusta, ghibah, namimah, mengumpat, mencela, dan melaknat. Kita sadari, banyak dari kita yang jatuh dalam penyakit lisan ini. Kita pun bertanya, tertuju pertama kali kepada diri kita sendiri, “Di manakah pengamalan hadits:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berucap yang baik atau ia diam’.”

Kita dapati buruknya hubungan bertetangga di masyarakat, apalagi di kota-kota besar. Banyak orang bersikap individualis. Seseorang tidak mau peduli dengan tetangga di sebelahnya. Jangankan menyampaikan kebaikan, justru kejelekan yang “dipersembahkan” untuk tetangga, dengan berkata buruk kepada tetangga, mengganggu istirahatnya dengan suara berisik, menyempitkan jalannya, dan perbuatan lain yang membuat tetangga tidak nyaman dan merasa terganggu. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: مَنْ، ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Ketika ditanya, “Siapakah yang Anda maksudkan, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. al-Bukhari no. 6016 dari Abu Hurairah r.a)

Memuliakan Tamu

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”

Tamu adalah orang yang singgah di tempat Anda. Misalnya, ada seorang musafir mampir di rumah Anda, ini adalah tamu yang wajib dimuliakan.

Sebagian ahlul ilmi berkata, “Perjamuan untuk tamu itu hanya wajib jika tempat tersebut berupa kampung atau kota kecil. Adapun di kota besar, perjamuan tidak wajib karena di kota bisa dijumpai rumah makan dan penginapan/hotel yang musafir bisa singgah ke sana. Adapun di kampung, musafir yang lewat membutuhkan tempat bernaung/singgah.”
Akan tetapi, zahir (lahiriah) hadits bersifat umum, tidak membedakan kota atau kampung. Tamu tetap harus diberi jamuan.

sama-sama kita semua berusaha lebih baik dan lebih baik lagi.

0 komentar:

Posting Komentar